Menu Close
Pengemudi motor memakai masker saat menjelang buka puasa di Aceh. Hotli Simanjuntak/EPA

Ahli: inisiatif masyarakat saat pandemi COVID-19 lahir karena lambannya gerak pemerintah

Saat pemerintah tampak gagap dalam menanggapi pandemi COVID-19, banyak inisiatif datang langsung dari masyarakat untuk mengisi peran yang seharusnya dilakukan pemerintah.

Banyak pribadi yang menjahit alat pelindung diri (APD) dan mendistribusikannya langsung ke rumah-rumah sakit, ketika banyak petugas medis yang mengeluh bahwa stok APD semakin terbatas karena tingkat penggunaan yang sangat tinggi setiap harinya.

Ada juga yang memproduksi masker kain dan membagikannya secara cuma-cuma ke berbagai kota.

Tidak sedikit yang membagikan bahan kebutuhan pokok kepada masyarakat kurang mampu. Bantuan dibagikan lewat berbagai inisiatif sosial untuk membantu masyarakat ekonomi kelas bawah yang paling terkena dampaknya dalam pandemi ini.

Banyak perusahaan memberhentikan karyawannya secara sepihak selama pandemi ini. Hal ini berdampak pada angka kemiskinan yang diperkirakan meningkat hingga 3,78 juta orang.

“Bantuan yang diberikan pemerintah juga hanya berupa bantuan sosial yang dipukul rata, padahal seharusnya keadilan itu dilakukan dengan memberikan bantuan sesuai kebutuhan setiap orang. Uang bisa menjadi solusi tapi juga bisa menjadi sumber masalah,” kata Febi Dwirahmadi, peneliti kesehatan dari Griffith University, Australia.

Tidak hanya hadir di dunia nyata, bantuan juga hadir di dunia virtual. Penggalangan dana melalui konser virtual pun dilakukan banyak pihak untuk membantu orang-orang yang kesusahan kala pandemi.

Kuatnya solidaritas masyarakat dalam bahu-membahu menolong satu sama lain ketika ada musibah memang sudah bukan hal yang asing lagi. Kompaknya masyarakat Indonesia dalam situasi yang sulit sering mendapat pujian dari pihak internasional.

Tapi kekuatan sosial itu hadir di Indonesia justru karena peran negara yang lemah.

Masyarakat bergerak karena pemerintah lamban

“Bisa berarti ketidakpastian pemerintah menjadi basis atau dasar pengambilan keputusan masyarakat. Karena tidak ada informasi yang jelas bagaimana cara melakukan proteksi terhadap komunitas dan menangani masalah, maka masyarakat mengambil inisiasi spontan,” kata Fina Itriyati, dosen Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Pada awal merebaknya wabah ini, pemerintah Indonesia terlihat belum memberikan instruksi yang jelas dan tegas kepada masyarakat. Masyarakat menjadi bingung karena ketidakpastian informasi tanpa panduan resmi.

Kebingungan lainnya juga terlihat dari tidak tegasnya pemerintah. Seperti kebingungan yang terjadi beberapa waktu lalu setelah pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang menyebutkan bahwa mudik berbeda dengan pulang kampung.

Survei dari Alvara Research terhadap 1.223 responden menunjukkan bahwa 50,4% dari mereka menyatakan pemerintah lamban dalam merespons COVID-19. Bahkan 60% dari responden survei juga merasa informasi yang diberikan oleh pemerintah tidak jelas.

Survei lainnya dari Saiful Munjani Research Center, menemukan bahwa pemerintah pusat dirasa lebih lamban bergerak dibandingkan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan pergerakan pemerintah belum optimal, baik dari edukasi ataupun tindakan langsung untuk menanggapi covid-19 ini.

Minimnya edukasi dan informasi yang jelas dari pemerintah membuat masyarakat mencari caranya mereka sendiri untuk bertahan dalam pandemi ini.

Hal tersebut, menurut sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, mendorong masyarakat menjadi lebih waspada dan sadar diri untuk saling mengingatkan dan melindungi satu sama lain selama pandemi berlangsung.

Banyak wilayah yang melakukan lockdown mandiri untuk melindungi wilayah masing-masing ketika permohonan untuk menerapkan karantina wilayah di daerahnya ditolak oleh pemerintah pusat.

“Kepedulian makin banyak dan kesadaran sosial meningkat,” ujar Arie.

Pengaruh budaya

Ragam budaya yang ada di Indonesia membuat pergerakan yang dilakukan juga bervariasi.

Setiap daerah memiliki cara sendiri untuk bertahan di tengah pandemik.

Salah satunya adalah keterlibatan pemimpin agama di berbagai daerah di Indonesia. Mereka mengimbau ibadah dilakukan di rumah untuk mencegah penyebaran virus.

Empat orang perempuan berjalan pulang dari masjid setelah melakukan ibadah salat tarawih di Yogyakarta. Devi Rahman / INA Photo Agency / Sipa USA

Arie melihat peran penting pemimpin agama dalam menyuarakan isu kesehatan.

“Antarkomponen bangsa harus bisa saling menopang, solidaritas sosial yang terbentuk tidak hanya karena masyarakat, tapi aspek lain seperti pemimpin agama dan LSM [lembaga swadaya masyarakat] juga bisa membantu. Tidak bisa di Indonesia hanya menggunakan satu faktor penentu, karena ada beragam kultur dan inisiatif yang muncul,” kata Arie.

Rasa peduli antarsesama dan pengalaman masa lalu dalam mengelola bencana di Indonesia membuat insting masyarakat atau lembaga swadaya spontan membuat gerakan mandiri untuk menolong komunitasnya.

Inilah modal kuat yang dimiliki Indonesia dengan budaya kolektif yang berbeda dengan negara lain, menurut Fina.

“Berbeda dengan di Australia misalnya, pemerintah turun tangan memberikan bantuan. Tapi kalau di Indonesia hal ini berlaku dua arah, masyarakat juga bisa menjadi backup untuk kelompok masyarakat yang rentan,” kata dia.

Tapi tata krama yang berlaku di Indonesia juga memberikan tantangan sendiri untuk melakukan beberapa perilaku pencegahan selama pandemi ini. Misalnya, orang Indonesia yang tidak terbiasa mengatur jarak saat mengantre menjadikan penerapan aksi physical distancing (jarak sosial antarorang) menjadi sulit.

Physical distancing lebih sulit diterima, karena kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Secara budaya, kita tidak pernah terlalu berpikir tentang jarak antara kita dengan orang lain,” kata Febi.

Meskipun belum terbiasa, masyarakat mau tidak mau harus membiasakan diri mempraktikkan jarak antarindividu 1-2 meter.

Salah satu solusinya, menurut Febi, adalah pemerintah harus memberikan edukasi dan menerapkan peraturan yang ketat agar physical distancing bisa dilakukan dengan baik.

Pemerintah dan masyarakat seirama

Pemerintah tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat tetap perlu membantu satu sama lain yang sulit terjamah oleh pemerintah. Pemerintah dan masyarakat bisa menghadapi musibah ini dengan rasa solidaritas antarindividu.

Seorang petugas berpakaian robot untuk mengingatkan warga agar tetap diam di rumah selama pandemi di daerah Bandung, Jawa Barat. Iqbal Kusumadirezza/EPA

“Virus itu kecil, tapi dia bisa bekerja sama satu sama lain dengan satu misi. Kita sebagai manusia juga harus bisa berpikir maju dan bersatu agar bisa lepas dari krisis ini dengan baik,” kata Febi.

Namun, Indonesia perlu melakukan koordinasi yang jelas antara pemerintah dan masyarakat agar bantuan ini bisa terus bertahan hingga pandemi selesai. Koordinasi ini untuk memastikan bahwa pembagian bantuan diterima oleh orang-orang yang membutuhkan secara merata.

“Kekuatan masyarakat kita adalah kekuatan akar rumput. Beberapa minggu terakhir ada banyak penggalangan dana, jika bisa dikampanyekan hal ini bisa menjadi gerakan baru yang dikelola dengan lebih terpusat dan tepat sasaran menyesuaikan akuntabilitas dan kebutuhan setiap kelompok masyarakat di tingkat lokal,” ujar Fina.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now