Menu Close

Analisis: pentingnya literasi digital yang kritis di tengah gempuran misinformasi pandemi

Virus dan misinformasi sama-sama perlu ditapis. Rifqi Riyanto/INA Photo Agency/Sipa USA

Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang terus meningkat semakin menimbulkan keresahan di masyarakat.

Data pemerintah per 14 April menunjukkan ada hampir 5,000 kasus positif dan lebih dari 450 orang telah meninggal akibat wabah ini.

Pada pertengahan Mei, diperkirakan akan ada lebih dari 50,000 kasus dan “melumpuhkan” kemampuan rumah sakit di enam provinsi. Ada juga prediksi bahwa Indonesia akan berpeluang besar menjadi episenter baru wabah ini.

Kekhawatiran di tengah masyarakat diperparah oleh maraknya misinformasi di media sosial.

Disinformasi dan misinformasi menjadi hal yang lumrah di tengah semakin aktifnya masyarakat dalam melakukan pencarian informasi. Namun, para ahli kesehatan telah memperingatkan bahwa informasi yang salah akan sangat berpengaruh pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan “kita tidak hanya memerangi epidemi; kita sedang berjuang menghadapi ‘infodemi’”.

Kini, penggunaan alat komputasi seperti bot ikut memperkeruh perdebatan seputar COVID-19 di media sosial. Kenyataannya, persebaran informasi oleh bot selalu melampaui kecepatan informasi yang dibagikan oleh lembaga resmi sehingga pada akhirnya masyarakat lebih cepat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Ini menjadi tantangan baru dalam menghadapi pandemi di era media sosial.

Usaha menghadapi gempuran infodemi tidak akan efektif jika hanya bergantung pada pemerintah, lembaga kesehatan dan perusahaan digital. Keterlibatan masyarakat secara penuh menjadi suatu keniscayaan.

Maka, konsep literasi digital kritis sebagai lanjutan dari literasi media dan digital dapat menjadi acuan utama dalam menghadapi krisis informasi di tengah pandemi yang belum kunjung berakhir.

Lebih dari sekadar literasi media dan digital yang memampukan pengguna menjadi trampil menggunakan teknologi digital untuk terlibat aktif di dunia maya, konsep literasi digital kritis menganggap perlunya pemahaman mengenai landasan filosofis bagaimana informasi diakses dan diproduksi, serta peran ambivalen media digital di masyarakat.


Read more: Penelitian di Indonesia: umur tidak mempengaruhi kecenderungan orang menyebarkan hoaks


Misinformasi selama pandemi

Ketidakpastian dan kontroversi seputar pandemi COVID-19 telah memanaskan perdebatan tentang misinformasi dalam beberapa minggu terakhir ini. Banyak pihak seperti peneliti, pembuat kebijakan, bahkan lembaga penegak hukum telah bersama-sama memerangi penyebaran misinformasi agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.

Riset terbaru oleh pusat penelitian Reuters Institute di Universitas Oxford, Inggris, menunjukkan bahwa format misinformasi yang tersebar di media sosial sebagian besar dimanipulasi secara sederhana tanpa melibatkan teknologi tingkat tinggi seperti Artificial Intelligence, melainkan hanya bergantung pada aplikasi penyuntingan foto dan video sederhana.

Contohnya adalah unggahan video dengan klaim bahwa telur rebus dapat menangkal virus sempat viral pada beberapa minggu lalu.

Ini contoh bentuk misinformasi yang paling umum, yaitu konten yang mengandung informasi yang benar namun dengan sengaja diputarbalikkan dan ditempatkan pada konteks lain dengan cara yang salah.

Riset Reuters Insitute juga menemukan bahwa figur-figur penting seperti politikus dan selebriti berperan besar menjadi sumber misinformasi. Pembaca atau pemirsa memiliki engagement atau keterlibatan lebih tinggi dalam menyerap informasi dari para figur ketimbang dari kalangan masyarakat umum.

Terlebih para tokoh tersebut kerap kali juga disorot oleh media arus utama. Sebagai contoh, harian New York Times telah mendokumentasikan sejumlah pernyataan bohong Presiden Donald Trump terkait COVID-19.

Di Indonesia sendiri, beberapa waktu yang lalu Staf Khusus Presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diduga ikut menyebarkan misinformasi seputar virus korona.

Keberadaan bot dan _trollbot juga telah ditemukan mencampuri percakapan dan perdebatan mengenai virus di Twitter.

Bot adalah akun yang dikelola oleh sebuah software sehingga akun dapat melakukan tweet, retweet, mention, dan sebagainya secara otomatis. Trollbot adalah bot yang banyak menyebarkan propaganda dan berita bohong.

Dua alat ini lebih banyak digunakan untuk menyebarkan teori-teori konspirasi COVID-19 yang belum terbukti kebenarannya.


Read more: Sekadar mengingatkan: misinformasi pandemi paling banyak ada di WhatsApp


Literasi digital yang kritis

Kemampuan literasi digital yang kritis menempatkan seseorang sebagai konsumen informasi yang lebih aktif, misalnya mampu menilai konten digital apakah tepercaya atau mengandung bias tertentu.

Memiliki kemampuan literasi digital yang kritis juga berarti memiliki pemahaman yang lebih. Misalnya pemahaman lebih luas tentang ruang digital, bagaimana perusahaan raksasa seperti Facebook dan Google beroperasi dan mendapat laba, dan peluang dan hambatan yang dimiliki internet bagi proses demokrasi dan partisipasi politik.

Pengguna media sosial yang kritis tidak hanya mampu untuk mempertanyakan kebenaran suatu informasi, namun juga akan melakukan aksi nyata memerangi misinformasi.

Misalnya, seseorang yang membaca informasi di beranda Facebook-nya tidak akan langsung membagikan informasi tersebut sebelum melakukan pengecekan fakta di sumber yang tepercaya. Dia khawatir apabila informasi yang dibagikan tersebut tidak benar dan dapat merugikan orang lain.

Untuk meningkatkan kemampuan literasi digital kritis, kita dapat dimulai dengan meningkatkan kesadaran sosial: berpikir sejenak sebelum melakukan retweet di Twitter, share di Facebook, atau forward di WhatsApp.

Kesadaran untuk melindungi orang lain dari paparan misinformasi menjadi langkah awal yang sangat penting untuk memicu ketertarikan kita dalam mempelajari lebih lanjut hal-hal berkaitan dengan lingkungan dan infrastruktur digital.

Di tengah pandemi, kemampuan ini dapat meningkatkan peran masyarakat umum untuk urun daya memeriksa fakta.

Memang pada dasarnya penyampaian informasi yang berkaitan dengan sains, kesehatan, dan teknologi tidak mudah dilakukan. Ini telah menjadi kajian para peneliti selama sekian abad dalam lingkup sains komunikasi.

Temuan terbaru bahkan menyebut bahwa tidak akan ada ‘obat’ untuk infodemi COVID-19.

Ini sangat masuk akal mengingat upaya gabungan yang dilakukan baik oleh pemerintah dan perusahaan teknologi, seperti Facebook, Twitter dan YouTube, untuk menyaring konten bermasalah dan memberikan berbagai peringatan ternyata tidak mengurangi penyebaran misinformasi hingga saat ini.

Pada akhirnya, kita bergantung pada diri kita sendiri untuk ikut turut serta membantu memerangi infodemi.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now