Menu Close

Arti cinta dan hasrat dari dewa cinta Cupid

Sebuah ilustrasi yang menunjukkan tiga sosok Dewa Cupid terbang yang membidik dengan busur dan anak panah mereka.
Bagian dari lukisan dinding “Triumph of Galatea,” yang dibuat oleh Raphael sekitar tahun 1512 untuk Villa Farnesina di Roma. Art Images via Getty Images

Setiap Hari Valentine, ketika saya melihat gambar dewa Cupid bersayap gemuk yang membidik dengan busur dan anak panahnya ke korbannya yang tidak memiliki kecurigaan, saya berlindung di belakang pemahaman saya sebagai seorang ahli puisi dan mitologi Yunani awal untuk merenungkan keanehan gambar ini dan kaitannya dengan sifat alami cinta.

Dalam mitologi Romawi kuno, Cupid adalah anak dewi Venus, yang sekarang dikenal sebagai dewi cinta, dan Mars, dewa perang. Namun, bagi para orang di zaman kuno, seperti yang ditunjukkan oleh mitos dan teks, dia benar-benar dewa pelindung “hubungan seksual” dan “prokreasi.” Nama Cupid, yang berasal dari kata kerja bahasa Latin cupere, berarti hasrat, cinta, atau nafsu. Akan tetapi, dalam kombinasi aneh tubuh bayi dengan senjata mematikan, bersama dengan orang tua yang diasosiasikan dengan cinta dan perang, Cupid merupakan sosok kontradiksi – simbol konflik dan hasrat.

Sejarah ini jarang tercermin dalam perayaan Hari Valentine zaman modern. Pesta Santo Valentine dimulai sebagai perayaan St. Valentine Roma. Seperti yang dijelaskan oleh Candida Moss, seorang ahli teologi dan zaman kuno, romansa dari iklan selama hari Valentine mungkin lebih terkait dengan Abad Pertengahan daripada Roma kuno.

Cupid yang bersayap ini adalah favorit para seniman dan penulis di Abad Pertengahan dan Renaisans, tetapi dia bukan sekadar simbol cinta bagi mereka.

Terlahir dari seks dan perang

Cupid zaman Romawi bisa disamakan dengan dengan dewa Yunani Eros, asal kata “erotis.” Di Yunani kuno, Dewa Eros sering dianggap sebagai putra Ares, dewa perang, dan Aphrodite, dewi kecantikan, serta seks dan hasrat.

Ilustrasi dewa Eros yang memperlihatkan seorang anak laki-laki bersayap dengan latar belakang hitam.
Lukisan Eros dari 470 SM– 450 SM. The Louvre via Wikimedia Commons, CC BY-SA

Dewa Eros masa Yunani sering muncul dalam ikonografi Yunani awal bersama dengan dewi sejenis lainnya, yaitu sekelompok dewa bersayap yang diasosiasikan dengan cinta dan hubungan seksual. Sosok kuno ini sering digambarkan sebagai remaja yang lebih tua – tiga tubuh bersayap ini terkadang dipersonifikasikan sebagai trio: eros (nafsu), himeros (hasrat), dan pothos (gairah).

Namun, ada juga versi Eros yang lebih muda dan menyenangkan. Penggambaran seni dari abad kelima sebelum Masehi (SM) memperlihatkan Eros sebagai seorang anak yang sedang menarik gerobak di atas vas figur merah. Sebuah patung Eros yang tertidur dan terbuat dari perunggu dari periode Helenistik abad kedua SM juga menunjukkan dia sebagai seorang anak.

Akan tetapi, pada masa Kekaisaran Romawi, gambar Cupid kecil yang gemuk menjadi lebih umum. Penyair Romawi Ovid menulis tentang dua jenis panah Cupid: yang mengeluarkan hasrat tak terkendali dan yang lain menembak sasarannya dengan rasa muak. Penggambaran dewa Yunani dan Romawi yang memegang kekuasaan untuk melakukan kebaikan dan keburukan adalah hal yang umum. Dewa Apollo, misalnya, dapat menyembuhkan orang dari penyakit atau menyebabkan wabah yang menghancurkan kota.

Mitos-mitos Yunani yang lebih awal juga memperjelas bahwa Eros bukan sekadar kekuatan untuk mengalihkan perhatian. Di awal karya puisi penyair Yunani Hesiod “Teogoni” – sebuah puisi yang menceritakan sejarah penciptaan alam semesta yang diceritakan melalui reproduksi para dewa – Eros muncul sejak awal sebagai kekuatan alam yang diperlukan karena dia “mengganggu anggota tubuh, berada di luar nalar pikiran dan menghibur semua manusia dan dewa.” Baris ini adalah pengakuan atas kekuatan hasrat seksual yang bahkan terjadi pada para dewa.

Menyeimbangkan konflik dan hasrat

Namun, Eros artinya tidak hanya tentang tindakan seksual. Bagi filsuf Yunani awal Empedocles, Eros dipasangkan dengan Eris, dewi perselisihan dan konflik, sebagai dua kekuatan paling berpengaruh di alam semesta. Bagi para filsuf seperti Empedocles, Eros dan Eris mempersonifikasikan daya tarik dan pembagian pada tingkat unsur, yaitu kekuatan alam yang menyebabkan materi menciptakan kehidupan dan kemudian menghancurkannya lagi.

Di dunia kuno, seks dan hasrat dianggap sebagai bagian penting dari kehidupan tetapi menjadi berbahaya jika menjadi terlalu dominan. Buku The Symposium karya Plato, sebuah dialog tentang sifat Eros, memberikan survei mengenai berbagai gagasan tentang hasrat pada saat itu – beralih dari pengaruhnya pada tubuh ke sifat dan kemampuannya untuk mencerminkan manusia.

Salah satu segmen yang paling berkesan dari dialog ini adalah ketika pembicara Aristophanes menggambarkan asal-usul Eros dengan humor. Dia menjelaskan bahwa semua manusia dulunya adalah dua orang yang digabungkan menjadi satu. Para dewa menghukum manusia karena kesombongan mereka dengan memisahkan mereka menjadi individu-individu. Jadi, hasrat sebenarnya adalah kerinduan untuk menjadi utuh kembali.

Bermain dengan Dewa Cupid

Saat ini mungkin sudah biasa untuk mengatakan bahwa kita adalah apa yang kita cintai, tetapi bagi para filsuf kuno, kita adalah apa dan bagaimana kita mencintai. Hal ini diilustrasikan dalam salah satu kisah Cupid Romawi yang paling berkesan yang menggabungkan unsur-unsur nafsu dengan refleksi filosofis.

Lukisan yang memperlihatkan seorang perempuan muda memegang lampu untuk melihat Cupid yang sedang tidur dan telanjang.
Psyche mengangkat lampu untuk melihat Cupid yang sedang tidur. Lukisan oleh Simon Vouet, Museum of Fine Arts of Lyon Collection via Wikimedia Commons

Dalam kisah ini, penulis Afrika Utara abad kedua, Apuleius, menempatkan Cupid sebagai pusat novel Latinnya, “The Golden Ass.” Karakter utama dalam novel ini, seorang lelaki yang berubah menjadi keledai, menceritakan bagaimana seorang perempuan tua menceritakan kepada pengantin perempuan yang diculik, Charite, kisah tentang bagaimana Cupid mengunjungi Psyche muda di malam hari dalam kegelapan kamarnya. Ketika dia mengkhianati kepercayaannya dan menyalakan lampu minyak untuk melihat siapa dia, dewa itu terbakar dan melarikan diri. Psyche harus mengembara dan menyelesaikan tugas yang hampir mustahil untuk Venus sebelum dia diizinkan untuk bersatu kembali dengannya.

Penulis-penulis setelahnya menjelaskan kisah ini sebagai alegori tentang hubungan antara jiwa manusia dan hasrat. Interpretasi agama Kristen dibangun di atas gagasan ini, melihatnya sebagai kisah yang merincikan bagaimana kejatuhan jiwa karena adanya godaan. Pendekatan ini, bagaimanapun, mengabaikan bagian plot di mana Psyche diberikan keabadian untuk tetap berada di sisi Cupid dan kemudian melahirkan seorang anak bernama “Pleasure” (kesenangan).

Pada akhirnya, kisah Apuleius adalah pelajaran tentang menemukan keseimbangan antara tubuh dan jiwa. “Pleasure” lahir bukan dari kencan malam yang rahasia, tetapi dari rekonsiliasi perjuangan pikiran dengan masalah hati.

Cupid modern kita memiliki nilai lebih. Namun, pemanah cilik ini berasal dari tradisi panjang tentang pergulatan dengan kekuatan yang memberikan begitu banyak pengaruh atas pikiran fana. Menelusuri jalan sejarahnya melalui mitos Yunani dan Romawi menunjukkan pentingnya memahami kesenangan dan bahaya dari hasrat.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now