Kita sering mendengar klaim bahwa digitalisasi membawa perubahan pada masyarakat digital.
Visi industri 4.0, masyarakat 5.0, bahkan Bukit Algoritma seolah menjadi semangat zaman ini dengan Internet of Things (IoT) menjadi lokomotifnya.
Persepsi umum meyakini bahwa inovasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) digital berbasis internet telah mendorong dan bahkan mempercepat perubahan masyarakat.
Penelitian saya menunjukkan bahwa perpaduan antara teknologi digital berbasis internet dan partisipasi publik telah berperan sangat penting dalam merangsang perubahan di komunitas perdesaan di Indonesia.
Peran teknologi digital
Saya meneliti dalam konteks kebijakan desentralisasi, terutama sejak penerapan Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Secara umum, UU Desa menetapkan bahwa desa berhak atas otonomi yang lebih besar untuk mengelola sumber daya dan anggaran sendiri, serta untuk menentukan kebijakan pembangunan sendiri.
Perluasan desentralisasi sampai ke tingkat desa secara politis mengancam dominasi lembaga-lembaga pemerintah yang diposisikan secara struktural di atas desa dan mewakili “pusat”.
Hadirnya internet - teknologi yang berkarakter terbuka - di perdesaan membuat penduduk desa bisa melewati hambatan komunikasi birokratis formal pemerintah daerah untuk langsung berkomunikasi dengan pemerintah pusat.
Internet mengedepankan praktik komunikasi yang saling terhubung (connective) dan mendorong pembentukan komunitas desa yang berjejaring.
Pemanfaatan teknologi digital ini turut mendorong terciptanya ruang publik baru di dunia maya bagi masyarakat desa. Ruang ini menjadi alternatif ruang publik dominan yang dikendalikan dan dikelola oleh media massa atau oleh lembaga birokrat-formal (pemerintah pusat).
Read more: Puluhan triliun untuk infrastruktur internet: benarkah bisa atasi kesenjangan digital di Indonesia
Peran partisipasi publik
Saya membingkai partisipasi publik yang menunjang perubahan sosial di masyarakat perdesaan dalam sebuah konsep yang menonjolkan peran komunikasi, yaitu “pembangunan komunikasi” - alih-alih istilah “komunikasi pembangunan” yang lebih umum.
Penelitian saya mengamati praktik pembangunan komunikasi bawah-ke-atas (bottom-up) yang dimulai pada 2011 di Desa Melung, Banyumas, Jawa Tengah. Praktik ini adalah inisiatif bersama di bawah naungan Gerakan Desa Membangun (GDM) yang menggunakan TIK berbasis internet sebagai platform perjuangan pembangunan desa.
Saya menemukan setidaknya empat tahap utama pembangunan komunikasi dari bawah-ke-atas, yaitu inisiatif dari bawah (desa); tanggapan dari atas (pusat); reaksi paksa dari pusat untuk bersaing atau mendukung inisiatif desa; dan konsekuensi pembangunan komunikasi bawah-ke-atas.
Tahap pertama melibatkan pencarian identitas bersama masyarakat desa melalui jurnalisme dan “desa bersuara”, yaitu strategi pengarusutamaan isu perdesaan melalui berbagai saluran komunikasi daring yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat desa, seperti laman khusus desa.id dan situs jejaring sosial.
Tahap ini penting sebagai mekanisme pendidikan mandiri komunitas desa.
Pada tahap kedua, ada tiga jenis respons pemerintah terhadap inisiatif warga, yaitu pengakuan, penolakan dan pengabaian.
Pada tahap ketiga, masyarakat desa dapat memaksa pemerintah daerah untuk bereaksi.
Dalam bereaksi, pemerintah daerah bisa melakukan inisiatif tandingan, seperti membuat portal desa versi pemerintah dengan domain “go.id” (kini tidak aktif). Atau sebaliknya: mendukung inisiatif desa karena mendapat tekanan dari pemerintah pusat sebagai hasil komunikasi langsung desa dengan pusat.
Read more: Pertahanan siber Indonesia jadi tugas penting panglima TNI yang baru
Perubahan sosial
Pada tahap keempat, saya menemukan setidaknya delapan perubahan sosial di masyarakat perdesaan.
Pertama, hubungan pusat-daerah dari yang semula berbasis pada struktur kekuasaan feodal berubah menjadi relasi berdasarkan jaringan. Di sini, internet membantu membangun solidaritas dan jaringan antar-desa di seluruh Indonesia secara efektif.
Kedua, terjadi konflik identitas sebagai akibat dari keterlibatan media massa dalam pembangunan komunikasi. Pada akhirnya, selalu terjadi tarik-menarik terhadap konsep diri desa lewat interaksi dinamis antara “motivasi internal” dan “tekanan eksternal”.
Ketiga, GDM sebagai gerakan organik yang berasal dari desa telah mengubah gerakan akar rumput melalui deradikalisasi dan memilih untuk tidak memobilisasi orang secara fisik dalam menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pusat.
Dengan berbagi informasi secara daring, GDM membangun kepercayaan diri desa dengan mengungkapkan informasi publik tentang isu-isu perdesaan. Pada saat yang sama, GDM menempatkan pemerintah pusat di bawah tekanan untuk tetap transparan dan bertanggung jawab kepada publik.
Keempat, internet memungkinkan desa menciptakan ruang publik sendiri sebagai lawan dari ruang publik dominan milik media massa.
“Desa bersuara” memenuhi ruang publik dengan segala hal yang berkaitan dengan isu desa. Ini bentuk partisipasi politik desa dengan membuat, mengelola dan mengendalikan ruang publik sendiri.
Kelima, ruang publik tandingan desa menunjukkan kedaulatan desa di dunia digital dan menunjukkan perlawanan terhadap praktik demokrasi yang bertitik berat di pusat (center-centric).
GDM mencoba menghadirkan bersama-sama praktik demokrasi digital dan non-digital untuk mewujudkan demokrasi substansial sebagai pembanding demokrasi yang terwujud dalam mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang kerap dikritik sebagai pseudo-bottom-up yang prosedural.
Keenam, proyek pembangunan berbasis internet rentan mengalami ketidakberkelanjutan, terutama ketika pemrakarsa proyek – biasanya kepala desa – digantikan dan tidak lagi memiliki wewenang untuk mengendalikan proyek.
Ini menandakan adanya ketidakcocokan proyek pembangunan digital dengan kebutuhan pembangunan desa yang sesungguhnya.
Ketujuh, proyek pembangunan desa yang mempromosikan penggunaan teknologi digital secara luas juga dapat menyebabkan degradasi nilai pengetahuan tertentu.
Saya menemukan, misalnya, situasi kearifan lokal berhadapan pada pengetahuan baru dan modern tentang teknologi digital. Masyarakat lokal yang meremehkan pengetahuan tradisional dapat kehilangan kepercayaan diri karena merasa tidak memiliki pengetahuan yang tepat untuk bertahan pada era digital saat ini. Situasi ini menyebabkan adanya kesenjangan antara mereka yang memiliki pengetahuan tradisional dan mereka yang menguasai pengetahuan tentang teknologi digital.
Terakhir, pembangunan komunikasi telah meningkatkan pentingnya “jaringan” untuk sebuah gerakan.
GDM telah berhasil mengoptimalkan “kekuatan pembuatan jaringan” (network-making power) dengan menempatkan partisipan di posisi-posisi strategis.
Jaringan GDM terbuka dalam melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang, dari anggota parlemen, aparat sipil negara, lembaga donor, pekerja sosial, mahasiswa, pengusaha, hingga relawan. Sehingga, mereka bisa memengaruhi proses pengambilan keputusan dalam lingkungan kerja mereka untuk membuat program yang bermanfaat bagi desa.
Read more: Bagaimana kreator konten bisa menghasilkan karya yang berpihak pada masyarakat dan kemanusiaan
Pelajaran untuk pembangunan
Belajar dari pengalaman GDM, setiap anggota masyarakat yang secara sosial terpinggirkan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk menyuarakan kepentingannya pada publik - bahkan membentuk publiknya sendiri. Saya menyebut ini sebagai “pemberdayaan komunikasi”.
Lebih lanjut, pusat dan pinggiran perlu dipersatukan dalam proses “penjembatanan” (bridging) yang merupakan pendekatan komunikasi ke atas dan ke bawah, sehingga terbentuk pola komunikasi yang konvergen.
Dari satu sisi, pusat mendekati desa dengan menghilangkan hambatan birokrasi. Dari sisi lain, desa mendekati pusat secara aktif melalui inisiatif, inovasi, dan ide otentik dengan mengikuti aturan main yang disepakati bersama.
Bridging diperlukan dalam rangka meraih tujuan pembangunan karena masing-masing pihak memiliki hal yang tidak dimiliki oleh pihak lainnya (jaringan milik desa atau dana milik pemerintah). Dengan bekerja bersama, masing-masing dapat mengisi kekurangan yang lain.