Menu Close

Bagaimana memperbaiki pengajaran literasi, numerasi, dan sains di era pasca Ujian Nasional

(Pexels/Cottonbro), CC BY

Pemerintah Indonesia tahun lalu meniadakan Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi yang menguji literasi, numerasi, dan sains.

Ketiga aspek ini merupakan pilar-pilar penting dalam kompetensi pembelajaran murid, dan banyak dipakai sebagai indikator capaian dalam tes global seperti Program for International Students Assessment (PISA).

Di sisi lain, berakhirnya UN juga berarti arah pembelajaran murid kembali ke tangan guru – termasuk mengembangkan kemampuan siswa dalam ketiga aspek tersebut.

Guru, sekolah, dan pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan cara lama yang fokus meraih skor tinggi dalam ujian. Misalnya, budaya drill and practice, di mana murid harus menggarap latihan ujian berkali-kali sampai mampu menjawab soal dengan baik, sudah tidak relevan lagi di era pasca UN.

Kebijakan pendidikan dan metode mengajar seperti apa yang tepat bagi guru di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains?

Menanamkan literasi: stimulasi sejak dini dan penggunaan bahasa ibu

Berdasarkan riset tahun 2020, dua kunci menumbuhkan literasi pada anak adalah pengalaman dan waktu.

Artinya, pendidik punya peran penting untuk mulai menanamkan kemampuan ini sejak level sekolah dasar (SD), terutama kelas 1, 2, dan 3.

Mereka bisa menstimulasi kemampuan bahasa anak dengan merancang beragam kegiatan – rutin membaca buku cerita, membedah pesan dan isinya, atau mengembangkan kosakata melalui permainan dan kartu – dan bereksperimen dengan berbagai teknik seiring mereka lebih berpengalaman.


Read more: Model literasi yang bermanfaat untuk Indonesia: bukan sekadar melek huruf


Sayangnya, mayoritas guru dalam studi tersebut baru melakukannya 5-10 menit setiap hari. Idealnya, guru bisa melibatkan murid lebih dari 20 menit dalam kegiatan khusus literasi.

Selain itu, literasi tidak terikat hanya pada satu mata pelajaran tertentu, tapi mencerminkan kemampuan murid memahami dan mengkritisi informasi di berbagai materi pembelajaran.

Di sini, beberapa ahli mengatakan bahwa jenis bahasa yang digunakan dalam berbagai materi sangat penting.

Masyarakat kerap ingin mengajarkan bahasa Inggris kepada anak, dan bahasa Inggris juga merupakan bahasa utama komunikasi sains, tapi menggunakannya di fase awal sekolah dapat berimbas pada capaian pembelajaran. Belajar dengan bahasa pertama, dalam hal ini bahasa Indonesia, memudahkan mereka memahami materi dan mengembangkan kemampuan numerasi dan sains.

Dalam studinya, peneliti pendidikan Mei-Hung Chiu, misalnya, mengatakan sebaiknya siswa diperkenalkan dengan terminologi sains (dalam fisika, kimia, dan biologi), hanya setelah memperoleh pemahaman tersebut dalam bahasa ibunya.

Sebaliknya, sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar sejak jenjang awal juga bukan hal yang ideal.

Studi kasus di Filipina yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar utama, menunjukkan bahwa murid kerap kebingungan memahami konsep matematika dan sains jika belum diperkenalkan dalam bahasa ibu.

Filipina bahkan berada pada urutan terakhir untuk skor literasi, numerasi, dan sains dalam peringkat PISA tahun 2018, serta kerap menoreh capaian sains yang buruk berdasarkan berbagai riset.

Mengembangkan numerasi: mata uang dan kebijakan seleksi guru matematika

Dalam teknik mengajar, studi tahun 2019 dari peneliti Amerika Serikat (AS) menyarankan hitungan berbasis mata uang sebagai cara yang baik dalam meningkatkan kemampuan numerasi.

Selain mudah menggunakan bilangan tersebut dalam soal matematika, ini juga bisa jadi lebih menarik bagi murid karena tidak memakai angka-angka abstrak melainkan sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka.

AS memiliki mata uang 1 USD, Taiwan memiliki 1 TWD, Jepang memiliki 1 Yen, Malaysia memiliki 1 Ringgit, dan Singapura memiliki 1 SGD. Di negara-negara tersebut, siswa bisa belajar soal seperti 15 + 34 dengan latar transaksi mata uang.

Penulis menggunakan koin dari mata uang TWD saat mengajar murid di Taiwan. (Dadan Sumardani), Author provided

Meski demikian, satuan terendah mata uang Indonesia yang paling umum digunakan dimulai dari Rp 1.000 – siswa hanya bisa belajar 15.000 + 34.000 yang merupakan pelajaran numerasi lanjutan – sehingga metode ini mungkin lebih cocok untuk jenjang sekolah menengah (SMP dan SMA).

Selain itu, kebijakan terkait guru juga sangat memengaruhi kualitas pengajaran numerasi. Misalnya, pemerintah saat ini melarang lulusan jurusan pendidikan Matematika untuk mengajar di jenjang SD.

Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2016, guru Pendidikan Dasar harus merupakan lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) – kecuali mereka memenuhi persyaratan yang lebih sulit yakni penyetaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama sekitar 2 tahun.

Padahal, saat ini jurusan PGSD termasuk rumpun sosial atau sosial-humaniora dalam seleksi perguruan tinggi, di mana hanya lulusan ilmu sosial (IPS) yang boleh mengikuti atau harus melalui ujian sosiologi, geografi, dan ekonomi.

Tim peneliti dari Surabaya menemukan bahwa skor numerasi guru SD sangat buruk, karena input dari jurusan PGSD yang memang tidak relevan untuk mendukung pengajaran numerasi.

Pemerintah harus segera membenahi sistem seleksi guru dan membuka pintu bagi lulusan pendidikan matematika supaya guru di jenjang SD memiliki kemampuan pengajaran numerasi yang kuat.

Mengajarkan sains: pembelajaran interaktif di taman ilmiah

Untuk pengajaran sains, Indonesia bisa berkaca dari Jepang yang merupakan salah satu negara yang baik dalam capaian sains.

Selain sangat memperhatikan kualitas pendidikan sejak dini, sekolah di Jepang juga banyak mengajarkan sains di berbagai fasilitas sains.

Contohnya dapat berupa kunjungan ke museum sains, planetarium, Pusat Peragaan IPTEK (PP-IPTEK), atau festival sains di sekolah.

Pengunjung beraktivitas dan belajar astronomi di salah satu ruang pameran di Planetarium Jakarta. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Fasilitas yang baik mungkin tidak mengubah praktik pendidikan secara drastis, tapi membantu mendorong pengajaran sains yang interaktif dan merangsang kognisi.

Berdasarkan studi di Prancis, pendidikan sains harus mencakup berbagai kegiatan di mana siswa berpartisipasi dalam pengamatan fenomena ilmiah secara langsung – fasilitas sains adalah salah satu cara terbaik melakukan ini.

Di Indonesia ada beberapa fasilitas sains yang bisa dikunjungi, meski jumlahnya tidak terlalu banyak.

Misalnya, di Jakarta ada empat museum sains: Planetarium Jakarta, PP-IPTEK, Museum Listrik dan Energi Baru, dan Sky World. Di Bandung ada Puspa Iptek Sundial, di Surabaya ada The Bagong Adventure Human Body Museum, dan di Yogyakarta ada Taman Pintar Science Park.

Alternatif lain yang dapat dilakukan dengan lebih mudah adalah belajar di laboratorium sains sekolah dengan memanfaatkan momentum kejadian alam – seperti gerhana, banjir, bulan purnama, dan fenomena lainnya.

Melangkah ke depan

Beberapa hal di atas – dari penggunaan mata uang, reformasi sistem seleksi guru, sampai kolaborasi dengan taman ilmiah – adalah cara-cara yang bisa dipraktikkan dan diamati oleh guru, sekolah, maupun pemerintah dalam mendorong pengajaran literasi, numerasi, dan sains yang lebih kuat di Indonesia.

Tapi, kita tentu membutuhkan analisis dan riset yang lebih mendalam mengenai metode mengajar dan kebijakan inovatif lainnya.

Peneliti pendidikan di Indonesia, misalnya, dapat belajar dari kurikulum di berbagai negara dan membedah kelebihan dan kekurangannya dalam memfasilitasi pembelajaran siswa dalam ketiga aspek tersebut.

Yang jelas, kita tidak bisa lagi mengandalkan paradigma pendidikan di era UN. Sistem pendidikan di Indonesia harus beralih pada kebijakan dan metode pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan siswa dan menanamkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains secara optimal.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now