Menu Close

Bagaimana sektor pembangunan optimalkan ChatGPT untuk perubahan

Artikel ini adalah bagian dari serial #KenapaTakutAI?#

Kecerdasan buatan atau artifial intelligence (AI) kerap kali lebih banyak dipakai dan dibicarakan untuk urusan bisnis, pendidik, dan sektor publik atau pemerintah. Masih jarang AI, apalagi Generative Artificial Intelligence (Gen AI) yang populer sejak akhir tahun lalu, dibahas untuk urusan sektor pembangunan guna mendorong perubahan sosial.

Survei terbaru Kopernik pada Mei lalu fokus pada pengetahuan dan pengalaman pekerja sektor pembangunan terkait penggunaan aplikasi Gen AI saat ini dan prospek masa depan.

Kami mengumpulkan data dari 121 responden yang bekerja pada sektor pembangunan (sektor sosial) di Indonesia. Dari 121, mereka adalah pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM) (42%), social enterprise (30%), institusi akademis dan lembaga penelitian (17%), lembaga bantuan (7%), dan yayasan filantropi (4%).

Hasilnya menunjukkan 13% responden yang mewakili organisasi mereka sangat familiar dengan Gen AI. Sekitar 46% dari total responden memiliki pengetahuan dasar terkait Gen AI. Di antara mereka yang memiliki pengetahuan dasar dan cukup baik mengenai Gen AI, 36% melaporkan bahwa mereka menggunakannya seringkali atau setiap hari.

Mereka memberdayakan Gen AI seperti ChatGPT untuk riset, pengembangan gagasan, pembuatan konten, perbaikan penulisan, dan penerjemah. Platform Gen AI yang paling populer di kalangan pekerja sektor pembangunan adalah ChatGPT (55%), diikuti oleh Bing AI (11%).

Penggunaan Gen AI di sektor pembangunan

Sejak akhir 2022, teknologi Gen AI mulai meningkat popularitasnya secara global, termasuk di Indonesia. Dengan hanya menuliskan sebuah perintah singkat dan spesifik, platform Gen AI seperti ChatGPT atau Firefly dapat menghasilkan teks, audio, atau visual yang sesuai dengan perintah yang dimasukkan.

Riset kami menunjukkan walau 67% responden memiliki pandangan positif terhadap Gen AI dan masa depannya, ada 47% responden yang khawatir terhadap potensi isu negatif yang dapat terjadi dari pemanfaatannya. Jenis-jenis kekhawatiran terdiri dari ketergantungan yang berlebihan, perubahan lapangan kerja, keandalan dan ketepatan informasi, karya cipta, privasi dan keamanan, dan lain-lain.

Seorang responden mengatakan, “Orang mengandalkan pemikiran mereka dengan Gen AI, dan Gen AI tidak dimaksudkan untuk tujuan itu. Gen AI adalah alat untuk membantu kita dalam membentuk ide, meningkatkan hasil, dan membantu kita memanfaatkan waktu untuk hal yang lebih penting”.

Selain survei kuantitatif, kami juga menindaklanjuti dengan survei kualitatif terhadap beberapa responden guna menemukan informasi lebih dalam terkait contoh-contoh penggunaan Gen AI di sektor pembangunan Indonesia.

Salah satu temuannya adalah butuh tingkat keahlian yang berbeda-beda dalam memberikan perintah ke Gen AI. Mulai dari pembuatan kerangka e-mail yang mudah, hingga perintah visualisasi data yang membutuhkan keahlian lebih tinggi dalam memasukkan perintah atau prompt.

Carmen Van Zyl, CEO PT Live Better Creatives, sebuah perusahaan sosial misalnya, punya pengalaman menggunakan ChatGPT saat website kantornya rusak. Mereka sedang kekurangan staf IT, lalu mereka “memerintahkan” ChatGPT membuat “petunjuk” bagaimana cara memperbaiki halaman web yang bermasalah. “ChatGPT dengan cepat memberikan beberapa solusi yang langsung kami terapkan dan akhirnya dapat memperbaiki isu website kami”, ujar Carmen.

Mereka dapat memperbaiki web tanpa perlu melibatkan administrator website.

Perusahaan sosial lainnya juga sedang bereksperimen dengan ChatGPT untuk menghasilkan kode pada R Studio, sebuah perangkat lunak statistik, guna membantu visualisasi data. Sementara itu, perusahaan sosial lainnya juga menggunakan ChatGPT untuk membantu UMKM dalam membuat promosi produk untuk Lebaran di media sosial.

Contoh lainnya, sebuah organisasi donor menggunakan Dall-E sebagai bagian dari lokakarya tinjauan masa depan Ibu Kota Indonesia yang baru. Kata kunci yang diperoleh dari diskusi dimasukkan ke dalam Dall-E untuk menghasilkan gambaran dan aspirasi terkait pengembangan ibu kota yang baru dengan bantuan Gen AI.

Tantangan

Sebuah riset bertajuk On the Dangers of Stochastic Parrots: Can Language Models Be Too Big? menunjukkan bahwa 93% dari data training ChatGPT menggunakan bahasa Inggris walau hanya 19% dari populasi dunia yang menggunakannya sebagai bahasa ibu atau bahasa kedua. Akibatnya, hasil kerja ChatGPT berpotensi menunjukkan bias terhadap wilayah yang menggunakan Bahasa Inggris.

Terlebih lagi, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat memanfaatkan Gen AI, seperti akses listrik, akses ke internet, dan perangkat yang memadai seperti ponsel pintar. Dengan demikian, dibutuhkan juga keterampilan untuk dapat menggunakan Gen AI secara efektif. Keterampilan tersebut akan memudahkan pengguna untuk dapat mengidentifikasi platform Gen AI yang sesuai dengan kebutuhan.

Namun, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan masih jelas terlihat. Adanya gap yang signifikan pada literasi dasar digital dapat mengakibatkan aksesibilitas Gen AI yang tidak merata di Indonesia.

Mereka yang tidak memenuhi persyaratan ini mungkin akan dirugikan sehingga memperburuk kesenjangan digital yang ada.

Rekomendasi

Untuk dapat menguasai keterampilan menggunakan Gen AI, perlu pendekatan penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari yang baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan menggunakan teknologi digital dan meningkatkan literasi dasar digital, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Seiring dengan meningkatnya minat penggunaan Gen AI–termasuk pemerintah Indonesia yang telah menerbitkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045 yang merinci penggunaan, manfaat, risiko dan prasyarat menggunakan AI–banyak responden yang menyatakan bahwa Gen AI memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor pembangunan Indonesia.

Sektor pembangunan di Indonesia dapat memanfaatkan sikap proaktif pemerintahan tersebut dengan mulai memberi fokus terhadap cara menanggulangi adanya potensi kesenjangan digital yang dapat terjadi dengan kehadiran Gen AI.

Salah satu caranya adalah dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan penggunaan Gen AI yang lebih inklusif, yang menyasar ke berbagai kalangan di kota-desa, perempuan dan laki-laki. Hal ini sangat dibutuhkan agar perkembangan AI yang begitu cepat dapat membantu berbagai kalangan tanpa meninggalkan siapa pun.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now