Menu Close

Batal jadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023: Indonesia kehilangan peluang ‘soft power’ dan pemulihan citra global

Dunia sepakbola nasional berduka setelah Indonesia gagal melangsungkan perhelatan besar Piala Dunia U-20 2023.

Indonesia sebenarnya telah melakukan persiapan panjang sejak 2019, ketika FIFA memutuskan Indonesia terpilih sebagai tuan rumah – mengalahkan negara lain termasuk Brasil dan Peru. Persiapan ini termasuk mematangkan enam stadion yang disetujui FIFA hingga melakukan berbagai pendekatan untuk mempertahankan status tuan rumahnya setelah Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 130 nyawa.

Sayangnya, menyusul serangkaian penolakan terhadap tim nasional Israel yang akan berlaga di Indonesia oleh sebagian masyarakat, FIFA akhirnya membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.


Read more: Piala Dunia U-20: Penolakan terhadap Israel menunjukkan kurangnya pemahaman Indonesia tentang _lex sportiva_ dalam olahraga


Padahal, berkaca pada ajang olahraga lainnya yang pernah dilakukan di Indonesia, misalnya Asian Games 2018, ada banyak keuntungan yang dapat diperoleh Indonesia sebagai tuan rumah.

Salah satu keuntungan terbesar adalah peningkatan pendapatan yang berasal dari tiket masuk, pembukaan lapangan kerja, peningkatan wisatawan, dan bahkan investasi asing secara jangka panjang. Selain itu, masyarakat Indonesia pun ikut merasakan keuntungan dari peremajaan fasilitas umum yang digunakan selama event berlangsung. Ini termasuk ruang terbuka hijau, kantin makan, toilet umum, mushola, selter bus, hingga jaringan drainase jalanan.

Namun, yang juga sangat penting, penyelenggaraan ajang olahraga besar (sport mega-event) seperti Piala Dunia U-20 termasuk ke dalam aktivitas diplomasi yang dapat membantu peningkatan “soft power”. Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Joseph Nye menjelaskan ini sebagai kemampuan suatu negara dalam membangun hubungan dan memengaruhi pihak lain melalui komunikasi, daya tarik, dan budaya.

Dengan batalnya status sebagai tuan rumah, Indonesia kehilangan peluang emas yang menyertai ajang bergengsi tersebut: martabat internasional, perbaikan citra, dan peningkatkan penerimaan publik di ranah global.

Hilangnya ‘soft power’ dan peluang pemulihan persepsi publik dunia

Menurut riset yang memetakan citra internasional negara penyelenggara Olimpiade dan Piala Dunia selama 2004-2008, diplomasi olahraga merupakan salah satu instrumen soft power yang berperan besar mempengaruhi cara publik, baik nasional maupun internasional, dalam mempersepsikan atau memandang suatu negara.

Dari sisi domestik saja, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018, misalnya, masyarakat Indonesia menunjukkan rasa bangganya, salah satunya melalui media sosial. Kemegahan Asian Games 2018 menjadi salah satu topik teratas (trending topic) di Twitter.

Asian Games 2018 membawa berbagai manfaat bagi Indonesia, baik secara domestik maupun di panggung dunia. (Wikimedia/Fars Media), CC BY

Panggung megah, musisi tenar, dan aksi seorang pemimpin negara yang menaiki motor gede menjadi topik hangat selama ajang multi-olahraga terbesar setelah Olimpiade tersebut berlangsung. Bahkan, pujian mengalir dari masyarakat Indonesia setelah melihat keberhasilan para atlet Indonesia dalam berbagai cabang olahraga.

Tak hanya di tingkat domestik, Asian Games 2018 juga berhasil meningkatkan martabat Indonesia di mata dunia.

Berbagai media asing menyampaikan rasa kagumnya terhadap penyelenggaraan Asian Games 2018. Indonesia dinilai sukses menjadi tuan rumah. Media ternama seperti Associated Press hingga South China Morning Post memberikan apresiasinya bagi Indonesia – bahkan menyiratkan bahwa keberhasilan ini bisa jadi landasan bagi Indonesia untuk mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade 2032.

Pendapat serupa disampaikan oleh Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach. Menurutnya, Indonesia telah menunjukkan kemampuan kerja dan keramahan yang baik selama menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Ajang seperti Asian Games 2018 menjadi bukti bahwa ketika Indonesia bisa sukses menyelenggarakan turnamen besar sebagai tuan rumah, ada banyak manfaat yang bisa diraih di panggung global.

Bahkan, studi pun menunjukkan bagaimana Inggris rela menggelontorkan hampir $US 15 miliar (Rp 225 triliun) untuk membiayai Olimpiade 2012 demi menuai manfaat dan peninggalan (legacy) domestik maupun citra internasional dalam bidang keolahragaan.

Sayangnya, telah tertutup pintu bagi Indonesia untuk meraup manfaat soft power serupa dari ajang Piala Dunia U-20 2023.

Hilangnya peluang ini pun semakin disayangkan setelah tahun lalu, Indonesia menuai sorotan publik internasional akibat Peristiwa Kanjuruhan. Kritik tersebut termasuk dari segi manajemen keselamatan pertandingan, kekerasan oleh kepolisian, hingga komunikasi publik yang buruk.

Angka kematian Peristiwa Kanjuruhan juga menempatkan Indonesia pada peringkat kedua bencana stadion paling mematikan dalam sejarah dunia setelah bencana Estadio Nacional di Peru pada 1964.

Di sini, jika didukung persiapan penyelenggaraan yang matang dan pembelajaran yang baik setelah tragedi tersebut, ajang Piala Dunia U-20 2023 sebenarnya bisa menjadi awal mula yang tepat bagi Indonesia untuk memulihkan kepercayaan dan persepsi publik dunia.

Tentu, FIFA telah menyatakan bahwa mereka siap mendampingi Indonesia dalam penguatan infrastruktur dan manajemen sepak bola setelah Kanjuruhan. Indonesia juga masih punya peluang meraup manfaat penyelenggaraan ajang olah raga internasional lewat ANOC World Beach Games di Bali pada bulan Agustus dan FIBA Basketball World Cup yang akan berlangsung pada Agustus-September di Indonesia, Filipina, dan Jepang sebagai tuan rumah gabungan.

Namun, sebagai ajang dengan potensi audiens dan perhatian publik yang terbesar, gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 2023 adalah pukulan besar bagi soft power Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now