Menu Close
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk lapangan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/tom.

Tragedi Stadion Kanjuruhan: kenapa dan bagaimana stampede menelan begitu banyak korban setelah kompetisi sepak bola?

Tragedi kematian 131 orang, termasuk 33 anak, akibat ‘kerusuhan’ sesaat setelah kompetisi sepak bola di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Sabtu lalu berpotensi menempatkan tragedi ini sebagai kasus tertinggi kasus stampede stadion olahraga di dunia abad ini.

Sebelumnya, rekor abad ini dipegang oleh stampede di Ghana Football Stadium 2001, tercatat sedikitnya 126 orang meninggal. Stampede, krisis alur-alir kerumunan massa, merupakan gabungan fenomena panik, lari, desak, dorong, himpit-himpitanan sampai saling injak dan terkadang juga saling serbu –disingkat PLDDHIS - menuju pintu keluar baik dalam konteks pertunjukan olahraga, acara keagamaan, kampanye maupun konser.

Secara umum stampede hanyalah simtom yang bisa dipicu oleh berbagai faktor baik kerusuhan, keruntuhan bangunan stadion, terorisme, hingga agresi petugas keamanan atau pun gabungan beberapa faktor ini. Ciri khas kematian dalam stampede adalah berupa trauma di bagian kepala dan dada karena benturan akibat terinjak, terjatuh, berdesakan, dan kekurangan oksigen.

Sejumlah penonton membawa rekannya yang pingsan akibat sesak napas terkena gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan saat kericuhan usai pertandingan sepak bola BRI Liga 1 antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/tom

Beberapa peristiwa stampede sebelumnya seperti kasus Stadion Hillsborough di Sheffield Inggris pada 1989 dan atau kasus Stadion Nasional di Lima Peru pada 1964 berasosiasi dengan massa yang melebihi kapasitas desain stadion yang berakibat pada keamanan stadion dan penanganan petugas keamanan yang kurang bijak.

Persoalan yang sama terjadi dalam tragedi Kanjuruhan, yang menurut pemerintah, massa melebihi kapasitas desain dari 38.000 penonton tetapi penyelenggara mencetak 42.000 tiket untuk pertandingan BRI Liga 1 antara Arema FC versus Persebaya itu. Tentu saja faktor polisi yang menembakkan gas air mata ke para penonton juga memperburuk keadaan di Kanjuruhan saat itu.

Pertanyaanya: mengapa dan bagaimana bisa terjadi stampede hingga menelan begitu banyak korban? Kami menjawab pertanyaan ini dari sudut psikologi massa dan manajemen risiko.

Memahami perilaku kerumunan massa

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita mengajukan pertanyaan lain: apakah PT Liga Indonesia Baru sebagai penyelenggara, Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI), atau pun kepolisian memiliki sistem manajemen risiko dalam membuat penilaian dan pemantauan risiko (misalnya berbasis data penjualan tiket), hingga sistem peringatan dini tentang kemungkinan terjadinya stampede dan strategi mitigasi risiko?

Perlu kita pahami bahwa kerumunan massa adalah proses, bukan entitas. Sebagai suatu proses, bagaimana kerumunan terbentuk dan berinteraksi sangat menentukan bagaimana kerumunan ini akan bubar.

Dalam studi tentang kedaruratan massal dengan sampel tiga kerumunan massal di London 2012 Summer Olympics and Paralympics, final Union of European Football Associations European Championship 2012, dan ibadah haji 2012 dan 2013, stampede adalah fenomena ketika kerumunan massa yang tidak dikelola psikologinya (crowd control atau crowd management) kemudian menjadi panik dan terjebak dalam risiko panik hingga saling injak (PLDDHIS).

Dalam paradigma studi pelayanan publik, petugas keamanan di stadion sepak bola sedang melakukan pelayanan langsung pada massa. Para pelayan langsung ini semestinya mengantisipasi perilaku PLDDHIS berdasarkan analisis risiko dan prediksi perilaku massa dan sikap petugas keamanan di lapangan.

Penyemprotan gas air mata yang sering dijadikan andalan untuk memecah konsentrasi kerumunan di daerah tanpa sekat justru berpotensi menimbulkan kepanikan massal, selain tidak tepat digunakan dalam gedung stadion. Penggunaan gas air mata di stadion secara tegas dilarang oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA).

Studi neurosains menunjukkan bahwa kepanikan massal berbeda dengan ketakutan pada level personal. Dalam kepanikan massal, dinamika interaksi antarindividu lebih penting dibandingkan emosi orang per orang.

Kerumunan yang panik memicu aktivitas antisipasi dan amplifikasi aksi yang lebih tak terkontrol. Naluri “selamatkan diri masing-masing”, termasuk PLDDHIS dan perilaku apa pun yang dirasa dapat membantu meninggalkan sumber bahaya menjadi lebih dominan.

Pada beberapa kasus stampede, orang-orang yang selamat mengungkap bahwa mereka tidak dapat melihat atau mendengar apa yang terjadi di hadapan mereka, sehingga secara keliru bergerak maju ke arah pintu yang terblokir.

Anjuran untuk “tenang, tenang!,” bagi kerumunan di stadion juga tidak efektif karena penonton yang duduk tenang di tribun pun akan tetap tersua arus massa. Bagi penonton yang tenang, menularnya stres juga berdampak berkurangnya kewaspadaan.

Berbeda dengan kerumunan di jalan (street crowd) atau lapangan tanpa sekat yang memungkinkan massa mundur agar terhindar dari gas air mata, lautan massa dalam stadion tidak bisa mundur begitu saja. Tidak ada jalan lagi selain mengikuti arus berebut pintu keluar.

Rebutan pintu keluar ini adalah bentuk bias kognitif yang dijadikan mental shortcut alias jalan pintas pikiran dari massa yang panik. Kondisi psikologis kerumunan massa dalam stadion ini harus dipahami petugas. Langkah membuat pintu tambahan dalam situasi bencana yang sedang berjalan ini menjadi tidak berguna atau konyol. Ketika pintunya jadi, apinya sudah padam.

Komplikasi lain, tidak semua penonton tanggap kegawatan. Sebagian orang perlu waktu untuk clingak-clinguk dahulu.

Suporter Persebaya menyalakan lilin saat mengikuti doa bersama di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 2022. Doa bersama itu untuk para korban tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.

Pentingnya kalkulasi dan mitigasi

Kalkulasi risiko sebelum fakta kejadian (ex ante) dan strategi mitigasi menjadi penting. Sayangnya hal ini sering menjadi disepelekan oleh penyelenggara acara dan stakeholder terkait termasuk petugas keamanan.

Studi kerumunan massal sudah menjadi sebuah disiplin baru dalam Studi Kesehatan Masyarakat - sebagaimana diluncurkan di Majelis Kesehatan Dunia Menteri Kesehatan di Jenewa tahun 2014.

Tata kelola kerumunan massal tidak hanya mencakup sistem perencanaan dan pengawasan risiko kesehatan masyarakat. Sebab, kerumunan massal secara intrinsik mengandung ancaman kesehatan masyarakat sehingga membutuhkan penyediaan layanan terkait.

Namun demikian, studi kerumunan massal tidak bisa direduksi sebagai isu kesehatan masyarakat semata. Studi ini seharusnya bersifat interdisiplin, mencakup studi kontrol massa dalam bencana dan kedaruratan, studi kepolisian, studi psikologi massa, studi administrasi publik, dan sebagainya.

Studi kerumunan massal tentunya tidak hanya difokuskan pada fenomena stampede. Risiko-risiko kerumunan massal juga menyasar fenomena-fenomena seperti kegagalan struktur bangunan stadion, terorisme, hingga potensi penularan penyakit menular serta kecelakaan.

Yang menarik, sejak abad ke-21, fenomena stampede sepak bola ini menjadi fenomena negara berkembang. Meningkatnya studi-studi kerumunan massal dari berbagai disiplin ilmu, termasuk neurosains di negara-negara maju pada abad ke-20, setidaknya mampu mereduksi kejadian stampede termasuk di Inggris dan daratan Eropa pada abad ini.

Efektivitas keputusan dalam kontrol massal membutuhkan edukasi dan pelatihan. Pengelola acara massal seperti PSSI maupun petugas keamanan dan para penyedia jasa keamanan publik hendaknya memahami tentang perilaku massa dan akibat dari potensi agresi petugas seperti ekses dalam penggunaan gas air mata.

Densitas kerumunan misalnya, harus dipertimbangkan dalam perumusan solusi. Ketika suatu kerumunan tidak terlalu padat, informasi dari rambu-rambu, indikator penunjuk arah, dan peta cukup efektif sebagai panduan bagi pergerakan manusia. Ketika densitas ini meningkat, intervensi dari personil yang terlatih amat dibutuhkan.

Kami berharap ada studi forensik yang komprehensif dalam kasus Kanjuruhan, termasuk dari sudut pandang psikologi massa untuk menyusun mitigasi potensi bencana stampede pada masa yang akan datang. Trouble never sends a warning. Even worse, if you delay more, you are going to spend even more. Masalah muncul tanpa peringatan. Parahnya lagi, jika Anda menunda lebih lama, Anda harus menanggung ongkos lebih besar.

Kita perlu memastikan bahwa tragedi seperti di Kanjuruhan tidak boleh terulang. Selain aparat hukum harus mengusut kasus ini hingga tuntas dan terang, ke depan penyelenggara acara massal dan aparat keamanan harus menghitung risiko sebelum acara dan membangun strategi mitigasi untuk mencegah terjadinya stampede.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now