Menu Close

Bencana alam vs nonalam: membandingkan kesiapan dan penanganan tsunami 2004 dan wabah 2020

Hotli Simanjuntak/EPA

Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional pada 26 April.


Sains memberitahu kita bahwa bencana yang terjadi di masa lalu bisa terjadi kembali di masa datang.

Pandemi, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api dan berbagai bencana berulang terjadi. Namun, kita sering terkejut dan tidak siap ketika mengalami bencana yang berulang itu.

Sejak Indonesia berdiri, status bencana nasional pernah dinyatakan oleh tiga rezim pemerintahan yang berbeda. Pertama, pada kejadian tsunami di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur tahun 1992 oleh Presiden Suharto. Kedua, pada gempa bumi dan tsunami Aceh-Nias tahun 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kini, karena wabah COVID-19, status bencana nasional kembali dinyatakan. Pada 13 April 2020, Indonesia menetapkan status bencana nasional lewat keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Apa yang berbeda dari penanganan bencana tsunami 2004 dan COVID-19? Selama 16 tahun ini, kemajuan apa yang sudah kita buat?


Read more: Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana


Tsunami vs wabah

Pandemi COVID-19 dan tsunami 2004 disebabkan oleh fenomena yang berbeda – alam dan nonalam – namun menyebabkan korban jiwa, kerugian ekonomi dan lingkungan yang sulit ditanggulangi sendiri oleh pemerintah daerah tempat bencana terjadi.

Dilihat dari jumlah korban, tsunami 2004 lebih tinggi - 172.761 jiwa, tapi sebaran lokasi terdampak relatif terbatas. Jumlah korban wabah tidak setinggi korban tsunami - 8,882 kasus positif dengan 743 orang meninggal per 26 April -, tapi terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, dan angka ini masih terus meningkat.

Dalam hal peran ilmuwan, kedua jenis ancaman bencana ini telah dikaji sejumlah pihak. Namun, pengetahuan ini tidak disertai pengembangan kajian risiko, sistem peringatan dini, dan penguatan kelembagaan sebelum bencana terjadi.

Sebelum Desember 2004, meskipun terbatas, ada sejumlah penelitian terkait peluang terjadinya tsunami di wilayah Sumatra. Namun peran sains masih sangat minim dalam mengarahkan kebijakan penanggulangan bencana pemerintah Indonesia.

Tidak ada kajian risiko yang tersedia sebelum bencana Aceh terjadi dan publik memiliki pemahaman yang tidak tepat terhadap bencana. Paradigma yang digunakan adalah merespons kejadian, bukan mengurangi risiko.

Masyarakat di Aceh dan Nias tidak membayangkan peristiwa sedahsyat tsunami itu itu bisa terjadi; dan tidak cukup waktu bagi mereka menyiapkan dan menyelamatkan diri.

Warga di Pulau Simeulue beruntung masih menyimpan memori kolektif, sehingga mereka berhasil menyelamatkan diri dengan pengetahuan lokal ‘smong’

Untuk kasus COVID-19, meskipun ada sejumlah pengetahuan lokal tersimpan di memori kolektif masyarakat terkait pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1919, tapi secara umum masyarakat Indonesia seolah lupa akan sejarah tersebut, dan cenderung tidak siap.

Pada COVID-19, banyak ilmuwan dan praktisi telah mengingatkan kemungkinan masuknya virus SARS-CoV-2 tapi justru peringatan ini diabaikan oleh Kementerian Kesehatan.

Kajian risiko yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan atau yang berwenang lainnya, kalaupun ada, tidak bisa diakses oleh publik. Menurut kami, peran sains saat ini tidak jauh berbeda dibanding pasca bencana tsunami 2004, meskipun jumlah ilmuwan terkait kebencanaan semakin bertambah.

Tidak ada sistem peringatan dini pada tsunami 2004 maupun pada COVID-19 yang dapat membantu masyarakat untuk mengenali risiko dan bertindak sesuai dengan anjuran dan kebijakan pemerintah.

Instruksi serta arahan dari pemerintah terkait COVID-19 kerap tumpang tindih dan tidak konsisten. Masyarakat pun tidak memahami ada di level situasi seperti apa kita saat ini, sehingga kebijakan yang dikeluarkan, misalnya Pembatasan Sosial Berskala Besar, memperoleh tanggapan berbeda-beda dari masyarakat.

Panel Sosial untuk Kebencanaan - yang berafiliasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan dikoordinasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) khususnya untuk kajian COVID-19 - dalam salah satu studinya menyebutkan bahwa persepsi publik mengenai keterbukaan informasi sangat penting untuk dipertimbangkan pemerintah dalam kebijakan penanggulangan bencana wabah.

Hasil studi itu menggarisbawahi pentingnya keterbukaan informasi pasien positif dan riwayat perjalanannya untuk mencegah laju penularan, namun pemerintah tampak tidak sejalan dengan temuan studi tersebut.


Read more: Perempuan lebih rentan jadi korban bencana alam. Apa yang bisa dilakukan?


Perkembangan baik

Di luar proses penanganan yang masih tertatih, ada sejumlah kemajuan yang dicapai dalam 16 tahun terakhir yang berkontribusi pada penanganan bencana nasional COVID-19.

Pertama, Indonesia belum memiliki undang-undang kebencanaan pada 2004. Kini, Indonesia telah memiliki undang-undang (UU) tentang penanggulangan bencana yang dikeluarkan pada 2007. Dalam UU ini, kejadian alam maupun non alam - termasuk pandemi - diakui sebagai faktor pemicu terjadinya bencana.

Kedua, dalam hal kelembagaan, pemerintah membentuk badan ad hoc Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk tsunami 2004. Kini sudah ada BNPB - yang berdiri pada 2008 - di tingkat nasional dan juga di provinsi dan kota/kabupaten.

Meskipun demikian, pemerintah menganggap perlu membentuk badan ad hoc Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Gugus tugas ini diketuai oleh kepala BNPB dan juga dibentuk di tingkat daerah dengan unsur Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Kesehatan dan lembaga terkait lainnya. Peran lembaga non pemerintah juga menguat.

Ketiga, teknologi komunikasi dan informasi, termasuk media sosial, mempermudah penyebaran informasi kepada publik.

Keempat, dengan kemajuan teknologi dan sosial media, gerakan sosial kini bergulir lebih cepat mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi oleh pemerintah, baik dari aspek ketersediaan data, aspek ekonomi dan ketahanan pangan.

Salah satu contoh baik dari gerakan sosial adalah ‘LaporCovid’, yang merupakan platform ‘data kita untuk kita’. Menggunakan aplikasi populer seperti WhatsApp dan Telegram, platform ini membuka partisipasi dari warga untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi dirinya, keluarganya, atau warga lain yang memiliki gejala terpapar virus, atau yang meninggal namun tidak sempat diuji positif tidaknya.

Dalam 16 tahun terakhir, sudah banyak perkembangan lain yang mematangkan ketangguhan Indonesia dalam menghadapi ancaman bencana.

Namun pandemi ini masih menghadapkan kita pada tantangan yang besar baik di ranah persepsi risiko, kelembagaan, sistem peringatan dini, maupun kemampuan merespons bencana di semua tingkat.

Hari Kesiapsiagaan Bencana secara nasional yang diperingati setiap tanggal 26 April juga mengingatkan kita semua akan hal yang amat penting: kesiapsiagaan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan.

Menghadapi pandemi, beberapa sisi upaya kita memang masih lemah. Tapi, perjuangan masih berlangsung dan kita tidak boleh kalah.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now