Menu Close

“Bukan lagi bidang laki-laki”: kiprah ilmuwan perempuan Indonesia dalam memajukan ilmu tanah

(ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Kiprah perempuan dalam dunia sains selama ini kerap menemui adanya “tembok kaca” yang menghambat mereka untuk memiliki pengaruh yang bermakna.

Di ranah yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki ini, misalnya, ilmuwan perempuan seringkali kesulitan meraih posisi kepemimpinan atau terlibat dalam kolaborasi riset internasional.

Untuk mendalami hal ini, kami melakukan studi tentang peranan ilmuwan perempuan dalam ilmu tanah – bidang yang digeluti tim penulis – melalui survei pada akademisi di universitas dan pusat penelitian di Indonesia. Hasil studi tersebut terbit di jurnal ilmiah internasional Soil Security pada edisi Maret 2022.

Sampai akhir tahun 1990-an, tim penulis mengamati bagaimana bidang ilmu tanah sering dianggap sebagai bidang yang “berat” bagi perempuan secara fisik dan mental. Jumlah mahasiswi yang menempuh pendidikan tinggi dalam bidang ilmu tanah kala itu juga masih sangat sedikit, rata-rata kurang dari 5% dari total jumlah mahasiswa.

Penelitian saat itu umumnya fokus pada survei tanah untuk pembukaan lahan pertanian dan transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Pekerjaan fisik seperti ini sangat mempengaruhi persepsi ilmuwan atau calon ilmuwan perempuan yang hendak berkiprah di bidang ini.

Perubahan tren pada generasi muda

Survei kami di 27 kampus negeri di Indonesia menemukan bahwa selama 2016-2021, jumlah mahasiswa baru pada program yang terkait dengan ilmu tanah meningkat menjadi sekitar 1.700 mahasiswa baru per tahun dibanding sekitar 1000 mahasiswa di tahun 2014.

Yang lebih menggembirakan, persentase mahasiswi juga meningkat setiap tahun dari rerata 45% di tahun 2014 dan mencapai 55% pada 2020.

Peningkatan ini mencerminkan adanya pergeseran fokus penelitian ilmu tanah.

Sejak 20 tahun lalu, topik riset ilmu tanah berkembang dari survei tanah ke peningkatan produksi pangan dan kelestarian lingkungan. Seiring perkembangan teknologi informasi, penelitian tidak harus di lapangan, tapi bisa dikerjakan di rumah kaca, laboratorium, dan komputer. Ini membuat akses bidang ilmu tanah menjadi lebih ramah bagi ilmuwan perempuan.

Bukan lagi bidang laki-laki

Kabar baik lainnya, kami mendapatkan data bahwa di beberapa pusat riset pertanian, jumlah staf perempuan mengimbangi staf laki-laki.

Misalnya, ini terlihat di Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian di Kementerian Pertanian. Mulai tahun 2019, lembaga ini dipimpin oleh Dr. Husnain, seorang peneliti perempuan di bidang ilmu tanah.

Kami juga menginventarisasi makalah yang terbit dalam seminar nasional ilmu tanah selama 20 tahun terakhir. Data tersebut mengungkap adanya kesetaraan jumlah antara peneliti perempuan dan laki-laki.

Ini membuktikan bahwa ilmu tanah bukan lagi bidang yang hanya bisa dikerjakan oleh ilmuwan laki-laki.

Survei kami pun mengungkap bahwa mahasiswa tidak menganggap gender sebagai masalah dalam dunia sains. Mereka memandang bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, dan penghargaan harus diberikan berdasarkan kapasitas dan kinerja.

Masih banyak pekerjaan rumah di universitas

Sayangnya, peningkatan jumlah mahasiswi dan perubahan sikap terhadap ilmu tanah ternyata tidak dibarengi dengan meningkatnya dosen perempuan. Jumlah dosen perempuan dalam ilmu tanah tetap berada pada kisaran 30% dan tidak ada perubahan sejak 10 tahun lalu.

Data kami juga mengungkap bahwa dosen perempuan memiliki kesempatan yang lebih rendah dibandingkan dosen laki-laki dalam mendapatkan gelar S3 (doktor). Dosen perempuan dalam ilmu tanah bergelar doktor hanya 16%, sedangkan dosen laki-laki mencapai 42%.

Guru Besar Ilmu Tanah perempuan pertama di Indonesia – yakni Prof. Nurhajati Hakim di Universitas Andalas – pun baru ditetapkan guru besar pada 1990.

Saat ini, jumlah profesor ilmu tanah perempuan hanya 3% dibanding profesor laki-laki yang mencapai 12%. Dosen perempuan juga lebih sedikit menduduki posisi kepemimpinan di lingkup pendidikan tinggi (jabatan tertinggi mereka adalah Dekan, Wakil Dekan, Direktur Pascasarjana, dan Wakil Rektor).

Data ini menunjukkan adanya hambatan karir secara struktural bagi para akademisi perempuan di kampus-kampus Indonesia. Kendala ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya, maupun hambatan organisasi.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sejak tahun 2000. Namun, setelah 20 tahun, hasilnya belum banyak terlihat di lingkup pendidikan tinggi.

Menjaga keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga juga merupakan tantangan bagi sebagian besar dosen perempuan. Dalam survei kami, banyak akademisi perempuan cenderung memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan.

Dalam budaya tertentu di beberapa daerah, perempuan tidak terbiasa berbicara tentang ambisi mereka untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Dalam organisasi pun, peran kepemimpinan masih banyak diberikan kepada laki-laki sehingga ilmuwan perempuan kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan organisasi akademik.

Menuju kesetaraan gender

Menutup kesenjangan gender dalam dunia sains membutuhkan kebijakan yang inklusif, serta komitmen dan pemahaman yang jelas dari semua pihak yang terlibat.

Peneliti ilmu tanah kini tidak bisa lagi sekadar fokus meningkatkan produksi pangan, tapi juga harus mengamati perubahan iklim, gas rumah kaca, mikroba tanah, kerusakan tanah dan lingkungan. Hal ini menuntut adanya kerja sama lintas disiplin ilmu maupun demografi untuk menjawab tantangan pengelolaan tanah yang berkelanjutan.

Komunitas akademik yang mempunyai keseimbangan gender dan inklusi beragam suku dan budaya akan menghasilkan tim yang lebih produktif serta inovasi ilmiah yang lebih besar.

Oleh karena itu, kita perlu terus mendukung ilmuwan perempuan Indonesia untuk memiliki peran dan kesempatan yang lebih besar dalam memajukan pendidikan ilmu tanah. Pada akhirnya, ini akan meningkatkan peluang penelitian serta pengelolaan pertanian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Selama ini ilmu tanah dan pertanian di Indonesia berfokus untuk meningkatkan kebutuhan pangan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal, atau SDG).

Namun, selain kebutuhan pangan, ada juga 16 SDG lainnya termasuk kesehatan, kesetaraan gender, jaminan pendapatan, perlindungan terhadap bencana, dan perubahan iklim. Semakin beragam para akademisi, akan semakin besar kemungkinan semua aspek pembangunan berkelanjutan ini dapat dicapai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now