Menu Close
Bahwa murid dan mahasiswa bisa menggunakan ChatGPT untuk melakukan kecurangan dengan lebih efisien tidak semestinya dijadikan lendasan untuk mengklaim bahwa tugas esai telah “mati”. (Shutterstock)

ChatGPT membunuh tugas esai murid dan mahasiswa? Para filsuf bilang itu omong kosong

Sejak layanan ChatGPT dirilis, banyak pihak mengkhawatirkan potensi bahwa kecerdasan buatan (AI) bisa mengambil alih banyak hal dalam pendidikan. Kata mereka, misalnya, dosen bisa saja kehilangan pekerjaan atau bahwa tugas esai tidak akan relevan lagi bagi murid atau mahasiswa.

Ini merupakan reaksi yang berlebihan dan kurang tepat. Sifat dari ChatGPT itu sendiri membuatnya tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya kita uji melalui tugas esai.

Sebagai contoh, ChatGPT beserta berbagai layanan AI lainnya tidak bisa menunjukkan kepedulian. Seperti yang diungkapkan filsuf John Haugeland, AI tidak mungkin peduli, karena tidak ada hal yang berarti baginya.

Meski demikian, ChatGPT menghadirkan tantangan maupun peluang yang unik dalam pendidikan dan proses asesmen (evaluasi murid). Beberapa tantangan dan peluang ini mungkin tak secara langsung lahir akibat fitur-fitur ChatGPT, tapi tentu menjadi semakin disorot dengan adanya urgensi baru setelah munculnya layanan AI ini.

Di luar fungsi-fungsi jalan pintas yang sudah ditawarkan oleh perangkat dan sistem digital lainnya, bahkan sebelum adanya ChatGPT, murid dan dunia pendidikan kemungkinan telah melupakan beberapa kompetensi dan nilai yang seharusnya menjadi tujuan dari tugas esai – yaitu penilaian (judgement) dan kepedulian murid.

Sudah ada banyak “jalan pintas”

A ghost is seen above the words ghostwriter.
Akan selalu ada murid-murid yang memakai jalan pintas. (Shutterstock)

Apakah ini berarti pendidik perlu berhenti sejenak dan memikirkan – bahkan mengubah – beberapa metode pengajaran dan asesmen yang selama ini digunakan? Tentu saja.

Apakah ChatGPT mengindikasikan matinya pemikiran kritis? Justru sebaliknya.

Pertama, mari kita pertimbangkan keadaan sebelum ChatGPT hadir. Beragam layanan daring terkait peringkasan teks dan analisis kilat yang menawarkan jalan pintas bagi murid yang membuat mereka tak perlu susah payah membaca dan memahami, sudah lama ada.

Layanan joki tugas atau “pabrik esai” (essay mills) sangat mudah ditemui. Seperti laporan dari The Washington Post di Amerika Serikat (AS), “tes online juga berdampak pada meningkatnya bisnis bagi perusahaan-perusahaan yang menjual pekerjaan rumah murid maupun jawaban ujian, termasuk Chegg dan Course Hero.”

Akan selalu ada murid-murid yang memakai jalan pintas ini. Pendidik dan staf administrasi akan berusaha sebaik mungkin untuk menangkap mereka, tapi akan selalu ada yang lolos.

Fitur baru ChatGPT

Meski demikian, fitur yang benar-benar baru dalam ChatGPT adalah tingkat kecepatan dan kemudahan bagi murid untuk mengambil jalan pintas ini dan melewatkan proses membaca, memahami, berpikir, dan menulis.

Sebelumnya, para murid dan mahasiswa harus berselancar di banyak situs atau menyelami berbagai dokumen dalam penyimpanan awan (cloud documents) dan kemudian menyatukan berbagai temuan mereka. Kini, melalui serangkaian baris pertanyaan dan instruksi lewat smartphone, mereka sudah bisa melakukan ini.

Tapi, kenapa tingkat kecepatan dan kemudahan ini yang dikhawatirkan akan jadi hal pembeda yang signifikan? Bahwa murid dan mahasiswa bisa melakukan kecurangan dengan lebih efisien tidak semestinya dijadikan landasan untuk mengklaim bahwa fungsi esai telah “mati”.

Masalah-masalah ini sudah ada lama sebelum kehadiran ChatGPT. Bedanya saja, beragam masalah ini kini menjadi kian sulit untuk kita abaikan.

A student seen earnestly working at a laptop.
Hasrat untuk ‘melompati’ proses membaca, memahami, berpikir, dan menulis yang menantang, sebenarnya sudah ada lama sebelum hadirnya ChatGPT. (Tim Gouw/Unsplash)

Nihil pemahaman: respons khas pembual?

Bagaimana dengan esai yang dihasilkan ChatGPT?

Ya, ChatGPT seringkali bisa memberikan jawaban meyakinkan untuk instruksi dan pertanyaan esai yang relatif lugas dan mudah, tapi esai-esai ini tidak menunjukkan adanya pemahaman, penilaian, maupun kebenaran. Ketika kami menanyakan ChatGPT untuk menjelaskan dirinya sendiri ke sekelompok mahasiswa filsafat, ia dengan terbuka mengaku bahwa “ia tak memiliki pemahaman apapun terkait dunia, keyakinan, atau nilai moral.”


Read more: Unlike with academics and reporters, you can't check when ChatGPT's telling the truth


Ini membuat beberapa pihak berargumen bahwa ChatGPT adalah “pembual” dalam konteks filosofis: Menurut filsuf Harry Frankfurt, seorang pembohong harus memberikan respons terhadap suatu kebenaran, sementara seorang pembual tak punya kepedulian sedikitpun terhadap kebenaran maupun kebohongan – mereka “sama sekali tak fokus pada fakta.”

Pembual hanya merekayasa jawaban sesuai keinginan, demi memenuhi tujuan mereka.

Screenshot showing a query explain ChatGPT to a group of third-year philosophy students.
ChatGPT dengan terbuka mengaku tak memiliki pemahaman apapun terkait dunia, keyakinan, atau nilai moral. (Dylan J. White), Author provided

Layanan AI tak peduli terhadap apapun yang mereka katakan

Tapi, penilaian kita terhadap ChatGPT tak semestinya hanya berhenti sampai sini saja. Memang, ChatGPT tak peduli terhadap kebenaran. Bagaimana bisa?

Masalahnya tak sebatas ChatGPT adalah pembual yang tak peduli terhadap kebenaran, tapi lebih tepatnya ia tak peduli terhadap apapun.

Filsuf Evan Selinger menjelaskan ini dengan baik:

“OpenAI tidak bisa membuat teknologi yang benar-benar peduli karena ini butuh kesadaran, pengalaman internal, perspektif yang independen, dan emosi. Untuk bisa peduli, kita harus melihat sesuatu dengan perspektif, menunjukkan rasa hormat, tersinggung pada saat yang tepat, dan menawarkan rasa persahabatan dan saling percaya (camaraderie).”

Inilah kenapa ChatGPT, dengan segala sifatnya, tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya menjadi poin pengujian dari tugas esai. Berbagai “esai” yang ia hasilkan tak peduli terhadap kebenaran, menunjukkan nol pemahaman, dan bahkan tak punya sedikitpun rasa kepedulian terhadap apapun yang ia katakan.

Taruhan yang nyata

Apa yang harusnya kita jadikan poin penilaian atau tujuan dari tugas esai? Kemampuan menulis seperti apa yang akan menjadi aset berharga bagi murid dan mahasiswa? Ada banyak jawaban yang masuk akal, dan semuanya akan bervariasi dari satu ruang kelas ke ruang kelas yang lain.

Tapi, secara umum, suatu jawaban yang cukup baik adalah yang disebut oleh filsuf kecerdasan buatan Brian Cantwell Smith sebagai penilaian (judgement) – suatu bentuk pemikiran yang disengaja, terbuka, melekat pada rasa kepedulian dan tindakan yang bertanggung jawab, serta sesuai dengan konteks.

A student seen writing at a laptop.
Untuk peduli terhadap apa yang kita tulis, kita perlu emosi, perspektif yang independen, dan kesadaran akan hal-hal yang sedang dipertaruhkan. (Shutterstock)

Penilaian memerlukan sang agen untuk secara normatif menempatkan diri dalam suatu dunia. Dengan kata lain, ia harus peduli terhadap dirinya sendiri dalam kaitannya dengan orang dan benda di sekelilingnya.

Sebagaimana yang ditulis oleh Cantwell Smith:

“Hanya dengan komitmen eksistensial, taruhan yang nyata, dan tekad yang penuh semangat untuk menuntut akuntabilitas dari kehadirannya di dunia, suatu sistem (manusia maupun mesin) bisa benar-benar membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, merespons konteks dengan sesuai, dan mengemban tanggung jawab.”

Artinya, pemahaman dan penilaian menuntut kepedulian dan tidak bersikap “bodo amat”. Para guru dan masyarakat secara umum seharusnya menginginkan agar pemberian tugas-tugas esai merefleksikan hal ini.

Meningkatkan standar dalam menjadi manusia

Cantwell Smith bertanya: “apakah mengartikulasikan suatu konsepsi dari penilaian memberikan kita ide mengenai bagaimana kita bisa memanfaatkan kemajuan AI untuk meningkatkan standar kita sebagai manusia?”

Yang telah kita bahas dalam artikel ini mengindikasikan bahwa jawabannya, secara jelas dan lantang, adalah iya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now