Menu Close

Dari AHY hingga Kaesang: politikus muda masih didominasi dinasti politik, apa kabar kaderisasi partai?

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep. Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, lebih dari 50% pemilih, atau sekitar 114 juta dari total 204,8 juta daftar pemilih tetap, adalah kaum muda yang berusia di bawah 40 tahun.

Ini bisa menjadi kabar baik karena pemilih muda diyakini memiliki pemikiran yang lebih kritis, seperti terhadap kinerja parlemen dan dalam mengawal pembuatan undang-undang, serta memiliki banyak gagasan segar.

Banyak pula dikabarkan bahwa pemilihan anggota legislatif (Pileg) yang menjadi bagian dari Pemilu tahun depan akan dipenuhi oleh calon legislatif (caleg) muda, bahkan banyak yang baru lulus kuliah sarjana strata 1 (S1).

Ini menjadi angin segar bagi perpolitikan Indonesia, karena menurut survei, partisipasi anak muda yang terjun ke politik sebagai caleg masih sangat minim dan minat mereka terhadap politik cenderung kecil.

DPR RI periode 2019-2024 hanya memiliki sekitar 30%, dari total 575 anggota legislatif, yang berusia di bawah 40 tahun. Setidaknya ada 10 politikus muda DPR RI periode ini yang memiliki orang tua atau berasal dari keluarga yang sudah memiliki rekam jejak panjang di panggung politik Indonesia.


Read more: Pemilih muda 2024: apa saja yang dibutuhkan kaum muda menurut survei?


Ini menunjukkan bahwa meskipun kita bisa berharap banyak pada kaum muda, di saat yang bersamaan kita mesti melihat kenyataan bahwa kaum muda yang maju dalam kontestasi politik masih didominasi oleh mereka yang memiliki akses khusus terhadap partai.

Mereka biasanya adalah anak dari keluarga yang telah lama berkecimpung di dunia politik (dinasti politik), anak dari pimpinan partai tertentu, atau anak dari figur tokoh partai tertentu.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (tengah) didampingi kader partai menyampaikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers di DPP Demokrat, Jakarta. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

Tidak ada yang salah dengan status itu. Namun, kita sebagai pemilih harus hati-hati, karena belum tentu mereka benar-benar memiliki kapabilitas dan gagasan yang solid. Jangan sampai kita memilih kaum muda yang hanya mendompleng status dari dinasti politik atau yang hanya akan membentuk oligarki.

Kaum muda dan dinasti politik

Jika membahas dinasti politik, contoh yang paling mudah kita amati adalah posisi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dalam waktu singkat meraih jabatan Ketua Umum Partai Demokrat–kurang lebih empat tahun setelah ia bergabung dengan partai itu. Ini tentunya tidak lepas dari posisi ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai pendiri dan sosok penting dalam partai Demokrat sekaligus presiden yang berkuasa selama satu dekade (2004-2014).

Hal serupa juga terjadi pada Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang menang telak dalam Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Solo tahun 2020, meskipun ia baru masuk dunia politik tahun 2019.

Gibran tampaknya mengikuti jejak sang ayah, yang awalnya menjadi pebisnis lokal, kemudian menjadi politikus nasional mulai dari jabatan Walikota Solo.

Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka (kiri) bersama Politisi PDI-P Budiman Sudjatmiko (kanan) menghadiri Kopdarnas PSI di Tenis Indoor, Senayan, Jakarta. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

Menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang juga pendatang baru di politik, pun berhasil terpilih menjadi Walikota Medan pada Pilkada 2020–bahkan ia menang dengan mudah.

Mau dibantah seperti apapun, publik pasti bisa menilai bahwa ini menunjukkan proses pembentukan dinasti politik. Figur Jokowi tentu tak lepas dari kesuksesan mereka meraup dukungan masyarakat.

Yang terbaru ada Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, yang baru saja ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Seperti halnya AHY, Kaesang hadir secara instan dalam partai dan langsung mengambil posisi yang paling penting. Kaesang menjadi Ketum PSI hanya beberapa hari setelah ia resmi bergabung dengan partai tersebut.

Padahal, umumnya butuh waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, bagi kader partai untuk mengabdi sebelum mereka bisa mendapat posisi penting di organisasi politik. Inilah mengapa sangat jarang ketua umum partai politik yang berusia di bawah 40 tahun.

Hadirnya figur-figur muda–yang berasal dari kekerabatan–dalam jabatan penting di partai politik secara tidak langsung menjadi sinyal betapa rapuhnya kemampuan partai dalam menghadirkan sosok-sosok pemimpin melalui kaderisasi partai yang ideal, yang bertumbuh dan berjuang bersama dalam proses keberlangsungan partai.


Read more: Gibran dan politikus muda lain yang lahir dari dinasti politik: pedang bermata dua bagi demokrasi


Keterlibatan kaum muda dalam politik praktis sejatinya akan membuka peluang besar untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif dalam proses demokrasi. Mereka bisa membawa semangat perubahan dan inovasi, serta perspektif baru dan solusi kreatif dalam merespons tantangan zaman.

Namun, fenomena dinasti politik pada akhirnya membuat lanskap politik Indonesia menjadi simbol dari sistem yang kaku dan tidak responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi generasi muda itu sendiri. Melekatnya simbol warisan keluarga dan jaringan kekuasaan yang telah ada sejak lama justru dapat memperkuat status quo dan menghambat langkah perbaikan demokrasi.

Kaum muda non-dinasti politik

Jika kaum muda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa mudah mendapatkan posisi politik strategis, lain halnya dengan kaum muda pada umumnya yang sulit, bahkan tidak, mendapatkan privilese tersebut.

Hasil survei LSI Denny JA bertajuk Reno Esnir/Antara Foto

Kita masih banyak mendengar kaum muda mengeluh lantaran aspirasi mereka tidak dipenuhi. Mereka juga kerap tidak tahu harus berbuat apa untuk mengekspresikan pemikiran dan pendapat mereka. Rendahnya keterwakilan generasi muda di parlemen juga membuat aspirasi kaum muda belum mendapat cukup ruang, lalu terabaikan begitu saja.

Penelitian mengungkap bahwa kesulitan terberat bagi generasi muda untuk terjun langsung ke politik adalah masalah finansial. Di Indonesia, biaya politik terlampau tinggi, mulai dari mahar politik untuk partai, biaya untuk tim pemenangan, hingga ongkos membayar saksi di tempat pemungutan suara (TPS).


Read more: Saat anak muda terciduk suap: mahalnya biaya politik ciptakan lubang hitam korupsi


Ini membuat kaum muda–yang mayoritas masih mencoba merintis karier–sulit memenuhinya. Tak heran jika pada akhirnya yang mampu terjun langsung ke dalam politik aktif mayoritas adalah mereka yang memiliki banyak uang atau berasal dari dinasti politik keluarga.

Akhirnya, generasi milenial lebih memilih untuk bekerja di NGO atau melakukan kerja-kerja kewirausahaan sosial. Sangat disayangkan ketika kita memiliki sosok kaum muda yang berdedikasi untuk masyarakat, tetapi harus berhenti hanya karena urusan biaya politik.

Perlu kaum muda ‘berkualitas’ dalam politik

Survei menunjukkan bahwa generasi muda cenderung lebih peduli dan kritis terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim serta hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan.

Dalam buku Next Generation Democracy karya Jared Duval, kaum muda digambarkan dengan berbagai potensi yang dapat memberikan perubahan nyata di lingkungan. Mereka merupakan generasi digital dan memahami pentingnya konektivitas.

Spanduk Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terpilih Kaesang Pangarep terpasang di lokasi Kopi Darat Nasional (Kopdarnas) PSI di Jakarta. Aditya Pradana Putra/Antara Foto

Oleh karena itu, penting untuk mendorong kaum muda dengan pemikiran berkualitas dan idealisme yang kuat untuk berpartisipasi dalam proses politik aktif. Namun, jika budaya politik kita masih dikuasai oleh politik warisan dan kekerabatan, sulit berharap partai dapat menghasilkan politikus muda yang kritis.

Di tengah tantangan ini, kaum muda juga mesti memiliki strategi dan upaya untuk dapat masuk ke dalam dunia politik dan berjuang mempertahankan idealisme yang mereka miliki.

Namun, upaya tersebut tidak akan bisa maksimal tanpa adanya dukungan khusus dari setiap partai politik. Sudah semestinya setiap partai mulai membenahi sistem kaderisasinya. Rekrutmen kader muda berkualitas yang tidak berasal dari dinasti politik harus diutamakan. Ini akan memerlukan strategi yang matang dan komitmen jangka panjang, mulai dari membuka akses, mentorship, dan pendidikan berkelanjutan bagi kaum muda yang menaruh minat dan memiliki bakat di dunia politik.

Pemerintah pun perlu memberikan perhatian khusus terkait bagaimana keterhubungan partai dan kaum muda, agar semuanya mendapatkan akses politik yang setara.

Sekali lagi, persoalan kaderisasi membutuhkan komitmen yang tinggi dan butuh waktu yang panjang. Jika kaum muda belum mendapat perhatian lebih, kita mungkin patut curiga pada pemerintah dan partai politik, jangan-jangan mereka memang tidak mau komitmen pada masa depan bangsa yang lebih baik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now