Menu Close

Data Bicara: Hanya 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental di Indonesia yang mengakses layanan bantuan atau konseling

Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS, 2022), CC BY

Kasus perundungan hingga bunuh diri silih berganti bermunculan dalam beberapa tahun ini. Namun, isu kesehatan mental masih belum banyak menjadi fokus dari pendataan, kebijakan, dan layanan kesehatan di Indonesia – terutama yang menyasar remaja.

Survei gabungan University of Queensland di Australia, Johns Hopkins University di Amerika Serikat (AS), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Indonesia yang terbit akhir tahun ini berupaya menutup gap tersebut dan menjadi data nasional pertama mengenai diagnosis kesehatan mental remaja di Indonesia.

Kajian berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) ini melibatkan 5.664 rumah tangga dengan remaja 10-17 tahun dari 34 provinsi.

Para peneliti menemukan 309 atau sekitar 5,5% sampel remaja terdiagnosis punya gangguan mental sesuai standar diagnostik global (DSM-5), sehingga tergolong Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).


Read more: Riset: sebanyak 2,45 juta remaja di Indonesia tergolong sebagai Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)


Tak hanya itu, survei I-NAMHS ini menemukan ada lebih banyak lagi remaja Indonesia – yakni 1.974 atau sekitar 34,9% sampel remaja – terdiagnosis memiliki setidaknya satu masalah kesehatan jiwa, baik yang masuk kriteria gangguan mental sesuai DSM-5 maupun yang tidak. Di Indonesia, mereka tergolong sebagai Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).

Jika berkaca pada populasi 10-19 tahun yang mencapai 44,5 juta orang, temuan angka 34,9% di atas menunjukkan ada perkiraan 15,5 juta remaja Indonesia dengan masalah kesehatan mental.

Tapi, menariknya, survei I-NAMHS yang sama juga menemukan bahwa sangat sedikit remaja yang memilih mengakses layanan bantuan atau konseling.

Dari total remaja secara umum dalam survei ini, jumlah yang mengakses layanan bantuan dan konseling dalam 12 bulan terakhir hanya sekitar 2%. Mengikuti pola tersebut, angka remaja dengan masalah kesehatan mental atau ODMK yang mengakses layanan pun turut rendah, yakni sekitar 2,6% saja.

Bahkan, di antara remaja yang mengakses layanan, hanya ada 21,7% yang pergi ke layanan bantuan sekitar 2-4 kali, dengan jumlah yang lebih kecil lagi (2,7%) bagi mereka yang pergi 5 kali atau lebih.

Mayoritasnya, atau 66,5%, mengakses layanan bantuan atau konseling hanya sekali.

Jika kita membedah lagi profil remaja OMDK yang memilih untuk mengakses layanan, kita pun bisa menemukan pola menarik.

Di antara mereka, mayoritas (79,6%) merupakan remaja yang punya gejala yang sampai menghambat aktivitas dan interaksi sosial (impairment). Namun, yang tergolong ODGJ – yakni mengalami impairment sekaligus memenuhi ambang batas kriteria DSM-5 – hanya sekitar seperempat (28,2%).

Jika kita rekap secara matematis, ini berarti bahwa meski ada sekitar 5,5% remaja yang tergolong ODGJ – kelompok paling rentan dan paling membutuhkan bantuan kesehatan mental – tak sampai 1 dari 20 di antaranya mengakses layanan.

Minimnya ketersediaan layanan, diagnosis yang lemah, dan pengalaman buruk saat konsultasi

Amirah Ellyza Wahdi, dosen dan peneliti kesehatan remaja UGM yang juga terlibat survei I-NAMHS mengatakan tempat tinggal dan ketersediaan layanan bisa jadi berkontribusi atas rendahnya angka remaja yang mengakses bantuan.

“Kalau dia tinggal di tengah provinsi yang bahkan nggak punya Rumah Sakit Jiwa (RSJ), ya akan beda dengan remaja yang tinggal di Yogyakarta,” katanya.

“Di Yogya agak bias, karena kita tahu hampir semua puskesmas punya layanan konseling dari psikolog klinis yang cukup mumpuni membuat diagnosis. Kalaupun nggak ke sana, mereka yang nggak mau antre, ke RS gampang.”

Di kota besar seperti Yogyakarta, tempat Amirah mengajar, misalnya, ada alternatif layanan lain seperti UNALA Health Services – kerja sama Dana Penduduk Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) dengan Yayasan Angsamerah – maupun klinik-klink lainnya. Menurut Amirah, biaya ke dokter untuk konsultasi masalah mental juga tidak semahal daerah lain.

“Yang kita tidak tahu sekarang, pengalaman di luar Yogya [dan di luar daerah metropolitan] seperti apa. Itu mungkin harus digali dengan penelitian,” ujarnya.

Di Indonesia, proporsi psikiater dan psikolog per 100.000 penduduk diperkirakan hanya masing-masing 0,29 dan 0,18. Dari jumlah psikiater yang terbatas itu, 75% diperkirakan terletak di Pulau Jawa.

Selain ketersediaan layanan, orang tua atau pengasuh (primary caregiver) juga memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan remaja.

Tapi, sayangnya, survei I-NAMHS menemukan hanya 4,3% yang mendeteksi bahwa anak remaja mereka butuh dukungan kesehatan mental.


Read more: Data Bicara: Meski sepertiga remaja punya masalah kesehatan mental, hanya 4,3% orang tua mendeteksi anak mereka butuh bantuan


Amirah juga mengatakan rendahnya frekuensi kehadiran mayoritas remaja yang mengakses layanan bisa jadi disebabkan proses diagnosis yang buruk di tingkat layanan pertama.

“Misalnya, remaja datang dengan keluhan tidak spesifik. Mereka bilang nggak bisa tidur atau nggak nafsu makan, hal-hal yang mungkin oleh dokter di layanan primer tidak bisa terskrining jadi masalah kesehatan mental, sehingga hanya dikasih obat untuk gejala gastrointestinal (perut),” katanya.

“Atau misal punya BPJS, pergi ke puskesmas layanan pertama, nggak ada psikolog klinis, sementara dokter merasa tidak perlu dirujuk. Padahal, dokter umumnya sendiri tidak punya kompetensi dasar untuk menangani ini, misal tidak punya kemampuan konseling atau komunikasi yang baik.”

Skenario seperti ini bisa jadi mendorong banyak remaja berhenti mengakses layanan hanya setelah satu kali kunjungan, sekaligus berpotensi membuat remaja dengan gangguan mental (ODGJ) tidak mendapatkan bantuan optimal.

Tak hanya itu, pengalaman buruk selama di layanan juga bisa menurunkan minat remaja mengakses bantuan, kata Amirah.

Dalam riset tahun 2021 yang melibatkan 393 remaja, mayoritas responden merasa berbagai tenaga profesional kesehatan mental yang ada kurang ramah (99,2%) dan belum terbuka mendengar permasalahan-permasalahan mereka (99%).

Mereka mendambakan layanan yang tidak menghakimi (98,5%) dan menjamin kerahasiaan mereka (99,2%).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now