Menu Close

Riset: usia 16-24 tahun adalah periode kritis untuk kesehatan mental remaja dan anak muda Indonesia

(Unsplash/Arif Riyanto), CC BY

Transisi dari remaja menuju ke dewasa – yaitu antara usia 16-24 tahun – merupakan masa di mana seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan pengalaman baru.

Selain mulai memiliki legalitas hukum dan tanggung jawab yang meningkat, remaja di periode ini juga masih mengalami perkembangan biologis, psikologis, dan emosional – bahkan hingga usia 20an.

Riset yang kami lakukan tahun lalu terhadap 393 remaja berusia 16-24 tahun memperkuat asumsi di atas.

Riset kami juga mendukung temuan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization (WHO)) yang mengatakan 1 dari 4 remaja di usia ini menderita gangguan kesehatan jiwa.

Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari aktifnya hormon reproduksi, perkembangan otak yang terus berlangsung, serta pembentukan identitas diri mereka. Hal ini tentu dapat disertai ketidakstabilan emosi atau pengambilan keputusan yang sering kali impulsif.

Sedangkan, penelitian kami menemukan bahwa banyak remaja Indonesia di periode transisi ini mengalami tantangan beradaptasi terhadap kehidupan mereka yang mulai berubah, kesulitan mengatur waktu dan keuangan pribadi, serta mengalami peningkatan rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal.


Read more: Patriotisme, moralisme, kapitalisme: tiga ideologi kuat dalam sistem pendidikan yang mempengaruhi kesehatan mental anak muda Indonesia


Usia 16-24 tahun adalah periode kritis

Riset di atas, yang dilakukan oleh tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia, mencoba untuk memetakan keresahan mental remaja di periode transisi 16-24 tahun dari seluruh Indonesia – terutama mahasiswa tahun pertama – melalui survey online.

Sebanyak 95,4% menyatakan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety), dan 88% pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama di usia ini.

Selain itu, dari seluruh responden, sebanyak 96,4% menyatakan kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.

Pada periode ini, misalnya, banyak remaja tiba-tiba harus menjelajahi lingkungan yang baru, lingkaran pertemanan yang semakin luas, tuntutan pendidikan atau karier yang semakin berat, hingga budaya yang bisa jadi sangat berbeda – disertai dengan berbagai masalah dan konflik yang kerap muncul dari berbagai perubahan ini.

Penyelesaian masalah yang paling sering mereka lakukan adalah bercerita pada teman (98,7%), menghindari masalah tersebut (94,1%), mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89,8%).

Namun, sebagian juga berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51,4%), atau bahkan menjadi putus asa serta ingin mengakhiri hidup (57,8%).

Berbagai masalah yang dalam masa transisi ini berisiko tinggi menjadi lebih buruk di kemudian hari apabila tidak ditangani dengan optimal.

Banyak remaja dan anak muda di usia 16-24 tahun menghadapi tentangan kehidupan karena faktor biopsikologis, lingkungan yang baru, dan pembentukan identitas diri. (Unsplash/Alex Ivashenko), CC BY

Tidak banyak yang mencari bantuan

Meskipun remaja periode transisi amat rentan mengalami masalah kesehatan jiwa, namun tidak banyak dari kelompok ini yang mengakses layanan kesehatan jiwa.

Kurangnya layanan kesehatan mental di Indonesia – hanya sekitar 0,29 psikiater dan 0,18 psikolog per 100.000 penduduk – juga membawa tantangan tersendiri.

Tapi, faktor lain yang juga menjadi penghambat, antara lain adalah layanan yang kurang sesuai dengan kebutuhan remaja di usia mereka.

Dalam studi yang kami lakukan, misalnya, para remaja mengatakan bahwa mereka mengharapkan layanan bantuan kesehatan mental yang menjamin kerahasiaan (99,2%), tidak menghakimi (98,5%), berkelanjutan untuk periode waktu tertentu (96%), serta dapat diakses online (84,5%).

Mereka juga merasa berbagai layanan yang ada diisi oleh tenaga profesional yang kurang ramah (99,2%) dan belum terbuka untuk mendengarkan segala permasalahan yang mereka alami (99%).

Stigma negatif tentang kesehatan jiwa yang berkembang di masyarakat, juga semakin menghambat remaja untuk mencari bantuan ke layanan kesehatan jiwa.

Beberapa remaja usia transisi, misalnya, mengatakan takut menceritakan ke orang tua atau orang terdekat bahwa mereka datang ke layanan kesehatan mental karena takut dianggap sebagai orang dengan gangguan jiwa berat atau “kurang iman”.


Read more: Banyak anak muda klaim mengidap gangguan mental setelah nonton Joker: bahaya _self diagnosis_


Selain itu, jawaban dari para responden kami juga mengindikasikan ada masalah kurangnya pengetahuan remaja usia transisi tentang masalah layanan kesehatan mental dan kemana mencari bantuan.

Padahal, pemahaman remaja di periode ini tentang kesehatan mental sangat penting agar mereka dapat mengidentifikasi masalah sejak dini, sehingga mendapatkan bantuan yang sesuai.

Meningkatnya ketahanan mental (resilience) seseorang pada periode ini akan berdampak positif tidak hanya terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan mereka, tapi juga keberhasilan mereka secara akademis, di lingkungan kerja, dan masyarakat.

Apa yang perlu dilakukan?

Oleh karena itu, perlu intervensi yang lebih baik untuk membantu para remaja di periode kritis ini agar dapat lebih mengenali masalah yang dihadapi, memahami cara mengatasi stres, serta membangun ketahanan mental.

Fasilitas kesehatan umum yang ada harus bisa memberikan perhatian dan dukungan lebih pada kesehatan remaja di usia transisi.

Utamanya, berbagai layanan ini harus bisa menjamin kerahasiaan, tidak menghakimi, dan terbuka mendengarkan masalah remaja di periode ini – apapun bentuknya.

Lembaga riset kesehatan mental anak muda Orygen di Australia, misalnya, menawarkan beberapa aspek penting yang harus dipenuhi layanan kesehatan mental.

Di antaranya adalah layanan yang inklusif, terbuka untuk berbagai kelompok dan beragam jenis keresahan, dan juga aktif melakukan kegiatan promosi dan pencegahan.

Institusi pendidikan tinggi tempat sebagian besar remaja usia transisi berada, juga harus bisa memberikan layanan konsultasi maupun kampanye pentingnya kesehatan mental pada para mahasiswa.

Kampus juga bisa semakin berperan dengan memasukkan muatan tentang kesehatan mental ke dalam kurikulum tiap program.

Di Inggris, Kanada, dan Finlandia, misalnya, terdapat sistem dukungan dan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif bagi mahasiswa.

Ini melingkupi edukasi yang membekali mahasiswa baru tentang perubahan yang terjadi di usia transisi, adaptasi di perkuliahan, cara mengatasi stres dan masalah kesehatan jiwa, serta edukasi tentang pengenalan gejala gangguan jiwa dan cara mengakses layanan kesehatan jiwa.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now