Menu Close
Divestasi saham
Tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua Tengah. Pemerintah, melalui PT Inalum, resmi memiliki 51% saham Freeport pada 2018. Arfani Mujib/shutterstock

Divestasi saham tak bisa lepas dari politik. Bagaimana cara memahami motivasi elit agar tak terbawa nasonalisme sempit?

Publik tengah diramaikan dengan rencana pemerintah untuk membeli saham perusahaan pertambangan nikel besar, PT Vale Indonesia, melalui induk korporasi pertambangan pelat merah, PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). Saat ini, mayoritas saham Vale Indonesia dimiliki Vale Canada Limited.

Rencana ambil alih saham ini merupakan contoh terbaru dari serangkaian langkah serupa yang telah dilakukan pemerintah terhadap perusahaan penanaman modal asing (PMA) dalam beberapa tahun terakhir. Langkah semacam ini kerap dianggap sebagai bentuk nasionalisme sumber daya alam. Ada anggapan bahwa seakan-akan tidak nasionalis jika perusahaan asing, bukan perusahaan nasional, yang menguasai sektor penting bagi hajat hidup orang banyak.

Terkait hal ini, kita perlu lebih kritis agar kebijakan divestasi saham perusahaan asing tidak hanya memanaskan perdebatan soal nasionalisme, terutama menjelang tahun politik.

Sebagai negara penghasil sejumlah barang tambang yang penting untuk transisi energi berkelanjutan, kebijakan dan tata kelola sektor energi dan pertambangan perlu dilihat lebih jauh dari sekadar siapa memiliki berapa. Indonesia perlu membuat langkah strategis agar investasi swasta dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan beragam sektor ekonomi.

Lewat tulisan ini, yang saya kembangkan dari studi lanjutan saya di Program Ekonomi Politik Internasional di London School of Economics and Political Science (tidak dipublikasikan), saya ingin mengajak pembaca lebih memahami tentang pengambilalihan kepemilikan swasta asing. Tujuannya untuk membedakan apakah langkah tersebut betul dimotori oleh kepentingan nasional atau kebutuhan politik aktor semata.

Divestasi dan kuasa negara

Kantor de Javasche Bank, kini Bank Indonesia, di Bandung pada 1938. Pada 1957, Indonesia melakukan nasionalisasi aset besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan perbankan, perkebunan, pabrik gula, dan lain sebagainya. Leiden University Libraries Digital Collections, CC BY

Istilah divestasi merujuk pada pelepasan kepemilikan saham di anak usaha. Seringkali, divestasi merupakan cara pengambilalihan aset atau properti yang dimiliki sektor swasta asing oleh negara untuk kepentingan publik. Dalam studi ekonomi-politik, usaha mengambil alih aset ini acap disebut ekspropriasi.

Meski memiliki cakupan hukum yang berbeda, istilah ekspropriasi sering disandingkan dan digunakan secara bergantian dengan tindakan nasionalisasi, penyitaan (confiscation), dan sosialisasi (berasal dari sosialisme, yang menekankan kepemilikan negara di atas swasta). Tanpa bermaksud mengabaikan perbedaan makna dan untuk menjaga konsistensi, artikel ini akan fokus menggunakan istilah ekspropriasi.

Ekspropriasi dapat berbentuk langsung dan tidak langsung. Ekspropriasi langsung misalnya dilakukan secara formal melalui peraturan resmi, seperti Undang Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Bisa juga melalui renegosiasi kontrak antara pemerintah dengan perusahaan PMA dengan tujuan transfer kepemilikan dari asing ke entitas nasional. Misalnya penjualan 51% saham perusahaan tambang tembaga PT Freeport Indonesia ke PT Inalum pada 2017.

Sementara itu, ekspropriasi tidak langsung salah satunya melalui pembatasan transaksi modal, seperti ketika Pemerintah Argentina menerapkan kebijakan corralito pada awal 2000an. Melalui kebijakan ini, pemerintah Argentina mengonversi dana perusahaan asing ke mata uang lokal.

Menariknya, ekspropriasi bukanlah suatu dosa dan bahkan dilindungi oleh hukum internasional. Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) nomor 1803 (XVII) mengamini ekspropriasi sebagai hak suatu bangsa yang berdaulat atas kekayaan alamnya.

Namun, resolusi ini mensyaratkan bahwa nasionalisasi atau ekspropriasi harus berdasarkan pertimbangan kepentingan publik, alasan keamanan, atau kepentingan nasional. Selain itu, negara juga harus mengatur pemberian kompensasi bagi perusahaan asing yang terdampak.

Di sisi lain, perusahaan asing pelaku investasi juga mendapat perlindungan dari ekspropriasi dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional. Mekanisme ini lazimnya tertulis dalam perjanjian bilateral antara negara asal perusahaan tersebut dengan negara tuan rumah investasi asing. Bisa juga melalui kontrak kerja antara perusahaan dengan negara tuan rumah.

Meski ada perlindungan, ekspropriasi selalu mengundang kontroversi. Bank Dunia, misalnya, menyebut ekspropriasi sebagai risiko politik utama yang menyebabkan banyak perusahaan internasional menarik investasinya.

Dari sisi politik, ilmuwan menganggap ekspropriasi lazim terjadi di negara-negara otokratis dan tidak lazim di negara demokratis. Alasannya, sistem demokrasi memungkinkan keberadaan aktor–kerap disebut veto players–yang mampu memblokir perubahan kebijakan mendadak seperti ekspropriasi.

Tidak semua pakar politik setuju dengan argumen ini. Pasalnya, sistem demokrasi juga memungkinkan adanya biaya reputasi (reputation cost) yang cukup memengaruhi sikap dan perilaku aktor di publik. Salah satunya adalah biaya untuk mendapatkan predikat nasionalis dan pembela kepentingan nasional.

Lantas, jika ekspropriasi sah dilakukan, bagaimana memastikan kepentingan publik bisa ‘menang’ di tengah risiko aktor-aktor yang memanfaatkan isu nasionalisme untuk kepentingannya sendiri?

Ekspropriasi, demokrasi, dan kepentingan publik

Penelitian saya mencoba suatu eksperimen untuk melihat kondisi-kondisi dalam ekspropriasi. Studi ini dilakukan dengan analisis game theory yang menelaah interaksi strategis antar aktor.

Studi ini menekankan dua aktor dalam pengambilan keputusan eksproriasi. Ada elit politik yang berkuasa menentukan kebijakan. Ada juga aktor nonelit tidak berkuasa sebagai veto players yang dapat memblokir keputusan elit.

Veto players bisa beragam bentuknya, seperti partai oposisi di DPR, kelompok berkepentingan, atau serikat pekerja.

Studi saya menunjukkan bahwa keputusan ekspropriasi berkaitan dengan berhasil atau tidaknya elit menyalurkan keuntungan dari hasil investasi asing untuk mengembangkan sektor perekonomian yang beragam. Di sini, yang sangat penting adalah keputusan elit untuk menyisihkan hasil investasi sehingga tersedia barang publik (public goods) dalam perekonomian yang beragam. Barang publik adalah barang yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat–mulai dari infrastruktur seperti jalan dan jembatan hingga kebijakan yang menyejahterakan masyarakat.

Ketika investasi asing gagal mendorong berkembangnya sektor perekonomian lain, keputusan elit untuk ekspropriasi akan terjadi tanpa pertentangan dari veto players. Pengambilalihan aset ini dianggap sebagai langkah yang logis sekaligus nasionalis karena investasi asing dianggap tidak membawa berkah ke perekonomian nasional.

Adapun pertimbangan veto players untuk mendukung atau memblokir ekspropriasi berangkat dari asumsi bahwa tindakan ini adalah langkah berbiaya tinggi secara material. Contohnya berupa pemutusan hubungan kerja dan biaya jika gugatan arbitrase terjadi.

Selain itu, ada juga biaya nonmaterial, misalnya iklim bisnis dan investasi memburuk, ataupun instabilitas politik.

Aksi memblokir ekspropriasi juga memiliki risiko yang berbentuk biaya reputasi. Misalnya, ‘biaya’ akibat kehilangan popularitas menjelang tahun politik gara-gara dituduh mendukung asing.

Sebaliknya, ketika perolehan dari adanya investasi asing dapat dimanfaatkan untuk mendorong sektor perkeonomian lain untuk berkembang, ekspropriasi kemungkinan kecil akan terjadi. Elit politik secara rasional menaksir biaya dan dampak ekspropriasi bakal sangat tinggi sehingga dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Seruan-seruan nasionalisme sumberdaya alam juga kemungkinan minim.

Meski demikian, keberhasilan mengelola perolehan dari investasi perusahaan asing bisa jadi tak cukup membendung ekspropriasi. Pasalnya, elit bisa saja fokus pada keuntungan jangka pendek, misalnya mendulang suara dalam pemilu.

Dalam situasi ini, veto players bisa urung memblokir ekspropriasi jika mereka memproyeksikan biaya politik dan reputasi yang besar dibandingkan perolehan jangka panjang dari perekonomian yang terbuka dan ramah terhadap investasi asing.

Baik-buruk ekspropriasi

Salah satu ilustrasi dari skenario eksperimental di atas adalah ekspropriasi perusahaan energi asal Swedia, Vattenfall, oleh Pemerintah Jerman sebagai imbas dari kebijakan energi terbarukan dan pengurangan pemanfaatakn tenaga nuklir yang terbit pada 2011. Penutupan fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di Jerman ini minim penolakan, meski sempat ada pertentangan yang tak berarti dari faksi partai berkuasa yang dekat dengan kalangan bisnis.

Minimnya upaya memblokir ekspropriasi Vattenfall adalah karena penolakan ekspropriasi Vattenfall diartikan tidak mendukung perkembangan energi bersih terbarukan yang telah berkembang cukup pesat sehingga mampu menciptakan banyak lapangan kerja baru.

Pembangkit Brokdorf
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Brokdorf milik Vattenfall di Jerman berhenti beroperasi pada 2021 sebagai buntut kebijakan energi terbarukan Pemerintah Jerman. Simlinger/shuttertock

Kita juga bisa melihat pelajaran berharga dari nasionalisasi besar-besaran perusahaan minyak asing oleh Pemerintah Venezuela pada 2007.

Venezuela merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Sayangnya, investasi yang masuk ke sektor ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Perekonomian Venezuela sangat bergantung pada minyak yang berkontribusi sekitar 60% ke pendapatan negara.

Elit berkuasa di Venezuela gagal memanfaatkan perolehan dari investasi di sektor minyak untuk mengembangkan sektor perekonomian yang lain. Dengan bumbu-bumbu nasionalisme sempit, ekspropriasi pun dilakukan. Tidak ada pemblokiran karena investasi asing dianggap tidak membawa berkah.

Kini, Venezuela sedang berusaha keras menarik kembali investasi asing di sektor minyak untuk menyelamatkan perekonomiannya.

Lebih dari sekadar kepemilikan saham

Ada tiga hal yang ingin saya garis bawahi dari analisis di atas.

Pertama, kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas dari dinamika politik. Besarnya dampak sektor ini bagi hajat hidup masyarakat, membuat kita tidak bisa melihat dinamika pengelolaan sumber daya alam dari kacamata untung-rugi ekonomi semata. Kita juga harus mengamati bagaimana para pemangku kepentingan memiliki persepsi jangka panjang.

Kedua, meski sarat isu politik, bukan berarti ekspropriasi atau divestasi hanya isu nasionalisme yang muncul saat harga komoditas naik atau saat menjelang tahun politik.

Agar bisa mengambil langkah strategis dengan fokus jangka panjang, kita perlu mengubah paradigma bahwa sektor sumber daya alam bukan sekadar sumber pendapatan negara. Sektor ini harus dilihat sebagai pendorong berkembangnya perekonomian yang beragam.

Pemerintah juga harus membuka ruang bagi perbedaan pandangan dan konsultasi publik. Harapannya, setiap langkah yang diambil benar-benar mengakomodasi kepentingan khalayak.

Ketiga, jika ekspropriasi adalah untuk kepentingan publik, maka kita tak seharusnya hanya fokus pada berapa besar kepemilikan perusahaan nasional dalam suatu perusahaan asing.

Hal yang justru lebih penting: sejauh mana kepemilikan tersebut dapat menjamin tersedianya barang publik, pengembangan sektor ekonomi lain, sekaligus melindungi hak-hak masyarakat terutama yang tinggal di sekitar area produksi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now