Menu Close

Blog

Dua karya penting—jurnal medis Hindia Belanda & Negarakertagama—lebih mudah diakses publik luas

Diskusi dalam peluncuran buku Desawarnana di auditorium Perpustakaan Nasional, Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, pada 16 November. Natasya Salim/The Conversation, Author provided (no reuse)

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) telah membuka akses yang lebih luas terhadap dua karya penting bidang sejarah yang selama ini sulit diakses.

Pada 16 November 2017, akademi beranggotakan para cendekiawan terkemuka Indonesia ini meluncurkan dua buku dari era berbeda, yaitu The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942 dan Desawarnana: Saduran Kakawin Negarakertagama untuk Bacaan Remaja.

Jurnal Medis Hindia Belanda, yang disusun oleh para sejarawan dan dokter, berdasarkan pada jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (GTNI). Isi dari jurnal ini meliputi penyakit, nama-nama dokter, dan sejarah kedokteran di Hindia Belanda di masa pendudukan Belanda, di antara hal-hal lainnya.

GTNI saat ini telah disimpan dalam bentuk digital. Selain telah dipermudah akses distribusinya, GTNI juga sekarang bisa menjangkau lebih banyak pembaca melalui buku The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942 yang merangkum dan menerjemahkan sebagian isi GTNI ke dalam bahasa Inggris. Bahkan AIPI berkomitmen untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia Juni 2018.

Mempertemukan dokter dan sejarawan

Dalam diskusi interaktif yang didukung oleh Perpustakaan Nasional RI, Komunitas Bambu, dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, AIPI mengundang beberapa peneliti yang aktif menggunakan GTNI sebagai pedoman penelitian.

Talk show pada peluncuran buku The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942 Natasya Salim/The Conversation, Author provided (no reuse)

Jurnal ini telah membantu Profesor Hans Pols dari University of Sydney, dalam meneliti sejarah pengobatan di Hindia Belanda juga mengidentifikasi para penulis jurnal yang merupakan dokter bumiputera. Selain itu peneliti sejarah Ravando Lie dari Universitas Gadjah Mada juga mendapatkan bahan penelitian tentang dokter Tionghoa pada masa itu di GTNI. Peneliti Gani Ahmad Jaelani dari Universitas Padjadjaran bahkan menyelesaikan gelar doktoralnya di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) dengan mempelajari GTNI.

Prof. dr. Sjamsuhidajat Ronokusumo, satu-satunya dokter di antara para panelis yang juga baru saja menunaikan tugas sebagai ketua Komisi Kedokteran AIPI, memberikan perspektif dunia kedokteran dalam diskusi.

Prof. Sjamsu mengatakan GTNI mencakup periode keemasan kedokteran. Kurun waktu 90 tahun GTNI terbit, (1852-1942), merupakan periode ditemukannya obat bius (anesthesia), radiologi, dan antibiotik; tiga hal berpengaruh dalam dunia kedokteran.

Presiden AIPI, Profesor Sangkot Marzuki, menyambut ide peluncuran jurnal medis tersebut dengan antusias. Menurutnya, selain menyimpan ilmu kedokteran, jurnal ini juga memiliki unsur pergerakan nasional.

“Bukan hanya penting bagi ilmu kedokteran, tapi juga bagi pergerakan nasional. Pertemuan Budi Utomo di STOVIA. Di masa penjajahan Jepang, sekolah kedokteranlah yang pertama memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa akademis.”

Menurut Prof. Sangkot, tindakan ini merupakan bentuk pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. AIPI beriringan dengan organisasi The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (KNAW) di Belanda telah giat mendukung sejak 2013.

Negarakertagama untuk remaja

Desawarnana, buku kedua yang diterbitkan AIPI adalah sebuah saduran yang menggambarkan kehidupan sosial, budaya, dan peradaban masyarakat Jawa abad XIV dari mata Mpu Prapanca yang berperan sebagai seorang “wartawan” pada masa itu.

Namun, tidak seperti buku sejarah pada umumnya, Profesor Mien A. Rivai ingin menumbuhkan minat membaca sejarah bangsa pada anak muda dengan mengadakan sebuah buku yang memiliki bahasa setingkat umur mereka.

“Semua buku sejarah daerah ada di perpustakaan. Bagaimana cara kita bisa membawa perpustakaan ke anak-anak? Kita sediakan bahan-bahannya supaya mereka bisa kenal kekayaan sastra bangsanya sesuai dengan umur dan jiwa mereka.”

Sebagai pembaca rajin buku sejarah, Profesor Mien berharap agar pemuda Indonesia juga dapat melihat keindahan cerita dari kerajaan Indonesia melalui Desawarnana, sebuah buku yang tidak kehilangan keaslian buku sumbernya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now