Menu Close

Kisah lima dokter hebat Indonesia pada masa penjajahan Belanda

Jurnal Kedokteran Hindia Belanda (Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië) Hans Pols, Author provided (no reuse)

Selama 90 tahun, dari 1852 hingga 1942, Jurnal Kedokteran Hindia Belanda (Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië), merupakan jurnal kedokteran terpenting di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Jurnal tersebut menerbitkan artikel-artikel tentang penelitian dan perawatan medis.

Hari ini, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia meluncurkan sebuah buku yang ditulis oleh sekelompok dokter Belanda dan sejarawan medis, salah satunya saya sendiri, yang memberikan ikhtisar isi jurnal tersebut.

STOVIA, sekolah kedokteran penduduk asli Indonesia di masa penjajahan Belanda. Pada 1927, sekolah tersebut berubah nama menjadi Batavia Medical School. Bangunan tersebut kini menjadi tempat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures/Wikimedia Commons, CC BY-NC-SA

Jurnal ini awalnya hanya menerbitkan artikel-artikel dari dokter asal Eropa. Namun pada abad ke-20, sejumlah dokter lulusan dari STOVIA (School ter Opleideing van Inladsche Artsen), sekolah kedokteran bagi penduduk asli Indonesia yang lalu berubah nama menjadi Batavia Medical School, juga menerbitkan artikel di jurnal tersebut.

Dokter-dokter Indonesia ini, yang beberapa di antaranya pernah belajar di Belanda untuk pelatihan ilmu kedokteran lanjutan, lalu menjadi para pemimpin dan pembina pendidikan, perawatan, dan penelitian medis di Indonesia. Berikut ini lima dokter pada era kolonial yang paling terkemuka.

1. Sardjito

Sardjito.

Sardjito, rektor pertama dan salah seorang pendiri Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menerbitkan 29 artikel pada Jurnal Kedokteran Hindia Belanda. Ia menulis artikel tentang bakteriologi, kesehatan masyarakat, malaria, leptospirosis, dan kusta, menjelaskan kondisi penyakit yang sering diderita orang Indonesia.

Sardjito lulus dari STOVIA pada 1915 dan menyelesaikan skripsi tentang disentri basiler di Universitas Leiden. Pada 1924, ia meraih gelar Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas John Hopkins Amerika Serikat.

Pada 1930-an, ia menjadi kepala sebuah laboratorium kedokteran di Semarang. Pada masa perang kemerdekaan antara pejuang kemerdekaan Indonesia dan tentara Belanda (1945-1949), ia memindahkan sebagian besar peralatan medis Pasteur Institute di Bandung Jawa Barat ke Klaten Jawa Tengah.

Pasteur Institute pada masa itu adalah pabrik vaksin utama Hindia Belanda. Para pekerjanya meneliti bakteriologi. Ketika pasukan bersenjata Inggris dan Belanda mengambil alih Batavia (sekarang Jakarta), Presiden Sukarno dan wakilnya, Mohammad Hatta, dan hampir semua menteri dan pejabat pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta.

Terlepas dari sekelompok kecil dokter yang melanjutkan mengajar di Jakarta, kebanyakan pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang baru didirikan pada waktu itu, pindah ke Jawa Tengah.

Sardjito adalah anggota aktif Ikatan Dokter Indonesia. Pada Desember 1949, ia adalah rektor pertama Universitas Gadjah Mada, dekan kesehatan pertama, dan profesor bakteriologi.

2. Sarwono Prawirohardjo

Sarwono Prawirohardjo adalah salah seorang pembina lembaga kedokteran dan ilmiah terpenting Indonesia pasca kemerdekaan. Sarwono mendirikan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Ia juga merupakan ketua pertama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sebagai spesialis ginekologi, ia menerbitkan artikel-artikel yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan.

Sarwono lulus dari STOVIA pada 1929 dan delapan tahun kemudian lulus dari Batavia Medical School.


Baca juga: Cara peneliti meyakinkan warga menggunakan cara baru demi membasmi demam berdarah


Pada 1950, ia ditetapkan sebagai profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Pada tahun yang sama, ia menjadi salah satu anggota komite yang mengatur Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan menjadi ketua komite pada 1952-1953.

3. Sutomo Tjokronegoro

Sutomo Tjokronegoro adalah profesor patologi pertama di FKUI pada 1950. Ia dikenal sebagai Bapak Patologi di Indonesia. Di FKUI, ia meneliti penyakit kanker.

Sutomo menerima gelar kedokteran di Batavia Medical School pada 1935. Ia mengajar di sana dan spesialis di bidang patologi, kedokteran forensik, dan penyakit dalam.

Sutomo menerbitkan artikel di jurnal tersebut tentang kedokteran forensik, kanker, borok, dan tuberkulosis. Pada 1942, ia menjadi editor jurnal tersebut.

Sutomo juga menulis sebuah buku berpengaruh tentang sifat dasar dan karakteristik bahasa Indonesia.

4. Raden Djenal Asikin Widjaja Koesoema

Asikin lulus dari STOVIA pada 1914 dan meraih gelar kedokteran di Universitas Amsterdam pada 1925. Dia terlibat dengan beberapa laboratorium kedokteran di Eropa sebelum kembali ke Indonesia.

Ia menulis tentang berbagai metode analisa sampel darah dan kegunaannya dalam hasil diagnosa.

Asikin menjadi asisten pengajar di Batavia Medical School dan wakil kepala divisi penyakit dalam di rumah sakit yang bersebelahan dengan sekolah tersebut (sekarang adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Ia ditetapkan sebagai profesor di FKUI pada 1950.

5. Achmad Mochtar

Achmad Mochtar adalah Direktur Lembaga Eijkman pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Mochtar lulus dari STOVIA pada 1916, menerima gelar kedokteran dari Universitas Amsterdam pada 1927 dan menyelesaikan skripsi tentang leptospirosis di tahun yang sama.

Setelah kembali ke Hindia Belanda, ia meneliti tentang malaria dan kusta di beragam lokasi.

Mochtar kemungkinan adalah peneliti kedokteran Indonesia yang paling hebat di masa itu. Ia menulis 25 makalah di Jurnal Kedokteran Hindia Belanda dan jurnal internasional, melaporkan penelitiannya tentang leptospirosis, malaria, kusta, tuberkulosis, dan bakteriologi secara umum.

Pada Mei 1945, ia dihukum mati oleh Jepang, yang melemparkan tuduhan salah kepada Mochtar tentang tindakannya menyiapkan sejumlah vaksin tetanus yang sudah terkontaminasi. Sebagai konsekuensi, Indonesia kehilangan salah satu peneliti medis yang paling berbakat.

Para pendiri lembaga kesehatan dan penelitian

Para dokter Indonesia ini, seperti rekan mereka dari Belanda, telah menerbitkan banyak artikel pada Jurnal Kedokteran Hindia Belanda.

Hasil penelitian mereka telah memberikan sumbangsih terhadap upaya pengembangan ilmu kedokteran. Mereka juga menjadi arsitek terpenting fakultas kedokteran, rumah sakit, dan lembaga pelayanan kesehatan di Indonesia.

Ketika kita memikirkan tentang ribuan dokter lulus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ribuan pasien dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ribuan mahasiswa belajar ilmu medis di Universitas Gadjah Mada, kita harus ingat warisan dari para ilmuwan hebat Indonesia ini.

Begitu juga saat kita melihat saat ini peran LIPI, PKBI memajukan kesehatan reproduksi, dan lembaga riset biologi molekular kelas dunia Institut Eijkman, kita perlu ingat bahwa lembaga tersebut adalah warisan dari para dokter sekaligus peneliti andal pada era itu yang menginginkan rakyat Indonesia sehat dan cerdas.


KOREKSI: Dalam versi artikel sebelumnya, tertulis Achmad Mochtar Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di masa pendudukan Jepang. Lembaga Eijkman baru menjadi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di tahun 1992.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now