Menu Close

Dua tahun lebih online learning, guru belum maksimal pakai teknologi pembelajaran: apa kendala dan solusinya?

Guru mengajar dengan teknologi digital.
(ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin)

Integrasi teknologi dalam pembelajaran – dari aplikasi kelas daring hingga platform edukasi – semakin menjadi keniscayaan bagi guru di Indonesia, terlebih setelah melewati pandemi yang mengharuskan mereka menjalankan online learning.

Jika penggunaannya tepat, teknologi pembelajaran bisa membantu meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia. Bahkan, Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) kini intens mengembangkan dan mempromosikan beragam platform – termasuk platform ‘Merdeka Mengajar’ – sebagai upaya mempercepat adopsi teknologi pembelajaran.

Tapi, kajian UNICEF yang terbit tahun lalu menunjukkan banyak guru di Indonesia masih belum mampu menggunakan teknologi pembelajaran dengan maksimal meski sudah menjalani online learning selama 2 tahun.


Read more: Memadukan kelas _online_ dan _offline_ selama pandemi berhasil di Eropa. Mengapa di Indonesia tidak mudah?


Bahkan, guru yang berhasil menjalankan kelas via aplikasi konferensi daring seperti Zoom, kerap bertahan dengan metode lama, mulai dari mengajar dengan ceramah satu arah hingga kembali terbatas pada buku teks fisik. Ini membuat murid gagal nyambung dengan pembelajaran.

Apa saja hambatan yang dihadapi guru dan bagaimana kita bisa memberdayakan mereka untuk bisa menggunakan teknologi pembelajaran dengan efektif?

Hambatan guru dalam memakai teknologi pembelajaran

Salah satu kendala utama pemakaian teknologi pembelajaran tentu saja adalah infrastruktur dan penetrasi internet serta kebiasaan penggunaan teknologi digital yang belum merata di Indonesia.

Berbagai riset, kajian, dan survei telah mendokumentasikan masalah ini dengan baik.

Tetapi, bagaimana dengan kompetensi digital guru itu sendiri? Beberapa peneliti menawarkan perspektif menarik.

Peggy Ertmer, profesor desain dan teknologi pembelajaran dari Purdue University, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa persepsi guru terhadap teknologi sangat mempengaruhi cara mereka memakai teknologi pembelajaran.

Banyak guru cenderung memiliki persepsi 'deterministik’ yang melihat teknologi sebagai resep mujarab (one-stop solution) untuk semua masalah pendidikan. Persepsi deterministik dapat membuat guru cenderung memandang penggunaan teknologi pendidikan sebagai tujuan akhir, tanpa berfokus pada luaran dan evaluasi dari penggunaan teknologi itu sendiri.

Di sisi lain, riset juga menunjukkan banyak guru di Indonesia masih menerapkan pembelajaran yang terpusat pada mereka.

Kombinasi ini membuat banyak di antara pengajar memakai teknologi sekadar sebagai ‘kosmetik’ – seperti memakai presentasi Powerpoint untuk menggantikan kertas – tanpa adanya pembaharuan dalam cara mengajar untuk lebih terpusat pada siswa.

Selain itu, profesor pendidikan di Singapura, Chin-Chung Tsai dan Ching Sing Chai berargumen bahwa lemahnya design thinking (kompetensi mendesain pembelajaran) di antara guru juga menjadi kendala. Kompetensi ini penting bagi guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan siswa.


Read more: Bagaimana membuat kuliah tidak membosankan: jawabannya bukan teknologi, tapi memahami cara mengajar yang baik


Misalnya, dalam kelas bahasa Inggris, jika seorang murid mengalami keterbatasan karena kurang percaya diri dalam berbicara, guru bisa mendesain pembelajaran yang melibatkan aplikasi simulasi percakapan untuk membantu sang murid – meskipun hal seperti ini tak melulu termuat dalam panduan kurikulum.

Sayangnya, kemampuan menghadirkan inovasi desain pembelajaran seperti ini masih cenderung lemah di kalangan guru Indonesia.

Artinya, meskipun ada fasilitas dan kemauan untuk mengintegrasikan teknologi, penggunaannya tidak akan efektif tanpa keahlian pedagogi (pengajaran) maupun kompetensi dalam mendesain pembelajaran melalui media digital.

Tiga langkah dukung guru kuasai teknologi pembelajaran

Ekonom sosial dari London School of Economics (LSE), Naila Kabeer, menjelaskan bahwa penyediaan sumber daya yang memadai adalah fondasi dari pemberdayaan agensi dan pencapaian manusia.

Sumber daya seperti apa yang kita perlu sediakan untuk pemberdayaan kompetensi digital guru?

Pertama, pemerintah dan institusi pendidikan perlu mendukung guru dengan sumber daya rujukan (referential resources) yang komprehensif, dari pedoman kurikulum hingga panduan evaluasi pembelajaran memakai teknologi.

Kajian dari UNICEF sebelumnya menemukan bahwa inisiatif dan kebijakan dari pemerintah selama ini masih fokus pada peningkatan kompetensi digital murid dan belum banyak membekali guru.

Dalam aspek evaluasi capaian murid, misalnya, meski dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen (PPA) dari pemerintah sudah memuat prinsip-prinsip asesmen pembelajaran, belum ada penjelasan yang menyeluruh bagaimana peran teknologi digital memediasi proses ini.

Teknologi digital bisa saja mempermudah evaluasi capian murid karena memberikan hasil kilat hanya dalam hitungan detik, contohnya dengan instrumen Automated Writing Evaluation (AWE) yang menggunakan teknologi pemrosesan bahasa untuk mengevaluasi tulisan siswa. Tapi, riset juga menunjukkan bahwa kerap terjadi inkonsistensi antara hasil AWE dengan penilaian manusia.

Ilustrasi ini menunjukan bahwa guru perlu panduan yang tepat, baik itu bagaimana menggunakan teknologi sebagai alat bantu dalam proses asesmen maupun proses lainnya.

Kedua, guru juga perlu dukungan sumber daya pengetahuan (knowledge resources). Beda dengan sumber daya rujukan yang berhubungan dengan pedoman tertulis, sumber daya pengetahuan berkaitan dengan pelatihan dan wawasan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi pengajaran dengan teknologi.

Hal ini bisa berbentuk pelatihan berkelanjutan melalui komunitas profesi guru, seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).

Merujuk pada gagasan design thinking sebelumnya, guru perlu pelatihan rutin terkait pemanfaatan teknologi yang tak hanya memuat teknik-teknik kaku, tapi juga bagaimana menggunakannya untuk mendesain pembelajaran yang menyasar kebutuhan siswa (student-centered learning) secara kreatif.

Pemerintah sebenarnya telah memulai ini dengan menjadikan pembelajaran berbasis TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge) sebagai salah satu capaian pembelajaran dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG). TPACK adalah pendekatan yang melihat bahwa penggunaan teknologi yang efektif wajib memuat irisan antara konten, teknik mengajar, dan kompetensi design thinking guru.

Kampus keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK) di Indonesia perlu terus mengembangkan ini dalam mempersiapkan guru-guru masa depan agar merancang pembelajaran yang efektif.

Selain itu, pelatihan bagi guru untuk senantiasa memahami konteks (contextual knowledge) juga penting agar mereka empatik dan memahami kondisi siswa.

Contohnya, bagi guru yang mengajar di daerah minim akses internet, pengiriman rekaman suara (voice note) pembelajaran disertai presentasi Powerpoint melalui aplikasi pesan bisa jadi lebih efektif ketimbang materi video di Youtube yang butuh jaringan internet lebih kuat.

Ketiga, guru perlu dukungan berupa sumber daya finansial (financial resources) agar bisa membekali diri untuk berinovasi.

Di lingkup universitas, bantuan paket data dari Kemdikbudristek saat pandemi cukup meringankan dosen dan mahasiswa dalam melakukan pembelajaran daring. Subsidi perangkat digital yang difasilitasi insititusi atau pemerintah juga bisa menjadi daya bagi guru untuk menyiapkan pembelajaran yang inovatif.

Tak hanya terbatas pada subsidi perangkat eletronik atau akses internet, dana berupa dukungan hibah pun bisa pemerintah mendukung program inovatif seperti implementasi design thinking dalam kelas atau kegiatan guru-melatih-guru.

Sumber daya finansial ini tak hanya penting agar guru bisa mengakses dan menerapkan teknologi pembelajaran dengan baik, tapi juga menjamin kesejahteraan mereka sekaligus menarik dan mempertahankan tenaga pendidik yang punya bekal kompetensi digital yang baik.

Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata upah pegawai di sektor pendidikan terendah dibandingkan sektor lain – termasuk sektor konstruksi, reparasi mobil, hingga pengelolaan air dan limbah.

Padahal, kajian dari UNESCO melaporkan adanya korelasi antara kapasitas finansial guru dan murid dengan partisipasi mereka dalam online learning.

Tiga sumber daya yang saling beririsan tersebut – berupa referential, knowledge, dan financial – harapannya bisa menggerakkan guru untuk meningkatkan kapasitas digital maupun kompetensi desain pembelajaran berbasis teknologi agar bisa meraup manfaat sebesar-besarnya bagi pengajar maupun murid di era pembelajaran digital.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now