Menu Close
Sektor informal di Yogyakarta
Sekumpulan becak menunggu penumpang di Malioboro, Yogyakarta. eros19/shutterstock

Dulu pahlawan, kini gelagapan: pentingnya adaptasi sektor informal usai diguncang pandemi

Pandemi COVID-19 tidak hanya tentang krisis kesehatan, tapi juga krisis ekonomi. Disrupsi rantai persediaan, perubahan aktivitas masyarakat karena lockdown, serta risiko kesehatan telah membuat perekonomian negara-negara tersendat.

Sektor informal merasakan dampak paling besar atas krisis yang dipicu pandemi ini. Sektor yang pekerjaan atau usahanya tidak terstruktur jam kerjanya, tanpa asuransi pekerjaan, dan dengan pendapatan yang tidak menentu ini sempat diprediksi akan hancur dihajar pandemi COVID-19.

Di awal pandemi, Organisasi Pekerja Dunia (ILO) memproyeksi bahwa 1.6 juta pelaku ekonomi informal akan terdampak pandemi dan kehilangan pendapatan lebih dari 60%. Ini tentu menjadi mimpi buruk bagi Indonesia yang ekosistem bisnisnya didominasi pengusaha kecil dan memiliki 83.34 juta (60,12%) total pekerja yang berada di sektor informal.

Tulisan ini mengulas bagaimana dampak krisis ekonomi akibat pandemi terhadap sektor informal berbeda dari krisis-krisis sebelumnya, dan apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini.

Pukulan keras akibat pandemi

Sektor ekonomi informal pernah menjadi pahlawan dalam menyerap tenaga kerja berlebih dampak gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) saat krisis finansial Asia 1997-1998 dan krisis finansial global 2008-2009. Sebab, pekerjaan di sektor ini cenderung mudah dimasuki oleh siapapun, tanpa memerlukan ijazah minimum, keahlian rumit, atau modal usaha besar.

Catatannya, krisis-krisis sebelumnya muncul akibat disrupsi ekonomi makro. Meski aktivitas sektor formal seperti perusahaan-perusahaan besar hancur karena pukulan resesi global, aktivitas masyarakat tetap berjalan. Masyarakat tetap bersekolah, berbelanja, atau berwisata, sehingga, pelaku ekonomi informal masih mendapatkan hasil harian dari aktivitas-aktivitas tersebut.

Namun, pandemi COVID-19 memberikan pengalaman berbeda.

Pada 2020, kami melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana dampak dan strategi penghidupan sektor informal pada fase awal gelombang pandemi. Penelitian ini dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan jumlah sektor informal mencapai lebih dari satu juta di tahun 2019.

Kami menggunakan kombinasi berbagai metode non-probability sampling, meliputi secara sukarela maupun sengaja, untuk mendapat responden sebanyak mungkin.

Penelitian ini bukan untuk mencari generalisasi terhadap semua pekerja informal, melainkan sebagai asesmen cepat dampak COVID-19 pada pekerja informal. Responden yang berhasil terkumpul dalam satu bulan penelitian adalah 228 pekerja sektor informal di DIY.

Riset kami menemukan bahwa pandemi berdampak pada jam kerja dan pendapatan mereka. Pekerja yang jam kerjanya stabil selama pandemi (biasanya merupakan pekerja mandiri/self employment, misalnya penjaga warung atau petani) cenderung mengalami penurunan pendapatan kurang dari 50% dibandingkan sebelum pandemi. Sementara mereka yang jam kerjanya menurun, mayoritas mengalami kehilangan pendapatan lebih dari 50%, bahkan kehilangan pendapatan secara total.

Dampak pandemi terhadap jam kerja dan pendapatan pelaku ekonomi informal.
Dampak pandemi terhadap jam kerja dan pendapatan pelaku ekonomi informal. Olahan penulis dari Pitoyo dkk (2021)., Author provided (no reuse)

Pekerja informal yang menggantungkan pendapatan dari hasil transaksi harian akan melipatgandakan jam kerjanya untuk mendapatkan hasil yang menutupi kebutuhan harian, atau untuk mendapatkan pendapatan lebih selama lockdown. Contohnya, responden pedagang kaki lima yang biasa berkeliling sampai pukul 5 sore, harus menambah jam keliling sampai pukul 10 malam untuk mendapat hasil yang menutupi modal usaha.

Namun, tetap ada pekerja informal yang pendapatannya menurun meski mengalami kenaikan jam kerja. Dalam hal ini, kenaikan jam kerja tidak mengindikasikan hal positif.


Read more: Puluhan juta pekerja informal membutuhkan kepastian jaminan sosial


Strategi bertahan hidup: kontrol pengeluaran dan bantuan sosial

Tekanan yang berat pada pendapatan rumah tangga mendorong 76,6% (175 responden) memfokuskan pengeluaran pada kebutuhan utama, khususnya makanan. Ini merupakan hal yang wajar karena mereka berusaha menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran.

Penurunan pendapatan rumah tangga ini menjadi tantangan tersendiri yang beririsan dengan krisis kesehatan. Pengeluaran yang ditujukan untuk upaya preventif mencegah infeksi bukan menjadi prioritas dibanding membeli makan untuk seluruh anggota keluarga.

Strategi penghidupan pelaku ekonomi informal saat pandemi.
Strategi penghidupan pelaku ekonomi informal saat pandemi. Olahan penulis dari Pitoyo dkk (2021).

Bantuan sosial tidak kalah penting dalam menyelamatkan pekerja informal. Bantuan yang berasal dari pemerintah, rumah ibadah, atau dermawan menjadi pendapatan tambahan bagi mereka.

Namun, tidak semua pekerja informal bisa mendapat bantuan pemerintah akibat permasalahan pendataan. Misalnya, para pekerja migran seringkali tidak mendapat bantuan karena mekanisme pemberian bantuan didasarkan pada data kependudukan tempat mereka tinggal. Selain itu, sulit untuk mendata sektor informal yang sifatnya sporadis dan tidak teregistrasi. Belum lagi persoalan penyaluran bantuan yang sarat korupsi.

Beruntung, adanya paguyuban pekerja informal membantu sesama pekerja informal untuk bertahan hidup selama pandemi, misalnya Paguyuban Pedagang Angkringan ‘Surjan’ dan UPT Kawasan Malioboro.

Peran dermawan serta paguyuban menjadi krusial untuk mengisi absennya bantuan pemerintah. Sikap solidaritas dan perasaan senasib menyebabkan masyarakat tergerak untuk saling membantu dalam bentuk bahan pokok ataupun uang.

Namun, bantuan dari unsur komunitas ini tidak dapat berjalan selamanya.

Keterbatasan dana serta sama-sama mengalami krisis menyebabkan kegiatan saling membantu tidak dapat dilakukan terus menerus.

Modal sosial yang besar pada akhirnya tidak dapat menggantikan peran pemerintah dengan sumberdaya finansial yang lebih besar.


Read more: Mengapa pekerja informal kerap luput dari BPJS Ketenagakerjaan? Ini strategi untuk memperluas jaminan sosial.


Perlu adaptasi dan manajemen yang efektif

Sektor informal memiliki keunggulan sendiri dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang mudah dan fleksibel terhadap kondisi ekonomi makro. Ia mampu bertahan meskipun resesi global memukul perusahaan-perusahaan besar.

Namun, pengalaman pandemi menunjukkan hal yang berbeda karena masyarakat dihajar oleh krisis ekonomi dan kerentanan keselamatan diri akibat virus. Hal ini diperparah dengan tidak adanya asuransi yang melindungi mereka dari kehilangan pendapatan. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) baru diperkenalkan pada awal 2022, dan sistem pelaksanaannya pun masih bias pekerja formal.

Kematian sektor informal akan berdampak besar bagi peningkatan kemiskinan, pengangguran, dan gangguan rantai pasok di level masyarakat menengah ke bawah. Oleh karenanya, penting bagi pelaku ekonomi informal dan pemerintah untuk belajar dari pandemi COVID-19.

Pekerja sektor informal perlu beradaptasi dalam menjalankan kegiatan ekonominya. Sektor informal tidak dapat terus bertahan hidup secara pasif dengan bergantung pada bantuan pihak luar. Kreativitas dalam menjalankan usaha dan bekerja adalah strategi kunci untuk bertahan di tengah krisis.

Digitalisasi usaha menjadi hal mendasar sebagai upaya antisipasi apabila terjadi penutupan aktivitas sosial saat pandemi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pengusaha kecil yang memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produknya cenderung lebih stabil dan mampu melewati badai krisis kesehatan dan ekonomi.

Sementara itu, bagi pemerintah, penting untuk melakukan manajemen data pekerja informal secara akurat untuk memastikan perlindungan sosial dapat disalurkan dengan tepat.

Komunitas pekerja informal dapat berperan sebagai perpanjangan tangan untuk menjangkau pekerja informal. Selain itu, pendataan melalui program sosial untuk masyarakat miskin, misalnya Program Keluarga Harapan (PKH), dapat menjadi proksi atau alat pemerintah untuk mendata pekerja informal yang membutuhkan perlindungan.

Sektor informal tidak dipungkiri masih menjadi tulang punggung penghidupan masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah dan pekerja informal sendiri wajib bersiap diri untuk memastikan sektor ini tidak mati diterpa badai krisis di kemudian hari.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now