Menu Close

G20 Sektor Kesehatan: 4 strategi memperkuat respons warga untuk melawan pandemi masa depan

Presiden Joko Widodo (tengah) membuka secara resmi KTT G20 Indonesia 2022 di Nusa Dua, Bali, 15 November 2022. Keputusan pemimpin anggota G20 mempengaruhi sistem kesehatan global. ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/Aditya Pradana Putra/wsj

Salah satu agenda utama Sektor Kesehatan Presidensi G20 Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin negara G20 di Bali, 15-16 November 2022, adalah memperkuat arsitektur kesehatan global.

Agenda tersebut mencakup (1) membangun ketahanan sistem kesehatan global, (2) menyelaraskan protokol kesehatan global dan (3) membangun pusat manufaktur dan pengetahuan untuk pencegahan, kesiap-siagaan dan respons terhadap pandemi.

Hampir tiga tahun pandemi COVID-19 memberi pelajaran penting untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat saat ini dan ke depan melalui sistem kesehatan yang jauh lebih kuat. Sebab, saat sistem kesehatan roboh akibat badai pandemi, maka kesehatan penduduk makin buruk dan kematian makin tinggi.

Bentuk arsitektur kesehatan masyarakat yang kuat akan terbentuk jika ada kebijakan untuk memaksimalkan fungsi “koridor” yang menghubungkan sektor keuangan, pejabat kesehatan, dan aktor-aktor masyarakat, termasuk relawan. Fungsi “koridor” kemungkinan besar dapat mendorong ketepatan waktu dan efektivitas tanggapan warga terhadap krisis kesehatan nasional dan global.

Dalam kasus pemulihan pasien dengan penyakit kronis, riset saya di Yogyakarta menunjukkan optimalisasi fungsi “koridor” berkontribusi pada penyembuhan. Hubungan seperti ini dapat memperkuat bangunan sistem pelayanan kesehatan nasional yang terbukti hampir kolaps saat pandemi.

Koridor dalam layanan kesehatan

Konsep modern arsitektur meyakini bentuk mengikuti fungsi.

Dalam konteks Indonesia, bangunan sistem kesehatan masyarakat dengan arsitektur tangguh harus mengoptimalkan fungsi “koridor”, lorong atau tempat terbuka yang menghubungkan ruang satu dengan yang lain.

Jika menyusuri koridor rumah sakit umum, kita sering temui keluarga pasien, sanak saudara atau tetangga yang siap menawarkan tawa sumringah pengobat sakit dan sepi. Di ruang atau sudut koridor rumah sakit inilah sering kita temui kekuatan emosi yang sangat dekat, ramah, dan bersahabat. Kekuatan emosi dan kepedulian tinggi yang jarang dirasakan meski di bangsal mewah.

“Koridor” adalah metafora pertemuan semangat kepedulian warga (caring) dengan profesionalisme tenaga kesehatan yang memberikan layanan kesehatan kepada pasien. Kolaborasi antara kekuatan emosional dan penyembuhan fisik (curing) ini dibutuhkan agar mobilisasi sumber daya dan kondisi kesehatan warga terfasilitasi dengan baik dan efisien.

Riset di Yogyakarta menunjukkan pandemi memberi pelajaran pentingnya bentuk organisasi yang solid di tingkat lokal untuk menjangkau warga yang tidak terlayani. Organisasi lokal ini berfungsi mengumpulkan kekuatan sosial-spiritual untuk bertahan serta bangkit dari krisis kesehatan.

Dari Pendanaan Pandemi yang baru-baru ini terbentuk, perlu ada yang dialokasikan untuk memaksimalkan fungsi “koridor” tersebut.

Empat strategi lokal

Pandemi COVID 19 membuktikan adanya ketergantungan antarnegara dan antarmanusia. Karena penyebaran penyakit menular tidak mengenal perbatasan antarnegara, perlu adanya transformasi kesehatan global yang mengharuskan tiap-tiap negara mempersiapkan fondasi kuat untuk pembangunan berkelanjutan.

Sejumlah ahli telah mengajukan usulan untuk memperkuat arsitektur kesehatan global pasca pandemi COVID-19. yakni berinvestasi yang lebih baik untuk menghadapi pandemi mendatang, mengurangi kekerasan struktural dan ketimpangan sosial, membangun pelayanan kesehatan universal, serta menaikkan daya lenting sistem pelayanan kesehatan dan menumbuhkan tanggung jawab sosial.

Dalam konteks Indonesia, untuk memperkuat sistem kesehatan global lebih inklusif, berkeadilan, dan responsif terhadap krisis, setidaknya ada empat strategi nasional yang berorientasi lokal melalui optimalisasi fungsi “koridor”.

Pertama, pemerintah perlu mempererat kerja sama dengan tokoh masyarakat seperti pemuka agama untuk menjalankan komunikasi risiko dan keterlibatan masyarakat sebagai salah satu area prioritas penanganan pandemi.

Kita perlu melibatkan mereka untuk mengedukasi masyarakat dalam pencegahan, surveilans, dan pengendalian penyakit. Pendekatan terhadap tokoh masyarakat dapat disesuaikan dengan kearifan lokal.

Tokoh masyarakat, khususnya perempuan, adalah aktor vital dalam merespons krisis kesehatan. Ketahanan dan kepemimpinan perempuan dalam mitigasi COVID-19 telah banyak teruji, tapi tak pernah benar-benar dihargai.

Di Yogyakarta, perempuan melakukan aksi ‘greteh’ (cerewet) yang disalurkan melalui WhatsApp Group warga. Para tokoh perempuan di sebuah dusun di Bantul membagi media edukasi pencegahan penyakit secara online di WhatsApp untuk mengingatkan warga menjaga protokol kesehatan 5M tanpa lelah

Ketika ketersediaan tempat tidur di rumah sakit habis, para perempuan bersama kader kesehatan, satuan tugas dan pemuda bahu-membahu membuat shelter dan menampung warga yang terkena COVID-19. Mereka memasak makanan, mengecek saturasi, bahkan memasang dan melepas selang oksigen para pasien COVID.

Para perempuan ini menemani ‘pasien shelter’ dengan semangat dan mengajak tetangga atau keluarga pasien untuk juga menjenguk. Mereka mempelajari dan mempraktikan peran-peran pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi dengan cara otodidak, naluriah, dan menyerupai kegiatan klinis (quasi-clinic).

Kedua, pemerintah harus terbuka dalam membuat koneksi berkelanjutan dengan kelompok non-formal untuk mengisi kekosongan ruang atau menjembatani gap antara kebutuhan warga dan sistem kesehatan yang sedang rapuh.

Sambatan Jogja (SONJO) merupakan salah satu gerakan sosial warga Yogyakarta selama pandemi yang menunjukkan bahwa inisiatif kepemimpinan di masyarakat mampu menjembatani jejaring kerja sosial kesehatan yang efisien.

Jaringan organisasi kerelawanan yang dipadukan dengan kepemimpinan di lapangan seperti peran lurah (termasuk istri lurah) dan pimpinan Puskesmas maupun rumah sakit rujukan merupakan koneksi yang klop. Kolaborasi ini memungkinkan ide-ide atau pemecahan masalah langsung dieksekusi di lapangan.

Tanpa adanya kepemimpinan kuat di lapangan, banyak ide atau permasalahan akan berhenti di tataran wacana karena tidak ada eksekutor. Upaya kerja ‘informal’ ini bersifat sangat dinamis sehingga akan sulit dilakukan dalam suasana birokrasi yang kaku dan berlapis-lapis untuk mengambil keputusan.

Kepemimpinan dalam gerakan SONJO telah melabrak sekat-sekat birokrasi. Mereka menggunakan jaringan pertemanan baru yang terafiliasi dalam institusi kesehatan, korporasi, universitas, organisasi profesi, pamong praja, pesantren, maupun individu (penta helix) yang memiliki simpati sosial untuk memenuhi kebutuhan warga akan pelayanan kesehatan. Mereka memasok kebutuhan akan tabung oksigen, transportasi ambulan, plasma konvalesen, dan bahkan peti mati.

Ketiga, kita perlu mengaktifkan kembali peran aktor-aktor kesehatan seperti kader kesehatan, kader posyandu, atau satuan tugas di tingkat kelurahan dan desa. Kita perlu juga memperkuat peran relawan dari unsur organisasi kemasyarakatan, karang taruna, ibu-ibu PKK, dasawisma, pramuka, dan Palang Merah Remaja dalam konteks memonitor status kesehatan dasar masyarakat dan memantau kesehatan lingkungan.

Ketika puncak tertinggi pandemi COVID-19 varian Delta menyerang pada pertengahan 2021, fasilitas kesehatan yang kelebihan beban sangat terbantu dengan adanya para relawan ambulans untuk mengangkut pasien.

Modal sosial ini dapat kita manfaatkan sekarang dan pasca-pandemi untuk menjaga akses masyarakat pada pelayanan kesehatan esensial tertentu. Misalnya kontrol kesehatan rutin, imunisasi dan kepedulian terhadap warga yang rentan seperti lansia, difabel, maupun perawatan paliatif (perawatan untuk mengurangi rasa sakit bagi pasien yang tidak bisa disembuhkan penyakitnya). Insentif dapat diberikan kepada kader dan relawan yang aktif baik berupa insentif finansial maupun non-finansial.

Keempat, tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, promotor kesehatan yang berafiliasi dengan institusi apapun harus terjun untuk meningkatkan literasi masyarakat.

Dalam setiap krisis kesehatan, informasi tidak akurat hingga hoaks selalu ada dan mudah menyebar. Literasi dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam menyaring informasi dan menentukan perilaku dan respons mereka selanjutnya.

Para kader kesehatan dan tokoh masyarakat dapat ditingkatkan kapasitasnya sehingga mampu menyadarkan masyarakat terkait pentingnya pengetahuan dan informasi kesehatan. Misalnya, ketika kasus pandemi sedang tinggi-tingginya, kelompok perempuan di Bantul mengubah lirik lagu lokal populer “Mendung Tanpo Udan”, dari musisi Ndarboy Genk dengan muatan promosi kesehatan yang sederhana dan mudah dipahami warga.

Pada akhirnya, konektivitas kekuatan masyarakat dengan petugas kesehatan sangat penting untuk mendorong mobilitas sumber daya sosial budaya selama pandemi.

Memperkuat fungsi “koridor” berarti membangun fondasi lokal yang kuat yang akan mampu menopang sistem kesehatan nasional dan memperkuat arsitektur kesehatan global.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now