Menu Close
Calon presiden Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo dalam debat perdana capres 2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum Jakarta, 12 Desember 2023. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU

Gizi anak jadi bahan kampanye calon presiden, apa masalah dan solusinya?

Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah menempatkan stunting alias bayi kurang tinggi sebagai salah satu prioritas utama program mereka.

Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menyoroti pentingnya program dukungan kesehatan bagi ibu hamil. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berkomitmen pada program kartu anak sehat untuk mencegah stunting. Bagi yang sudah di sekolah, kandidat ini menjanjikan makan siang dan susu gratis untuk meningkatkan gizi anak.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menargetkan bahwa tidak akan ada lagi anak di Indonesia yang mengalami gizi buruk.

Kita perlu mencermati prioritas itu kelak jika mereka terpilih, apakah benar-benar serius menyelesaikan masalah kurang gizi pada anak atau hanya janji politik semasa kampanye pemilu 2024.

Negara perlu hadir intervensi gizi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan asupan nutrisi. Bukan hanya “kekurangan”, malnutrisi juga berupa “kelebihan”, gangguan, atau ketidakseimbangan zat gizi yang esensial.

Sebuah riset terbaru menyatakan Indonesia menjadi contoh utama dari tiga beban malnutrisi (triple burden of malnutrition): sekitar satu dari lima anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting (tumbuh kerdil), satu dari sepuluh anak mengalami kurang berat badan. Sementara, satu dari sepuluh anak juga memiliki berat badan berlebih.

Data ini tidak hanya mencerminkan krisis kesehatan masyarakat yang mendesak, tapi juga mengindikasikan tantangan sosioekonomi yang lebih luas. Seiring dengan pertumbuhan mereka, konsekuensi dari malnutrisi akan memengaruhi perkembangan kognitif, pencapaian pendidikan, dan potensi pendapatan masa depan mereka.

Tantangan gizi merupakan persoalan unik yang tidak dapat diatasi semata oleh ahli gizi atau melalui penggunaan obat secara intensif, seperti dalam penyembuhan penyakit kronis maupun akut.

Isu gizi melibatkan hubungan yang kompleks antara berbagai intervensi, termasuk aspek ekonomi, budaya, pengetahuan, dan perilaku. Meskipun demikian, perbaikan gizi tetap perlu dilakukan melalui berbagai upaya, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.

Menurut Bank Dunia, ada tiga alasan mengapa suatu negara harus melakukan intervensi dalam bidang gizi. Pertama, perbaikan gizi memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi. Kedua, intervensi gizi terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, perbaikan gizi membantu mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan produktivitas kerja, pengurangan jumlah hari sakit, dan pengurangan biaya pengobatan.

Pemerintah Indonesia, melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan telah mengeluarkan Pedoman Pangan Jajanan Anak Sekolah Untuk Pencapaian Gizi Seimbang untuk orang tua, guru, dan pengelola kantin.

Selain itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pun menerbitkan buku saku Gizi Seimbang dan Kantin/Jajanan Sehat di Sekolah Dasar.

Seiring berjalannya waktu dan perubahan gaya hidup, konsep pola konsumsi makanan yang sebelumnya dikenal sebagai “4 sehat 5 sempurna” telah digantikan oleh konsep “gizi seimbang”.

Gizi seimbang mencakup pola makan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Ini melibatkan prinsip keanekaragaman atau variasi dalam makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan pemeliharaan berat badan ideal.

Secara umum, komposisi makanan yang seimbang mencakup karbohidrat sebanyak 50-65% dari total energi, protein sekitar 10-20%, dan lemak sekitar 20-30%. Penting juga untuk membatasi konsumsi gula hingga sekitar 5% dari total kebutuhan energi atau sekitar 3-4 sendok makan setiap hari.

Fokus pada hasil

Ahli Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Riyadi dan Ali Khomsan menjelaskan bahwa program gizi perlu mengadopsi paradigma baru, yang disebut sebagai paradigma outcome (hasil). Maksudnya, pertumbuhan dan status gizi anak dipandang sebagai indikator kesejahteraan.

Pertama, meningkatkan pola pertumbuhan dan status gizi anak dari kondisi yang tidak normal menjadi normal atau bahkan lebih baik. Misalnya, untuk menangani masalah kekurangan energi protein, pola pertumbuhan dan status gizi tidak serta merta berdiri sendiri.

Penanganan masalah ini harus terintegrasi dengan program lainnya, seperti air bersih, kesehatan lingkungan, imunisasi, lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan.

Dengan demikian, rasionalitas program gizi menjadi bagian integral dari pembangunan nasional.

Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak melalui survei gizi nasional periodik menjadi kunci untuk mendukung program gizi. Dukungan untuk kegiatan ini harus disokong oleh sistem pemantauan kondisi gizi anak yang dapat mencerminkan kondisi di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh survei gizi nasional.

Ketiga, revitalisasi posyandu dianggap berhasil ketika berfungsi sebagai lembaga masyarakat, terutama di desa, untuk memonitor pertumbuhan anak. Pendidikan dan pelatihan kepada ibu-ibu tentang cara menimbang anak, mencatat pertumbuhan di Kartu Menuju Sehat (KMS), dan memahami KMS dengan baik menjadi kunci keberhasilan revitalisasi posyandu.

Terakhir, kita perlu perubahan dalam kurikulum lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi pada pertumbuhan dan status gizi anak sebagai fokus dan tujuan program.

Thailand telah menerapkan paradigma outcome dalam memprioritaskan data status gizi anak dalam kebijakan dan program gizinya. Sejak 1990, mereka rutin mengumpulkan data nasional mengenai perkembangan berat badan anak.

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tersebut, Thailand telah mengalami pertumbuhan pesat dalam PDB per kapita dan Pasokan Energi Makanan (Dietary Energy Supply), serta penurunan tingkat kekurangan gizi secara berkelanjutan.

Status gizi anak dijadikan indikator kemiskinan dalam kebijakan pembangunan nasional, dan program gizi diintegrasikan sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan.

Pendekatan pengambilan keputusan berbasis bukti

Kemajuan yang pesat dalam ilmu dan teknologi saat ini sangat terasa di berbagai bidang, termasuk di bidang gizi dan kesehatan.

Munculnya konsep paradigma medis melalui pendekatan prediktif, preventif, personal, dan partisipatif memungkinkan manajemen dan dukungan kesehatan yang spesifik untuk masing-masing individu yang memiliki perbedaan dalam metabolisme, genetika, biokimia, dan mikrobiota yang memengaruhi respons tubuh terhadap asupan gizi.

Pengetahuan tentang nutrigenetika dan nutrigenomika memiliki peran krusial dalam merekomendasikan gizi yang disesuaikan dengan faktor genetik. Nutrigenetik memberikan wawasan tentang bagaimana individu merespons nutrisi dalam makanan.

Sedangkan nutrigenomika menunjukkan bagaimana asupan nutrisi (gizi makro, gizi mikro, dan zat aktif biologis lainnya) memengaruhi ekspresi gen dan rekomendasi diet yang optimal.

Sebuah studi nutrigenetik dari Universitas Gadjah Mada menyoroti keterkaitan antara stunting pada anak dan risiko obesitas saat dewasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anak yang mengalami stunting cenderung memiliki risiko obesitas yang lebih tinggi karena tingkat metabolismenya rendah. Beberapa gen telah diinvestigasi, khususnya gen yang terkait dengan mekanisme hormon ghrelin yang mengatur rasa lapar, dan terbukti memainkan peran dalam fenomena ini.

Dengan demikian, kesejahteraan anak-anak tidak hanya merupakan tindakan belas kasihan, melainkan juga aspek yang esensial bagi masa depan bangsa. Hal ini mencakup pendidikan, produktivitas tenaga kerja, dan kemajuan bangsa Indonesia dalam mengoptimalkan momentum bonus demografi.

Bagi kandidat presiden yang bersaing untuk memimpin lima tahun ke depan, penanganan malnutrisi anak harus menjadi poin sentral dalam kampanye mereka sebagai sinyal komitmen untuk Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now