Menu Close
Pulau Komodo yang kaya keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan salah satu hotspot risiko iklim. (Daniel G. Boyce), Author provided.

Indeks risiko iklim terbaru tunjukkan sebanyak 90 persen spesies laut dalam bahaya

Perubahan iklim berdampak pada kehidupan laut melalui serangkaian proses yang rumit.

Misalnya, lautan yang memanas dan iklim ekstrem merangsang migrasi spesies ke lokasi yang lebih dalam, lebih utara, dan lebih dingin. Perpindahan tersebut akhirnya mengubah perilaku mereka sehingga merombak ekosistem laut secara signifikan hingga ke situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Meski ada dampak yang berfaedah, mudaratnya juga banyak. Ini sering membuat kita sulit mencerna efek keseluruhan dari perubahan iklim terhadap spesies dan ekosistem.

Terlepas dari tantangan ini, kita perlu memahami bagaimana perubahan kondisi iklim mempengaruhi kehidupan laut. Perencanaan dan pengembangan langkah-langkah adaptasi amat dibutuhkan agar upaya kita untuk melestarikan laut bisa efektif di tengah iklim yang berubah.

Dalam penelitian baru, saya bersama tim mengembangkan Indeks Risiko Iklim untuk Keanekaragaman Hayati dengan memetakan risiko iklim untuk hampir 25.000 spesies laut dan ekosistem mereka. Indeks ini dapat menjadi dasar untuk mendukung pendekatan iklim dalam pengelolaan dan pelestarian kehidupan laut.

Rapor iklim

Kami menggunakan pendekatan statistik berbasis data untuk menyusun “kartu laporan iklim”. Kami memetakan spesies dan ekosistem yang “menang” ataupun “kalah” saat berhadapan dengan perubahan iklim.

Pendekatan ini memungkinkan kita untuk mempelajari mahluk hidup secara lebih luas lagi, dari plankton terkecil hingga predator besar dan paus, di berbagai ekosistem dari perairan tropis hingga kutub.

Hiu paus berenang di laut.
‘Kartu laporan iklim’ kami menilai spesies mulai dari plankton hingga paus berdasarkan 12 faktor risiko iklim tertentu. (Shutterstock)

Seperti layaknya rapor nilai siswa pada mata pelajaran tertentu, kami juga memberi nilai masing-masing spesies berdasarkan 12 faktor risiko iklim dalam dua skenario: emisi rendah dan emisi tinggi.

Faktor risiko iklim menggambarkan bagaimana karakter bawaan dari suatu spesies, misalnya ukuran badan ataupun toleransi suhu mereka, saling bersilangan dengan kondisi laut di masa lalu, masa kini, maupun masa depan di setiap lokasi di mana mereka ditemukan.

Skala risiko yang munucul berkisar dari “dapat diabaikan” (terendah) hingga “kritis” (tertinggi). Semuanya mewakili tingkat keparahan dampak iklim terhadap spesies itu dan kemungkinan terjadinya dampak buruk tersebut.

Dua skenario masa depan

Studi kami berfokus pada dua skenario sosioekonomi yang mewakili kemungkinan kondisi masyarakat di masa depan —- sekaligus emisi gas rumah kaca yang kita hasilkan kelak.

Hasilnya, ada dua skenario yang amat berbeda bagi kehidupan laut dan manusia.

Dalam skenario emisi tinggi, temperatur laut global rata-rata akan meningkat 3-5 °C pada 2100. Dalam skenario ini, hampir 90% dari 25,000 spesies yang kami nilai memiliki risiko iklim yang “tinggi” ataupun “kritis”. Rata-rata spesies di seluruh tempat memiliki risiko keterancaman hingga 85%.

Risiko tertinggi terjadi di kawasan subtropis dan tropis yang berkemungkinan menjadi titik panas keterancaman biodiversitas, maupun di ekosistem dekat pantai yang menyumbang 96% dari tangkapan ikan global.

Peta yang menunjukkan wilayah dengan ekosistem di mana spesies laut berada pada risiko iklim yang tinggi atau kritis.
Proporsi spesies laut dengan risiko iklim tinggi atau kritis dalam skenario emisi tinggi pada tahun 2100. Warna merah paling gelap menunjukkan area berisiko tertinggi, dan biru paling gelap menunjukkan terendah. (Daniel G. Boyce)

Predator puncak seperti hiu dan tuna memiliki risiko lebih tinggi dari spesies di lapisan bawah rantai makanan, seperti ikan pakan. Risiko terhadap predator bisa berdampak besar bagi fungsi ekosistem laut.

Temuan kami juga mengindikasikan efek berganda bagi masyarakat yang bergantung pada laut. Dalam skenario emisi tinggi, komoditas perikanan tangkap seperti ikan kod dan lobster memiliki risiko iklim yang cukup tinggi di wilayah negara berpendapatan rendah. Masyarakat di tempat-tempat tersebut amat bergantung pada nutrisi makanan dari sektor perikanan.

Temuan ini menjadi salah satu contoh ketimpangan iklim. Negara berpendapatan rendah yang berkontribusi amat sedikit pada perubahan iklim dan lebih agresif mengurangi emisi mereka, justru mengalami dampak terburuk karena kemampuan mereka beradaptasi sangat terbatas.


Read more: Riset: 84% proyek restorasi karang Indonesia tak terpantau, ada yang hancur berantakan


Kajian kami menekankan bahwa kita sedang berada di ujung persimpangan jalan. Memilih jalan yang berkelanjutan, yang memprioritaskan upaya pengurangan emisi, akan sangat bermanfaat bagi kelestarian kehidupan laut maupun warga masyarakat.

Sementara, dalam skenario emisi rendah, rata-rata temperatur laut naik 1-2 °C pada 2100 –- seperti batas maksimum kenaikan suhu bumi yang disepakati negara-negara dalam Perjanjian Paris.

Dalam skenario ini, terdapat pengurangan risiko perubahan iklim terhadap hampir semua kehidupan laut(98.2%). Ketimpangan risiko yang besar antara struktur ekosistem, biodiversitas, komoditas perikanan, dan negara berpendapatan rendah, juga berkurang bahkan nyaris tiada.

Menghindari risiko iklim yang berbahaya

Kami sempat mengkaji berbagai pendekatan adaptasi untuk pengelolaan perikanan, perencanaan kawasan perlindungan, dan konservasi biodiversitas berbasis kondisi iklim dunia yang stabil. Sayang, perubahan iklim merombak semuanya sehingga mengancam efektivitas pendekatan-pendekatan tersebut.

Pemangkasan emisi merupakan cara paling terdepan untuk meredam risiko iklim. Namun, tetap saja, meski dengan upaya mitigasi yang kuat, dampak perubahan iklim terhadap pada kehidupan laut tidak bisa dielakkan.

Sisa ikan tergeletak di dasar danau yang kering.
Selain mengurangi emisi, kita harus menemukan cara untuk beradaptasi dengan iklim yang memanas untuk melindungi kehidupan laut dan mereka yang bergantung padanya. (AP Photo/Jae C. Hong, File)

Selain mengurangi emisi, upaya adaptasi untuk bertahan dari pemanasan suhu bumi harus terus kita galang untuk melindungi laut. Metode-metode baru dan beragam strategi adaptasi mesti kita uji coba. Kita juga perlu terus mengembangkan kapasitas negara-negara yang memiliki keterbatasan, serta memilah upaya-upaya iklim terbaik berdasarkan dampaknya bagi kehidupan.

Kajian kami merumuskan sarana dan indeks baru untuk membantu pemegang kebijakan memetakan persoalan iklim yang kompleks. Kajian ini juga dapat mendukung pengembangan strategi pengelolaan dan konservasi kehidupan laut di tengah iklim yang berubah, memonitor risiko-risiko yang ada, sekaligus mengukur kemajuannya.

Penelitian kami memang melukiskan masa depan yang berpotensi suram di bawah emisi tinggi.

Namun, kajian ini juga menyoroti bagaimana lautan dan kehidupan laut kita dapat mengambil manfaat dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta menekankan langkah penting yang harus kita kerjakan untuk mencapai tujuan bersama umat manusia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now