Menu Close

Ini alasan beberapa orang kehilangan kemampuan mencium bau saat terinfeksi COVID-19

Syda Productions/Shutterstock

Sejak laporan awal dari Cina, Iran dan kemudian Italia, kita tahu bahwa kehilangan indra penciuman (anosmia) adalah gejala yang signifikan dari COVID-19.

Sekarang, setelah lebih banyak laporan selama berbulan-bulan, baik anekdotal maupun temuan klinis, kami merasa sudah memiliki model tentang bagaimana virus ini dapat menyebabkan anosmia.

Salah satu penyebab hilangnya kemampuan mencium yang paling umum adalah infeksi virus, seperti pilek, sinus atau infeksi saluran pernapasan bagian atas lainnya.

Coronavirus yang tidak menyebabkan penyakit mematikan - seperti COVID-19, SARS dan MERS - adalah salah satu penyebab flu biasa dan telah diketahui menyebabkan hilangnya kemampuan mencium.

Dalam sebagian besar kasus ini, kemampuan penciuman pulih ketika gejala penyakit hilang. Ini karena hilangnya kemampuan itu hanyalah akibat dari hidung tersumbat, yang mencegah molekul aroma mencapai reseptor penciuman di hidung.

Namun, dalam beberapa kasus, anosmia dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Anosmia dalam COVID-19

Untuk SARS-CoV-2, pola kehilangan ini berbeda. Banyak orang yang terinfeksi COVID-19 melaporkan anosmia tiba-tiba dan kemudian secara tiba-tiba pula kemampuan penciuman kembali normal dalam seminggu atau dua minggu.

Menariknya, banyak dari orang-orang ini mengatakan hidung mereka bersih, sehingga hilangnya kemampuan mencium tidak dapat dikaitkan dengan hidung yang tersumbat.

Dalam kasus lain, anosmia terjadi lebih lama hingga beberapa minggu kemudian. Setiap penjelasan terkait anosmia dalam COVID-19 harus mampu mencakup kedua pola ini.

Pulihnya indra penciuman secara tiba-tiba menandakan anosmia yang terjadi karena faktor obstruktif, yaitu molekul aroma tidak dapat mencapai reseptor di hidung (mirip ketika kita menjepit hidung untuk menghindari bau tak sedap).

Sekarang kita sudah memiliki CT scan hidung dan sinus orang-orang terinfeksi COVID-19 yang kehilangan bau.

Kami dapat melihat bahwa bagian hidung yang melakukan penciuman, yaitu celah penciuman, tertutup dengan jaringan lunak dan lendir yang bengkak. Ini dikenal sebagai sindrom sumbing.

Bagian lain dari hidung dan sinus terlihat normal, dan pasien tidak memiliki masalah bernapas melalui hidung mereka.

Lokasi bulbus olfaktorius. medicalstocks/Shutterstock

Kita tahu bahwa cara SARS-CoV-2 menginfeksi tubuh adalah dengan menempel pada reseptor enzim pengubah angiotensin (ACE2) pada permukaan sel yang melapisi saluran pernapasan bagian atas.

Sebuah protein bernama TMPRSS2 kemudian membantu virus menyerang sel. Begitu berada di dalam sel, virus dapat bereplikasi, memicu respons peradangan kekebalan tubuh.

Ini adalah titik awal untuk kekacauan dan kehancuran yang disebabkan oleh virus ini begitu masuk dalam tubuh.

Awalnya, kami menduga bahwa virus itu mungkin menginfeksi dan menghancurkan neuron penciuman. Neuron ini adalah sel-sel yang mentransmisikan sinyal dari molekul aroma di hidung ke area di otak; sinyal-sinyal inilah yang ditafsirkan sebagai “bau”.

Namun, hasil kerja sama internasional baru-baru ini menunjukkan bahwa protein ACE2 yang dibutuhkan virus untuk menyerang sel tidak ditemukan pada neuron penciuman. Tapi protein ini ditemukan pada sel-sel yang disebut “sel-sel berkelanjutan”, yang mendukung neuron penciuman.

Kami menduga sel-sel pendukung inilah kemungkinan sel-sel yang dirusak oleh virus, dan respons imun yang menyebabkan pembengkakan area tersebut tidak merusak neuron penciuman.

Ketika sistem kekebalan telah mengatasi virus, pembengkakan mereda, dan molekul aroma mampu mencapai reseptor yang tidak rusak dan indra penciuman kembali normal.

Tapi mengapa kemampuan mencium tidak pulih dalam beberapa kasus? Penjelasan untuk ini lebih teoretis tapi didasarkan dari apa yang kita ketahui tentang peradangan pada sistem lain.

Peradangan adalah respons tubuh terhadap kerusakan dan menghasilkan pelepasan bahan kimia yang menghancurkan jaringan yang terlibat.

Ketika peradangan ini parah, sel-sel terdekat lainnya mulai rusak bahkan hancur oleh “percikan kerusakan” ini. Kami meyakini bahwa ini yang menyebabkan tahap kedua, yaitu ketika neuron penciuman rusak.

Pemulihan kemampuan mencium jauh lebih lambat karena neuron penciuman membutuhkan waktu untuk regenerasi dari pasokan sel induk di dalam lapisan hidung.

Dalam masa pemulihan awal sering terjadi distorsi indra penciuman yang dikenal sebagai parosmia, yaitu bau-bau yang dicium tidak seperti bau-bau normal.

Banyak penderita parosmia, misalnya, menggambarkan bahwa kopi jadi beraroma seperti benda terbakar, benda kimia, kotor dan seperti limbah.

Fisioterapi untuk hidung

Penciuman sering disebut indra Cinderella karena sering diabaikan dalam penelitian ilmiah. Tapi kini indra ini telah menjadi fokus penelitian terdepan saat pandemi.

Harapannya adalah bahwa kita akan belajar banyak bagaimana virus terlibat dalam menghilangkan kemampuan mencium. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang kehilangan penciuman saat ini?

Berita baiknya adalah bahwa neuron penciuman dapat beregenerasi. Pada sebagian besar orang, neuron ini terus tumbuh kembali setiap saat.

Kita dapat memanfaatkan regenerasi itu dan mengarahkannya dengan “fisioterapis hidung”: pelatihan penciuman.

Ada bukti kuat bahwa banyak pemulihan kemampuan mencium terbantu oleh paparan berulang yang dilakukan secara sadar terhadap serangkaian aroma yang sama setiap hari.

Sangat mungkin cara ini akan berhasil untuk memulihkan kemampuan mencium yang hilang akibat COVID-19.

Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now