Menu Close

Isu lingkungan dan perkembangan teknologi ancam ambisi kendaraan listrik berbasis nikel Indonesia. Apa yang harus dilakukan pemerintah?

industri kendaraan listrik Indonesia hadapi tantangan
Mobil dinas di stasiun pengisian kendaraan listrik, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Zakariya AF/shutterstock

Beberapa pihak memuji keberhasilan program hilirisasi nikel dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo sejak diberlakukannya larangan ekspor nikel pada 2020. Dominasi Indonesia di pasar global semakin kuat, pada 7 bulan pertama 2022 meningkat 41% dan mencapai 47% dari total produksi dunia.

Dengan pencapaian ini, posisi Indonesia semakin strategis di rantai nilai kendaraan listrik. Apalagi, kebutuhan akan sel baterai diramalkan akan tumbuh setidaknya 11 kali lipat pada 2030, dimotori oleh permintaan dari Cina, Eropa, dan Amerika Serikat (AS).

Namun tantangan justru baru dimulai.

Sampai saat ini, produk hilirisasi nikel masih didominasi oleh baja anti karat. Sebab, nikel di Indonesia merupakan nikel kelas 2 yang ditambang dari deposit laterit (tanah merah yang kaya oksida besi). Nikel seperti ini lebih cocok untuk diolah menjadi baja anti karat melalui proses pirometalurgi (pemisahan logam dari bijih dengan cara pemanasan pada temperatur tinggi).

Bahkan, investasi untuk industri baja anti karat dianggap sudah berlebihan dan pemerintah sudah harus fokus mengarahkan investasi ke arah sel baterai.

Untungnya, nikel kelas 2 masih dapat diolah menjadi bahan baku sel baterai dengan menggunakan teknik hidrometalurgi, proses ekstraksi dengan menggunakan larutan. Pemerintah saat ini pun tampaknya tengah mendesain kebijakan baru untuk mendorong pembangunan pabrik hidrometalurgi.

Masalahannya, hidrometalurgi adalah teknik yang investasinya mahal dan cukup sulit diprediksi. Teknik hidrometalurgi juga jauh lebih boros energi dan menghasilkan limbah yang sulit untuk ditangani jika dibandingkan produksi dengan bijih nikel kelas 1, yang banyak ditambang di Rusia, Kanada, dan Australia.

Bagi pemerintah yang menginginkan nol emisi karbon pada 2060, tentunya permasalahan lingkungan dan energi merupakan hal yang sangat penting.

Isu ramah lingkungan di pasar global

Permasalahan lingkungan juga besar kemungkinan akan mempengaruhi investasi dan akses pasar dari negara yang mengedepankan pendekatan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Bahkan sebelum membicarakan pengolahan hidrometalurgi, program hilirisasi nikel di Indonesia masih memiliki berbagai masalah yang terkait dengan ESG.

Hal ini menambah deretan tantangan bagi Indonesia untuk memanfaatkan pasar global. AS dan Uni Eropa adalah dua wilayah yang sangat mempertimbangkan ESG – tidak hanya konsumennya, tapi juga investornya. Padahal, menembus pasar kedua wilayah tersebut juga tak gampang.

AS baru-baru ini mengeluarkan kebijakan bernama Inflation Reduction Act demi menekan tingginya inflasi. Kebijakan ini turut memuat stimulus pajak bagi pembeli kendaraan listrik. Syaratnya, kendaraan listrik tersebut harus menggunakan bahan baku dari negara-negara yang punya perjanjian dagang dengan AS, dan dirakit di kawasan Amerika Utara.

Kemungkinan, kendaraan listrik buatan Indonesia akan sulit mendapatkan stimulus ini dan berpotensi menjadi kurang bersaing di pasar AS.

Di sisi lain, hubungan dagang Indonesia dan Uni Eropa, terutama terkait dengan sumber daya alam, kerap tegang.

Sudah ramai diketahui publik bagaimana Uni Eropa geram dengan larangan ekspor nikel Indonesia. Selain mengajukan gugatan ke WTO soal ini, Uni Eropa juga memberlakukan tarif antidumping dan antisubsidi terhadap ekspor baja anti karat dari Indonesia.

Ditambah permasalahan Uni Eropa dengan kelapa sawit Indonesia (juga dengan alasan ESG), bukan mustahil Uni Eropa akan memberlakukan kebijakan yang sama terhadap ekspor mobil listrik dari Indonesia. Ini belum menghitung rencana kawasan tersebut untuk memberlakukan subsidi kendaraan listrik serupa AS, yang kemungkinan juga akan mendiskriminasi kendaraan dari Indonesia.

Teknologi baterai yang terus berubah

Sebagai pemilik pasar terbesar bagi kendaraan listrik pada 2021, dan diramalkan masih menjadi yang terbesar pada 2030, Cina dapat menjadi pilihan bagi produsen kendaraan listrik Indonesia.

Cina memang sudah menjadi tujuan ekspor utama dari produk hilirisasi nikel Indonesia saat ini. Negara tersebut juga merupakan sumber dari pendanaan mayoritas pabrik pengolahan nikel terintegrasi di Indonesia. Ditambah dengan diratifikasinya RCEP, perjanjian dagang yang melibatkan Indonesia dan Cina, eksplorasi pasar Cina menjadi langkah yang logis.

Namun, pasar di Cina, seperti halnya di Indonesia, didominasi oleh light-duty vehiclesmobil penumpang atau truk dengan maksimal berat 3,85 ton. Di Cina, kendaraan jenis ini mulai banyak menggunakan baterai lithium iron phospate (LFP). Meski memiliki kapasitas yang lebih terbatas dibanding baterai berbasis nikel, LFP lebih mudah dan murah dibuat karena tidak menggunakan nikel dan kobalt sama sekali. Tentu saja keunggulan Indonesia yang kaya akan nikel akan jauh berkurang dengan teknologi baterai LFP.

LFP cocok digunakan untuk kendaraan kecil hemat energi dengan jarak tempuh yang pendek seperti di perkotaan, yang sangat cocok di pasar Cina, India maupun Indonesia. Wuling air EV, salah satu kendaraan listrik terjangkau yang telah beredar di Indonesia, menggunakan baterai tipe LFP. Tidak hanya perusahaan Cina, Tesla dan Volkswagen juga sudah mulai melirik LFP untuk model terjangkau mereka.

Penggunaan LFP dipicu oleh kenaikan harga nikel akibat serangan Rusia ke Ukraina dan berkurangnya subsidi untuk baterai berbasis nikel. Nikel kelas 1 cukup terbatas ketersediaannya, sementara nikel kelas 2 agak sulit diproses sesuai ESG. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), ketika nikel sulit diakses, baterai LFP akan mendominasi tipe baterai yang digunakan pada 2030 nanti. Semakin terbatasnya bahan baku nikel yang tersedia, maka semakin gencar riset untuk penggunaan bahan-bahan alternatif seperti LFP.

Memanfaatkan perjanjian dagang

Pemerintah Indonesia perlu mulai memikirkan target pasar dari sel baterai. Di pasar low-end (kelas bawah), kendaraan listrik tanpa nikel semakin kuat merambah. Di pasar high-end (kelas atas), akses menuju pasar Eropa dan Amerika Utara juga memiliki hambatan tersendiri.

Pemerintah baru saja mengeluarkan kebijakan insentif untuk 200.000 lebih kendaraan listrik demi memaksimalkan pasar domestik. Tapi angka ini masih jauh dari hampir 8 juta kendaraan listrik di luar pasar global. Di samping itu, hanya mengandalkan pasar dalam negeri akan menghilangkan nilai tambah yang didapatkan dari ekspor. Pasar global masih dan akan semakin penting.

Tata kelola nikel tentu harus terus dijalankan pemerintah. Namun, perjanjian perdagangan juga menjadi kunci yang tak bisa diabaikan. Seiring dengan banyak perusahaan dunia berusaha mencari alternatif dari Cina, perjanjian dagang akan memberikan Indonesia keunggulan dibandingkan negara lain di kawasan. Kekayaan nikel Indonesia juga akan menjadi modal penting dalam bernegosiasi.

Saat ini, Indonesia tengah menegosiasikan perjanjian dagang dengan Uni Eropa (IEU CEPA). Dengan beberapa sengketa dagang yang sudah dan tengah berlangsung, memastikan perjanjian dagang Indonesia dan Uni Eropa cepat terselesaikan menjadi sebuah tantangan. Meski demikian, pemerintah harus terus menempatkan pentingnya mendapatkan akses pasar Uni Eropa ketika bernegosiasi.

Demikian juga dengan AS. Selain mendekati investor seperti Tesla, Indonesia perlu melobi AS agar bisa mendapatkan stimulus Inflation Reduction Act. Perjanjian dagang dengan Australia juga akan membantu Indonesia tidak hanya mendapatkan akses pasar, tapi juga lithium yang penting bagi komponen baterai.

Dengan banyaknya komitmen investasi sel baterai di Indonesia, Indonesia harus memastikan akses pasar agar skala ekonomis dapat tercapai dan tidak terjadi kelebihan pasokan di dalam negeri.

Indonesia juga perlu memiliki perhitungan untung rugi dari intervensi yang dilakukan. Sulit menggunakan nilai ekspor sebagai indikator, mengingat besarnya fasilitas fiskal yang diberikan pada investor dan subsidi untuk konsumen. Kita juga harus waspada terhadap dominasi sejumlah kecil investor terhadap keseluruhan rantai nilai hilirisasi nikel.

Indonesia sudah cukup sukses dalam mengelola nikel. Tantangan ke depan masih ada, namun modal sebagai pemilik nikel terbesar masih menjadi aset utama. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini akan menentukan masa depan hilirisasi nikel Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now