Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal menghitung hari. Sebanyak lebih dari 200 juta penduduk di Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada 14 Februari 2024 untuk memilih pemimpin yang akan berkuasa selama lima tahun ke depan.
Selain memperhatikan tiga calon presiden (capres) yang tengah bertarung, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, banyak pakar yang sudah mulai mengelaborasi apa saja “peninggalan” atau legacy Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam perpolitikan Indonesia selama 10 tahun masa jabatannya.
Jokowi telah meninggalkan kursi kepresidenan dengan mewariskan sebuah negara yang terpecah, ditandai dengan politik yang polarisasi, dan hak-hak sipil yang tersebar dan terfragmentasi. Selama satu dekade kepemimpinannya, Jokowi menetapkan fokus utamanya pada pembangunan ekonomi, kendati beberapa kritik menyebutkan bahwa kebijakan tersebut telah mengorbankan aspek-aspek demokrasi. Transformasinya dari seorang politisi outsider menjadi kekuatan utama di kalangan elit politik selama sepuluh tahun terakhir adalah sebuah perjalanan yang melihat demokrasi Indonesia semakin merendah
Setidaknya ada dua hal yang paling menonjol sebagai warisan pemerintahan Jokowi yang kini tengah, dan mungkin ke depannya akan masih, mewarnai lanskap politik Indonesia, yakni bergesernya “karakter” Jokowi dan dinasti politik.
Dari merakyat jadi oligarki
Menjelang akhir masa jabatannya, banyak yang menilai bahwa Jokowi telah berubah dari “orang rakyat” menjadi “orang yang penuh kontradiksi” sepanjang kariernya.
Ciri khas yang melekat pada Jokowi di era awal kepemimpinannya adalah karakternya yang merakyat. Tahun 2014, sosok Jokowi menjadi angin segar bagi publik yang telah bertahun-tahun dipimpin oleh sosok yang berasal dari militer dan elit. Jokowi dipandang jauh dari ranah oligarki. Apalagi saat itu rivalnya, Prabowo Subianto, menjadi sosok representasi oligarki, militer, dan elit. Kemenangan Jokowi tahun 2014 dianggap sebagai suatu kemenangan bagi rakyat demokrasi.
Namun, citra merakyat Jokowi tampak mulai retak sejak Pilpres 2019. Ia kembali berhadapan dengan Prabowo, tetapi saat itu Prabowo lebih mengusung populisme, memobilisasi dukungan dari kelompok-kelompok Islam konservatif dan garis keras. Jokowi kemudian menggandeng Ma'ruf Amin, sosok ulama terpandang, sebagai strategi menarik pemilih Muslim. Jokowi kembali menang.
Kebijakan Jokowi sebagian besar berfokus pada pembangunan ekonomi dan industri, terutama pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Jokowi telah melanjutkan kebijakan pembangunan infrastruktur selama dua periode pemerintahannya, dan ini menjadi salah satu fokus utama selama masa jabatannya yang kedua. Pembangunan hampir 947 km jalan tol, 3.432 km jalan raya, serta pembangunan jembatan dan bandara merupakan proyek-proyek yang telah diimplementasikan sebagai bagian dari agenda politiknya.
Proyek-proyek ini kini menjadi landasan kebijakan yang diinginkan oleh calon presiden Prabowo Subianto untuk diteruskan. Ia kerap disebut “Bapak Infrastruktur” karena titik fokus agenda politiknya adalah pengembangan ekonomi melalui infrastruktur.
Dalam hal kebijakan luar negeri, Jokowi cenderung merapat ke Cina dan berhasil mengarahkan sepuluh proyek untuk Indonesia yang sejalan dengan agenda Belt and Road Initiative Cina. Ini akan menjadi legacy khas dari pemerintahan Jokowi.
Namun, meskipun Jokowi telah mencapai banyak prestasi dalam pengembangan ekonomi, banyak pula kebijakan-kebijakannya yang kontroversial dan cenderung membatasi kebebasan sipil.
Selama 10 tahun masa pemerintahannya, Jokowi dua kali menyetujui revisi UU ITE, yaitu pada tahun 2016 dan awal Januari ini yang seluruhnya masih memuat aturan bermasalah. Selain isi pasal-pasalnya yang dapat mengekang kebebasan ekpresi dan membatasi sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah, pembahasannya pun kerap tertutup dan minim partisipasi publik.
Jokowi juga tidak ragu untuk membatasi hak-hak pekerja dengan mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja 2020 (Omnibus Law), bahkan pada masa pandemi COVID-19.
Dinasti politik
Berakhirnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998 menandai awal transisi Indonesia menuju reformasi, dengan pergeseran dari rezim militer/otoriter ke demokrasi. Namun, di era demokrasi ini, kita justru kembali menyaksikan menyaksikan “perlawanan sipil” dari rakyat terhadap dinasti politik.
Memang, praktik dinasti politik di Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak era Sukarno, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Jokowi saat ini, dinasti politik telah menguasai politik Indonesia.
Megawati Sukarnoputri yang menjabat sepanjang 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004 merupakan putri dari Sukarno dan merupakan pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Putri Megawati, Puan Maharani, kini menjabat sebagai Ketua DPR RI. Anak perempuan Puan, Orissa Putri Hapsari, terdaftar sebagai calon legislatif (caleg) PDI-P di wilayah pemilihan IV Jawa Tengah.
Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah memimpin selama 10 tahun, sebelumnya merupakan Ketua Parta Demokrat. Kini, kepemimpinan partai tersebut diwariskan ke putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, ketika karier politik Agus bahkan belum memasuki tahun kelima.
Namun, dinasti politik yang banyak diyakini tengah dibangun oleh Jokowi saat ini tampak lebih terang-terangan hingga memicu amarah publik. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang masih menjabat Walikota Solo, kini maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) bersama Prabowo.
Proses penunjukkan Gibran sebagai cawapres menuai kontroversi besar. Jokowi diyakini mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui adik iparnya, Hakim MK Anwar Usman, untuk memutus perkara batas usia capres dalam UU Pemilu guna membuka ruang bagi Gibran untuk maju.
Selain Gibran, anak bungsu Jokowi pun kini berpolitik. Kaesang Pangarep diberikan kursi ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hanya dalam hitungan hari sejak ia terjun ke dunia politik, tanpa melewati proses kaderisasi partai.
Penting untuk mencatat bahwa fenomena dinasti politik ini menciptakan ketidaksetaraan dalam proses demokrasi dan meningkatkan risiko terjadinya kebijakan politik yang tidak etis.
Adanya keterkaitan erat antara keluarga-keluarga politik ini mengundang pertanyaan tentang keadilan kompetisi politik dan mengikis kepercayaan publik terhadap integritas sistem politik.
Oleh karena itu, penekanan pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan kesehatan demokrasi di Indonesia.
Sayangnya, Prabowo justru menjustifikasi praktik dinasti politik tersebut, dengan mengutarakan bahwa keberadaan dinasti politik merupakan elemen yang konstan dalam proses politik Indonesia. Artinya, ia membenarkan praktik ketidaksetaraan dalam demokrasi.
Prabowo, yang selama dua periode pemilu menjadi rival dan antitesis Jokowi, kini justru turut “membantu” Jokowi membangun dinasti politiknya. Fakta bahwa justru banyak partai politik yang kini berada di belakang Prabowo secara tidak langsung menunjukkan kentalnya oligarki.
Sikap partai yang dipimpin Prabowo, Partai Gerindra, telah turut memunculkan pertanyaan tentang kondisi demokrasi saat ini di negara ini. Gerindra yang awalnya menjadi oposisi terbesar, lima tahun terakhir ini banting stir ke kubu pemerintah karena Prabowo diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Jokowi. Ini membuat kubu opisisi sangat lemah.
Pada akhirnya, dalam konteks ini, presiden berikutnya akan harus menghadapi tantangan Indonesia yang terfragmentasi, ditandai oleh ketegangan politik identitas dan pengaruh yang terus-menerus dari dinasti politik.
Sebagai pemilih yang bijak, penting bagi warga Indonesia untuk mempertimbangkan rekam jejak dan kebijakan-kebijakan calon presiden yang berpotensi memimpin negara ini ke depan sebelum memilih.
Pemilihan ini tidak hanya akan membentuk masa depan Indonesia, tetapi juga akan mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi.