Menu Close
(Toa55/Shutterstock)

Kebakaran hutan dan lahan Indonesia terparah sejak pandemi, buntut macetnya sistem pencegahan

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terus mengganas. Menurut Sistem Informasi Pemantauan Kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas area yang terbakar per Agustus lalu sudah mencapai 267 ribu hektare. Angka ini sudah melampaui luas area terbakar tahun 2022 yakni seluas 204.894 ha.

Tangkapan layar sebaran titik panas yang dapat memicu kebakaran hutan dan lahan dalam platform pemantauan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut saya, area terbakar akan meluas bahkan dapat melebihi angka tahun 2021 yakni 358 ribu ha ataupun 2020 sebesar 296 ribu ha. Prediksi ini saya sampaikan karena sampai sekarang KLHK tak kunjung merilis data area terbakar per September 2023.

Yang membikin miris, kebakaran tahun ini juga marak terjadi di banyak kawasan konservasi. Padahal, area tersebut penting untuk menjaga simpanan karbon di bumi, pelestarian manfaat ekosistem seperti air bersih dan udara sejuk, serta penjaga keberagaman hayati kita.

Parahnya kebakaran tahun ini dipicu oleh fenomena cuaca El Nino yang mengakibatkan kemarau panjang. Namun, kondisi tersebut bukanlah sebab utama. Saya cenderung mengatakan kalau kebakaran parah tahun ini lebih disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian kebakaran, khususnya sistem pencegahan, dari tingkat pusat sampai tingkat tapak.

Gagap mencegah api

Pemerintah sebenarnya sudah mengadakan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan sejak akhir tahun lalu. Namun, tetap saja, otoritas seperti ‘terlena’ dengan rendahnya amukan api tiga tahun belakangan—didukung oleh fenomena La Nina beruntun sehingga kemarau saat itu cenderung lebih basah.

Rapat tersebut semestinya menjadi pemantik pemerintah untuk memeriksa ulang secara besar-besaran kesiapan seluruh pihak menghadapi El Nino 2023.

Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pengarahan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 2021. (Sekretariat Kabinet)

Sayangnya, kita belum melihat hasil yang signifikan dari rapat tersebut sampai hari ini. Beberapa wilayah seperti tampak tergagap menghadapi hebatnya kebakaran yang terjadi di luar dugaan.

Pemerintah semestinya memanfaatkan rapat tersebut untuk membentuk tim khusus yang independen untuk melakukan audit kepatuhan terpadu pencegahan kebakaran. Audit ini bertujuan untuk melihat kepatuhan dan kesiapan seluruh pihak (pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten kota, serta perusahaan) menghadapi risiko amukan api musim kemarau.

Melalui pemeriksaan ini, kita dapat mengetahui peralatan apa saja yang perlu ditambahkan agar upaya pencegahan dapat optimal. Audit juga menjadi kesempatan untuk berbagai pihak terkait untuk memperkuat kerja sama mereka meredam kebakaran hutan dan lahan.

Saya pernah memimpin pelaksanaan audit tersebut pada 2014 di Riau di bawah koordinasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Hasilnya, dari 17 perusahaan yang saya periksa, tidak ada satupun perusahaan yang mematuhi aturan pencegahan kebakaran. Hanya ada satu kabupaten yang memenuhi kewajibannya.


Read more: Empat masalah tentang kebakaran hutan yang bisa mengganjal target emisi Indonesia 2030


Saat ini, audit tersebut sudah tidak dilakukan lagi. UKP4 pun sudah dibubarkan oleh presiden. Pemeriksaan kepatuhan hanya dilakukan tim pengawas di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Beberapa daerah sebenarnya juga melakukan langkah khusus, seperti penetapan status siaga kebakaran hutan sejak awal 2023. Namun, kita tidak mengetahui sejauh mana status tersebut diikuti aksi yang cukup.

Kewalahan di lapangan

Lemahnya pengendalian kebakaran khususnya pencegahan membuat api dengan leluasa menjalar di tengah musim kering. Vegetasi, khususnya tumbuhan bawah dan rumput, tampak menguning karena kekurangan air, sehingga menjadi bahan bakar yang sangat sensitif terjadinya kebakaran, karena tinggal menunggu pemicu.

Petugas memadamkan kebakaran di lahan gambut. (KLHK)

Kita bisa menyaksikan, di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang terbakar, api tidak hanya melahap vegetasi yang berada di permukaan tapi juga hingga ke puncak bukit.

Belum lagi bila lahan bergambut tanpa dikelola dengan baik, maka akan juga mudah mengering dan sensitif terhadap kebakaran. Kebakaran gambut inilah yang mengakibatkan timbulnya bencana asap saat ini dan menambah parah emisi karbon karbon di atmosfer.

Melalui televisi, saya juga melihat pemadaman api dilakukan dengan seadanya, melalui selang yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, juga dengan panjang tidak memadai. Petugasnya pun terbatas. Di beberapa lokasi, saat melakukan verifikasi lapangan di wilayah korporasi di Riau, kebakaran tampak dibiarkan oleh pemilik konsesi.

Api juga berisiko meluas karena amukannya berlangsung di kawasan yang jauh dari sumber air. Hal ini tentu saja membuat luas areal terbakar bertambah.

Selain itu, dalam suatu provinsi dan atau satu kabupaten terjadi kebakaran pada beberapa lokasi dalam waktu yang bersamaan. Hal ini ditambah lagi dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, juga sumber daya manusianya. Dapat dibayangkan seperti apa upaya pemadaman yang dilakukan.

Pada sebagian wilayah, kondisi ini seakan tidak berubah. Tak ubahnya dengan kondisi yang terjadi saat kebakaran hebat melanda Indonesia pada 2015.

Saat melakukan verifikasi lapangan pada korporasi yang diduga terkait dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, saya mendapati daerah-daerah bergambut rawan kebakaran seperti Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan sangat kekurangan peralatan pemadaman api. Padahal, peralatan ini, diwajibkan dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar.


Read more: El Nino 2023: kebakaran hutan bermunculan di Indonesia, ini 3 strategi agar tak meluas


Setidaknya peralatan pemadaman api ini terbagi dalam lima kelompok:

  1. Peralatan individu (seperti helm, masker)
  2. Peralatan kelompok (menara pengintai api, drone)
  3. Perkakas tangan (penepuk api, sekop api)
  4. Pompa air dan aksesoris (tangki air dan pompa)
  5. Alat komunikasi dan pengolahan data (GPS dan megafon)

Tanpa peralatan di atas, petugas lapangan akan sulit memadamkan api, apalagi kalau sudah membesar. Akhirnya api sangat sulit dipadamkan.

Pemadaman langsung di daratan adalah tahapan krusial karena proses ini bertujuan untuk memastikan api benar-benar padam.

Penggunaan teknologi mutakhir yang mahal seperti penggunaan helikopter untuk water bombing dari udara juga belum tentu efektif. Tidak sedikit air yang meleset dari sasaran.

Sekalipun targetnya benar, jika suhu permukaannya mencapai lebih dari 1000°C, air yang jatuh akan segera terevaporasi menjadi uap sehingga tidak memberikan dampak apapun.

Jika kebakaran sudah sedemikian parah, saya menyarankan penggunaan bahan kimia fire retardant berupa foam (busa) atau gel yang ramah lingkungan.

Namun tetap saja, upaya-upaya di atas perlu dibarengi upaya pemadaman langsung di lapangan agar lebih efektif.

Bakal sulit efektif meredam kebakaran tanpa dibarengi pemadaman langsung di daratan.

Langkah segera

Negara memang sudah melakukan banyak upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, termasuk dan mengurangi kobaran api.

Di Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, kita juga melihat pemerintah sedang mengusut dugaan pelanggaran hukum oleh perusahaan–diduga menyebabkan kebakaran.

Beberapa korporasi yang terbakar saat ini justru pernah ditindak oleh negara dalam perkara yang sama beberapa tahun lalu. Sebagian besar korporasi yang diproses terkait pelanggaran hukum yang dilakukan, berada di lahan gambut.

Latihan pemadaman kebakaran di Desa Garantung, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Achmad Ibrahim/CIFOR)

Namun, langkah ini belum cukup. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mencegah api membesar, atau mengatasi kobaran di titik api yang baru.

Penanganan kebakaran ini tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah pusat ataupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana saja. Pemerintah daerah juga harus memprioritaskan sumber daya dan anggarannya untuk mengendalikan kebakaran, termasuk memadamkan api dan mengatasi efek negatifnya bagi masyarakat di daerah masing-masing.

Patut diingat bahwa kebakaran hutan dan lahan adalah tanggung jawab kita bersama. Kita harus bisa memastikan musim kering kali ini tidak memperparah dampak buruk seperti kerusakan lingkungan, gangguan pernapasan, dan gangguan ekonomi bagi masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now