Menu Close

Konsep ‘One Health’ harus diutamakan untuk memungkinkan kita untuk mencegah pandemi

Perdagangan ilegal satwa liar yang terancam punah di Möng La, Shan, Myanmar.
Perdagangan ilegal satwa liar yang terancam punah di Möng La, Shan, Myanmar. Dan Bennett/Wikimedia, CC BY

“One Health” adalah sebuah konsep, strategi, dan tujuan. “One Health” secara bertahap masuk dalam ilmu pengetahuan, kedokteran hewan, dan ilmu biomedis.

Konsep ini sekarang mendominasi komunikasi dari organisasi-organisasi kesehatan publik dunia seperti Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Badan Pangan Dunia (FAO), Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC).

Meski demikian, “One Health” masih kurang diketahui oleh publik dan jarang dimasukkan ke dalam proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah.

Konsep ini mewakili perubahan paradigma yang sungguh-sungguh, dan bisa membuat kita lebih mengerti, mengantisipasi, dan mengelola penyebaran pandemi baru.

Interkoneksi makhluk hidup

Istilah “satu pengobatan” diperkenalkan sejak 1964 oleh Calvin Schwabe, seorang ahli epidemiologi dari AS.

Ia ingin menekankan hubungan antara hewan dan pengobatan manusia, sekaligus menunjukkan pentingnya kolaborasi antara dokter hewan dan para dokter untuk mengendalikan penyebaran infeksi.

Dari 1407 patogen yang menulari manusia, 58% berasal dari hewan, seperempat dapat menjadi sumber transmisi epidemik atau pandemik, seperti virus influenza dan Ebola.

Selain itu, 75% dari penyakit menular baru bersumber dari hewan.

Pemahaman dan pengelolaan atas kumpulan hewan pembawa penyakit menular, dan juga atas jalur penularan mereka dan adaptasi ke manusia, penting untuk pengendalian zoonosis dan epidemi di masa depan.

Maka, muncul minat dalam EcoHealth, sebuah disiplin baru yang menggabungkan ilmu ekologi, epidemiologi, dan biomedis.

Gangguan dalam interaksi yang dinamis antara populasi manusia, agen infeksi, kumpulan hewan pembawa penyakit, dan terkadang vektor serangga, biasanya memicu epidemi dari zoonosis.

Dengan membedakan habitat atau kelimpahannya, perubahan yang dilakukan terkait lingkungan, iklim, dan sosial ekonomi dapat, misalnya, mengubah kemungkinan interaksi antara setiap populasi.

Lebih lagi, pembawa virus menular, dan khususnya virus RNA, berkembang sangat pesat.

Mereka dapat beradaptasi dengan inang-inang baru jika mereka sering melakukan kontak dengan inang-inang baru itu sehingga menciptakan jaringan interaksi baru.

Perburuan, deforestasi, iklim, dan epidemi

Hubungan antara intrusi manusia ke suatu ekosistem dan munculnya epidemi tergambarkan dalam kasus human immunodeficiency virus (HIV), yang telah merenggut lebih dari 32 juta manusia antara 1981 hingga 2018.

Kemunculan virus ini mungkin terjadi akibat meningkatnya perburuan dan konsumsi daging simpanse di wilayah Kinshasa (Republik Demokratik Kongo) pada tahun 1920-50: meningkatnya kontak antara manusia dengan primata yang terinfeksi dengan simian immunodeficiency viruses telah membuat adaptasi patogen ini ke manusia.

Penyakit Lyme juga dapat dijadikan contoh.

Patologi ini, yang memperlihatkan hubungan antara perubahan keanekaragaman hayati dan epidemi, disebabkan oleh bakteri Borrelia burgdorferi, melalui gigitan kutu.

Di alam, kutu banyak memakan vertebrata.

Beberapa di antaranya, seperti tupai dan rusa, sebenarnya tahan terhadap infeksi. Sementara, seperti tikus, sangat rentan.

Akibat efek dilusi (dilution effect) hanya sedikit kutu yang terinfeksi di hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.

Sebaliknya, di tempat yang rendah keanekaragaman hayati, hutan kecil dengan sedikit pemangsa, jumlah tikus bisa meningkat, yang meningkatkan frekuensi infeksi kutu dan risiko bagi manusia.

Di AS bagian timur laut dan Eropa, sejarah siklus deforestasi, reforestasi, dan fragmentasi kawasan berhutan telah mendorong perkembangan penyakit.

Contoh paling baru adalah pemanasan global.

Kini kita tahu bahwa pemanasan global adalah pemicu berbagai penyakit yang ditularkan melalui vektor di Eropa dan akan berlangsung hingga beberapa dekade.

Kita tahu, misalnya, bahwa nyamuk macan asal Asia dan lalat pasir dari lembah Mediterania dan Afrika Utara kini telah berkembang di Eropa selatan.

Nyamuk macan (Aedes albopictus)), adalah vektor untuk penyakit seperti Zika, demam berdarah, dan chikungunya, atau lalat pasir (phlebotominae) yang membawa leishmaniasis.

Pengelolaan bergantung pada konteks sosial

Untuk bisa mengelola epidemi, penting untuk mempertimbangkan keadaan sosio-ekonomi, politik, agama dan budaya suatu negara.

Dukungan dari masyarakat untuk strategi kesehatan publik juga penting.

Singkatnya, strategi komunikasi dan edukasi harus beradaptasi dengan konteks sosial.

Sebagai contoh adalah brucellosis, penyakit ini disebabkan oleh bakteri Brucella, beberapa spesies secara kronis menginfeksi ruminansia (mamalia pemamah biak) setempat.

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lewat konsumsi makanan terkontaminasi, tapi penularan antar manusia hampir tidak ada.

Melakukan tindakan pada hewan pembawa virus, dengan demikian, dapat mengurangi biaya ekonomi terkait dengan hilangnya ternak dan meningkatkan kesehatan manusia.

Di Eropa, brucellosis hampir secara keseluruhan sudah diberantas dengan vaksin dan lewat membunuh kawanan yang terinfeksi secara sistematis.

Pendekatan ini hanya bisa dilakukan dengan mengharmonisasikan kebijakan kesehatan di beberapa negara – termasuk identifikasi binatang lokal, hasil tes dan pengawasan terhadap pergerakan, serta kompensasi terhadap peternak.

Namun, ini tidak bisa dilakukan pada negara berkembang yang memiliki sumber ekonomi dan kemampuan operasional dokter hewan yang terbatas.

Akibatnya, misalnya, brucellosis menjadi endemik di India.

Kurangnya kompensasi finansial kepada petani dan larangan agama untuk membunuh hewan ternak, menimbulkan halangan sulit melakukan percobaan dan membunuh hewan yang terinfeksi. Sehingga, hanya strategi vaksin yang dilaksanakan di India.

Pendekatan multidimensi dan multidisiplin

12 Prinsip Manhattan” telah ada pada tahun 2004 di New York, AS, dalam konferensi yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society.

Prinsip pertama menekankan perlunya mengenali hubungan antara kesehatan manusia, kesehatan hewan dan lingkungan.

Ia juga menunjukkan perlunya pendekatan holistik dan prospektif untuk penyakit menular yang baru dengan mempertimbangkan keterkaitan yang kompleks antar spesies.

Atau perlunya pengurangan perdagangan hewan liar karena “ancaman nyata yang bagi keamanan sosial-ekonomi global”; peningkatan investasi dalam infrastruktur kesehatan dan jaringan pengawasan penyakit menular; berbagi informasi dengan cepat dan jelas; pendidikan dan sensitisasi populasi dan pengambil keputusan politik terhadap keterkaitan makhluk hidup.

Kesimpulan yang disampaikan dalam rangkuman konferensi menjadi penting:

“Mengatasi ancaman hari ini dan masalah esok hari tidak bisa dicapai dengan pendekatan kemarin… Kita harus merancang adaptasi, melihat masa depan dan solusi multidisiplin untuk tantangan yang tidak terduga.”

One Health Umbrella dikembangkan oleh One Health Swedia dan One Health Initiative untuk ilustrasi cakupan konsep One Health Initiative

Konsep “One Health” diperkenalkan di Sharm el-Sheik (Mesir) pada tahun 2008, pada simposium tentang risiko infeksi terkait dengan kontak antara ekosistem manusia dan hewan.

Tak lama kemudian, setelah pandemi flu H1N1 pada 2008-09, WHO mengadopsi program global flu dengan melibatkan peningkatan adaptasi hewan pembawa virus.

Pada saat yang sama, badan One Health pertama terbentuk di AS.

Badan ini bekerja untuk mempromosikan agenda keamanan kesehatan global, dengan banyak organisasi nasional dan internasional dan melibatkan sekitar 60 negara.

Grafis dari ‘One Health’. Wikipedia

Sejak munculnya ‘One Health’, konsep serupa juga muncul, seperti EcoHealth dan Planetary Health.

Dengan memperhatikan keterkaitan antar makhluk hidup, tetapi juga menghindari pemikiran linier dan reduktif, dan menghilangkan batas-batas disiplin ilmu, konsep-konsep baru ini memungkinkan kita untuk lebih memahami dan mengelola krisis kesehatan.

Pentingnya antisipasi

Kita hidup dalam dunia yang sama. Baik kesehatan maupun ekonomi kita berhubungan erat dengan kondisi dunia.

Jika kita ingin mencapai Millennium Development Goals dari PBB, penting bagi kita untuk mengkaji berbagai interaksi antara kebijakan publik, ekonomi, kesehatan hewan dan lingkungan.

Akan tetapi, kacaunya manajemen pandemi Covid-19 telah memperlihatkan bahwa visi “One Health” jarang diadopsi oleh para pembuat kebijakan.

Walau kemunculan pandemi virus baru yang berasal dari zoonosis telah berulang kali diprediksi oleh komunitas ilmuwan, pemerintah tidak dapat mengantisipasinya.

Lebih buruk lagi, mereka telah menerapkan kebijakan nasional yang beragam (dan terkadang kontradiktif), padahal pandemi jelas merupakan masalah global yang membutuhkan aksi internasional bersama.

Tentu saja, kita harus belajar dari hal ini.

Dalam visi ‘One Health’, pandemi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 merupakan konsekuensi langsung yang dapat diprediksi dari globalisasi sistem produksi hewan, penjualan hewan liar, juga dari pariwisata massal, perdagangan internasional dan mobilitas yang menyertai mereka.

Selain itu, terlepas dari apa yang mungkin dikatakan oleh beberapa orang, pandemi ini tidak dapat disebut sebagai “angsa hitam”. Pandemi ini bukanlah sebuah peristiwa tak terduga yang memiliki penyebab di luar sistem ekonomi liberal kita.


Wiliam Reynold menerjemahkan dari bahasa Inggris.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

This article was originally published in French

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now