Menu Close
(ANTARA FOTO)

Membedah tiga tujuan utama RUU Sisdiknas: payung hukum baru yang akan merombak sistem pendidikan Indonesia

Pada Agustus 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merilis Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

RUU Sisdiknas rencananya akan mengintegrasikan dan mencabut tiga UU dalam dunia pendidikan Indonesia – UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (versi sebelumnya), UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Tenaga Kependidikan, serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Berbeda dari beberapa RUU lain, Kemdikbudristek membuka proses penyusunan RUU Sisdiknas secara komprehensif di laman daring mereka, dan memuat dokumentasi, naskah, ringkasan, serta artikel-artikel terkait.

Namun, seiring upaya publikasi ini, polemik dari publik pun juga terus bermunculan.

Sebagai seorang peneliti dan analis kebijakan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) di Kemdikbudristek, melalui tulisan ini saya ingin menjelaskan beberapa tantangan besar dunia pendidikan yang ingin diselesaikan oleh RUU Sisdiknas.

Data menunjukkan Indonesia telah sukses mencapai tingkat partisipasi sekolah yang tinggi selama 20 tahun terakhir. Misalnya, tingkat partisipasi untuk jenjang pendidikan menengah (SMP dan SMA) naik dari sekitar 42% pada tahun 1995 menjadi sekitar 79% pada 2018.


Read more: Naik kelas tapi tak belajar: penelitian ungkap 3 capaian buruk terkait pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000


Namun, meski pemerintah juga sudah banyak mengucurkan anggaran, berbagai indikator – dari riset hingga laporan global PISA – menunjukkan capaian pendidikan Indonesia belum banyak berubah dan tertinggal dari banyak negara.

RUU Sisdiknas merupakan upaya dan strategi baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang masih rendah tersebut melalui tiga pilar utama: mengurai hambatan birokrasi perundang-undangan, menyederhanakan sistem pendidikan yang kaku, serta membenahi kualitas dan kesejahteraan guru.

Tiga tujuan utama RUU Sisdiknas

1. RUU Sisdiknas mendorong adanya keselarasan peraturan perundang-undangan terkait pendidikan

Saat ini, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur oleh tiga UU berbeda, yakni UU Sisdiknas tahun 2003, UU Guru dan Dosen tahun 2005, serta UU Pendidikan Tinggi tahun 2012.

Akhirnya, banyak peraturan kini menjadi tidak selaras. Misalnya, standar nasional pendidikan saat ini tumpang tindih antara UU Sisdiknas 2003 dan UU Pendidikan Tinggi 2012.

Beberapa peraturan juga terlalu mengunci dan tidak mengikuti perkembangan zaman, mulai dari regulasi kewajiban 24 jam mengajar hingga kategori guru dan satuan pendidikan yang kaku. Beragam aspek ini diatur secara rinci dalam UU, sehingga sangat sulit diubah.

Akibatnya, berbagai upaya transformasi dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan – seperti kebijakan Merdeka Belajar – selama ini kerap tersendat dalam labirin perundang-undangan yang kompleks dan penuh batasan.


Read more: Yang kurang dari kebijakan 'Merdeka Belajar' Menteri Nadiem: perlunya libatkan keluarga dan pemerintah daerah


Ruang gerak pemerintah pusat maupun daerah pun menjadi relatif sempit. Mereka terbiasa mencari celah dalam peraturan untuk sekadar bisa berinovasi.

Proses ini terjadi selama bertahun-tahun, sedemikan sehingga program dan tata aturan pendidikan bisa menjadi sangat ruwet dan tidak berkesinambungan.

RUU Sisdiknas harapannya dapat menyederhanakan dan menyelaraskan beragam aspek tersebut dan membuka ruang inovasi dari pemerintah pusat, departemen pendidikan daerah, hingga satuan pendidikan.

2. RUU Sisdiknas bertujuan untuk merumuskan ulang sistem pendidikan agar lebih selaras, fleksibel, mudah dikelola

Saat ini, kerangka jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang ada begitu kaku dan tidak terintegrasi. Ini cenderung mengkotak-kotakkan pendidikan anak berdasarkan karier belajar, dan menyulitkan mereka yang ingin berpindah haluan.

Misalnya, perpindahan dari satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (seperti pesantren) ke satuan pendidikan di bawah Kemdikbudristek (seperti sekolah negeri) saat ini tidak mudah karena standar yang berbeda-beda.

Selain memudahkan skenario multi-entry dan multi-exit (masuk dan keluar sistem pendidikan lewat skema yang bermacam-macam), RUU Sisdiknas juga menyelaraskan masing-masing jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tersebut dengan standar yang sesuai.

Penyelarasan standar antara jalur, jenis, dan jenjang pendidikan dalam RUU Sisdiknas. (Kemdikbudristek, Agustus 2022)

Saat ini, misalnya, pada proses penyetaraan (contohnya dalam pendidikan nonformal seperti homeschooling), orang yang sudah bekerja dan memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang baik, masih wajib mengikuti kelas-kelas rutin secara formalitas untuk mendapatkan ijazah Paket A, B, dan C.

Harapannya, penyelarasan standar di antara berbagai jalur dan jenis pendidikan tersebut dapat memangkas beban-beban semacam itu, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh satuan pendidikan.

Dalam perumusan ulang sistem pendidikan ini, RUU Sisdiknas pun berupaya memperkuat pendidikan dasar karena dianggap krusial dan paling berdampak bagi capaian pendidikan. Oleh karena itu, RUU Sisdiknas mengembangkan konsep ‘Wajib Belajar 13 Tahun’ dengan mengakui pra-sekolah – kelas 0 atau Taman Kanak-Kanak Nol Besar (TK-B) – sebagai jenjang resmi dalam sistem pendidikan.

3. RUU Sisdiknas adalah upaya mendukung kualitas dan kesejahteraan guru dengan lebih komprehensif

UU Sisdiknas 2003 yang berlaku saat ini tidak mengakui para pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan kesetaraan, dan pesantren formal sebagai guru. Akibatnya, jenjang karir, apresiasi, dan sistem pengembangan keprofesian mereka tidak terstandar dan relatif sulit dibina.

Setelah sekian lama, mereka akan mendapatkan pengakuan formal melalui RUU Sisdiknas yang baru.

RUU Sisdiknas juga bertujuan menyederhanakan dan membenahi aturan administratif terkait pendidik dan tenaga kependidikan.

Pendidikan Profesi Guru (PPG), misalnya, selama ini menjadi syarat meningkatkan tunjangan profesi. Hal ini membuat pengembangan guru kerap kali berorientasi finansial ketimbang kompetensi kependidikan.


Read more: Dukungan pengembangan karier bagi guru sangat lemah dan membuat status ASN hanya jadi "zona nyaman"


Pada RUU Sisdiknas yang baru, PPG tak akan lagi memengaruhi tunjangan profesi dan hanya berfungsi sebagai prasyarat menjadi guru – layaknya SIM bagi pengendara.

Sementara itu, pemerintah akan menyusun struktur insentif baru yang lebih fokus pada pengembangan karier dan kapasitas keprofesian.

Tentu, transformasi tersebut dilakukan dengan ’grandfather clause’ (mempertimbangkan kondisi sebelum RUU terbit) – para guru Aparatur Sipil Negara (ASN) yang belum mendapatkan sertifikasi PPG tapi sudah mengajar, berhak mendapatkan tunjangan fungsional dan penghasilan yang layak.

RUU yang penting dan butuh partisipasi publik

Di samping tiga tujuan utama itu, RUU Sisdiknas juga berupaya memperkuat kebijakan di berbagai aspek pendidikan lainnya.

Ini termasuk prioritas pendanaan bagi sekolah negeri dalam penyelenggaraan pendidikan, membuat sertifikasi dosen lebih fleksibel guna mendorong inovasi di sekolah vokasi dan kampus baru, hingga pengaturan ulang sanksi pidana yang mengancam berbagai inisiatif pendidikan tak berizin di wilayah terpencil (3T).

Paparan lengkapnya dapat dilihat di laman Kemdikbudristek.

Meski baru mengatur hal-hal umum, dan kebijakan yang lebih rinci akan diatur melalui produk hukum turunan, RUU Sisdiknas adalah beleid yang penting dan membutuhkan partisipasi seluruh publik.

RUU Sisdiknas saat ini masih pada fase perencanaan. Artinya, ini adalah saat yang tepat untuk memberikan masukan dan berdiskusi dengan Kemdikbudristek sebelum dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Miskonsepsi yang sempat terjadi terkait ‘tidak diakuinya madrasah’ hingga ’hilangnya tunjangan profesi guru’, misalnya, menjadi masukan penting bagi pemerintah untuk meningkatkan komunikasi publik.

Masyarakat perlu terus mengawal RUU Sisdiknas mengingat pentingnya reformasi ini demi masa depan pendidikan Indonesia.


Read more: Mengurai polemik pendidikan agama dalam sejarah panjang UU Sisdiknas -- dan minoritas penghayat yang selalu terlupakan


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now