Menu Close

Mengapa layanan kesehatan jiwa penting bagi pasien tuberkulosis? Ini strateginya

Warga di depan rontgen toraks paru saat pelaksanaan layanan keliling deteksi tuberkulosis (TBC) di Pukesmas Belawan, Medan, Sumatera Utara, 1 Desember 2023. ANTARA FOTO/Yudi/rwa

Tuberkulosis (TBC atau TB), penyakit global yang kini menginfeksi sekitar 10,6 juta orang dan menyebabkan kematian 1,3 juta orang pada 2022, merupakan salah satu penyakit menular yang hingga kini sulit diberantas meskipun vaksin dan pengobatannya telah tersedia.

Salah satu masalah yang kerap dialami pasien TBC adalah jangka waktu pengobatan yang lama, yaitu setidaknya enam bulan. Bahkan, pasien TBC yang mengalami resistensi obat, masa pengobatannya lebih lama hingga mencapai dua tahun.

Setiap hari pasien harus minum obat selama masa pengobatan. Itupun tidak ada jaminan mereka tidak terinfeksi kembali setelah sembuh. Pengobatan panjang ini kerap membuat mereka frustrasi.

Sebuah riset terbaru, tinjauan sistematis dan meta-analisis terhadap sembilan studi yang melibatkan 8.770 partisipan pasien TBC dari tujuh negara (India, Myanmar, Etiopia, Korea Selatan, Afrika Selatan, Zambia, dan Angola), menunjukkan prevalensi keinginan bunuh diri oleh pasien TBC mencapai 8,5% pada 2021. Sedangkan prevalensi percobaan bunuh diri pada pasien TBC sebesar 3,1%.

Riset sebelumnya juga menunjukkan kecemasan, stres, dan tekanan psikososial yang dialami pasien TBC dapat menyebabkan pasien kesulitan mematuhi program pengobatan yang diberikan.

Integrasi program layanan kesehatan jiwa ke dalam program penanggulangan TBC merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah kesehatan jiwa pasien TBC.

Kesehatan jiwa dan tuberkulosis

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022 menunjukkan mayoritas kasus TBC baru ada di Asia dengan 46% kasus TBC di seluruh dunia berasal dari Asia Tenggara.

Individu terinfeksi TBC atau pasien TBC mempunyai risiko mengalami tekanan psikologis yang dikaitkan dengan peningkatan risiko masalah kesehatan jiwa dan kecenderungan bunuh diri selama proses diagnosis, masa pengobatan, dan pemulihan.

Karena TBC sering menyerang individu yang sudah rentan secara sosial, stigma terkait TBC dapat bersinggungan dan memperburuk stigma sosial lainnya.

Masalah yang ditimbulkan dari prosedur diagnosis atau pengobatan, seperti hilangnya pendapatan tetap, kurangnya dukungan dari keluarga, dan isolasi dari lingkungan sekitar juga dapat memperburuk kesehatan jiwa pasien TBC.

Riset menunjukkan pasien TBC yang mengalami kecemasan, stres, dan depresi memiliki risiko putus pengobatan pada akhir masa pengobatan sebesar 4-9 kali dibandingkan pasien TBC yang tidak mengalami masalah kesehatan jiwa. Hal ini dapat berdampak pada rendahnya keberhasilan pengobatan yang meningkatkan risiko resistensi obat.

Apalagi, beberapa jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk mengobati TBC resisten obat, seperti Cycloserine, Isoniazid dosis tinggi, dan Fluoroquinolone, memiliki potensi menimbulkan psikosis, kecemasan, dan depresi. Hal ini menyebabkan pasien TBC yang sudah mengalami kondisi resistensi obat memiliki peningkatan risiko bunuh diri].

Oleh karena itu, pelayanan kesehatan jiwa untuk pasien TBC merupakan komponen penting dalam upaya pengobatan TBC secara holistik sebagai salah satu tata laksana pengobatan.

Integrasikan layanan kesehatan jiwa di program TBC

Ketersediaan layanan kesehatan jiwa di sebagian besar negara tidak memadai. Di beberapa negara seperti regional Afrika (Uganda, Zimbabwe, Afrika Selatan) dan Asia Tenggara (Indonesia, Nepal, Bhutan, Bangladesh, Maladewa, Myanmar), kesenjangan pengobatan untuk masalah kesehatan jiwa kondisi berat mencapai 90%.

Berdasar hasil survei semi-struktur pada para Direktur Program Tuberkulosis Nasional dari 26 negara dengan beban TBC tinggi, 17 orang di antaranya setuju perlunya mengintegrasikan layanan kesehatan jiwa ke dalam program penanggulangan TBC.

Mereka berpendapat bahwa pengintegrasian pelayanan kesehatan jiwa dengan program penanggulangan TBC akan mudah dilakukan jika model layanan terpadu yang efektif dan berbiaya rendah tersedia.

WHO menuangkan kiat mengintegrasi pelayanan kesehatan jiwa ke dalam program TBC di dalam dokumen Kerangka Kerja Aksi Kolaborasi untuk Tuberkulosis dan Komorbiditas 2022. Kerangka kerja ini dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang model layanan kesehatan jiwa terbaik dapat diberikan bersamaan dengan layanan TBC.

Lima aspek untuk pasien TBC

Merujuk pada pedoman WHO untuk meningkatkan layanan kesehatan mental pasien TBC dan komorbid, ada lima aspek fundamental dalam strategi integrasi pelayanan kesehatan jiwa bagi pasien TBC.

Pertama, kita perlu mengidentifikasi peluang dukungan terhadap layanan kesehatan jiwa di komunitas setempat. Dalam hal ini, termasuk peluang untuk memperkuat dukungan keluarga dan masyarakat pada pasien TBC, dukungan rekan sebaya, petugas terlatih, dan petugas kesehatan jiwa profesional yang tersedia.

Kedua, penyesuaian intervensi berdasarkan kebutuhan individu. Dalam perawatan kesehatan jiwa, terdapat beragam opsi, tergantung pada kompleksitas kondisinya. Misalnya, apakah intervensi yang dibutuhkan hanya sampai pada intervensi psikologis singkat dari petugas terlatih atau juga perawatan dengan obat-obatan.

Ketiga, meningkatkan hubungan layanan kesehatan jiwa yang sudah ada dengan layanan TBC agar perawatan pasien dapat terkoordinasi dengan baik.

Keempat, layanan TBC harus mengimplementasikan protokol yang jelas untuk mengidentifikasi dan merawat pasien TBC dengan masalah kesehatan jiwa.

Kelima, pemantauan dan evaluasi untuk meningkatkan kualitas layanan secara berkelanjutan. Dengan informasi yang terkumpul dari proses ini, penyedia layanan dapat menilai apakah intervensi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien, dan apakah meningkat atau menurun kesehatan jiwanya.

Strategi integrasi layanan kesehatan jiwa ini tidak terbatas pada program penanggulangan TBC. Integrasi pelayanan kesehatan jiwa juga dapat dipertimbangkan ke dalam program pengendalian HIV, lepra, dan program penyakit kronik lainnya.

Idealnya, setiap orang yang terdiagnosis penyakit kronik harus diperiksa kondisi kesehatan jiwanya sebelum atau setelah memulai pengobatan. Mereka juga perlu menjalani pemeriksaan rutin terkait kondisi depresi, kecemasan, psikosis, penyalahgunaan obat- obatan, dan kecenderungan menyakiti diri atau percobaan bunuh diri untuk mencapai derajat kesehatan serta meningkatkan capaian penyelesaian pengobatan pasien yang lebih tinggi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now