Menu Close

Mengapa NATO memperluas pengaruhnya ke wilayah Asia Pasifik?

Virginia Mayo/Pool/EPA

Sejak perang Rusia-Ukraina dimulai pada tahun lalu, rangkaian pertemuan dan konferensi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ada beberapa poin besar dalam agenda di KTT NATO di Vilnius, Lituania, yang dimulai sejak Selasa, 11 Juli ini.

Pembahasan utama, tentu saja, tentang dukungan militer NATO untuk Ukraina ke depannya dalam menghadapi dalam perang melawan Rusia, terutama setelah laporan penundaan pengiriman senjata dan keputusan kontroversial Amerika Serikat (AS) untuk mengirim munisi tandan (bom cluster) ke Ukraina.

Para sekutu juga akan membahas potensi keanggotaan Ukraina ke dalam grup tersebut. Ukraina tengah menanti undangan dan roadmap untuk bergabung dengan NATO, yang sebenarnya telah ditolak oleh AS dan Jerman karena Ukraina masih terlibat perang aktif.

Para anggota NATO juga akan menyepakati perombakan besar pertama dari rencana militer NATO sejak Perang Dingin dan peningkatan pembelanjaan pertahanan masing-masing. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg meminta seluruh 31 negara anggota untuk berkomitmen membelanjakan setidaknya 2% dari produk domestik bruto (PDB) mereka untuk pertahanan – sesuatu yang satu dekade lalu dianggap lebih sebagai aspirasi ketimbang tolok ukur.

Kepentingan NATO di Asia-Pasifik

Para negara undangan yang layak mendapat perhatian besar adalah empat pemimpin dari Asia-Pasifik: Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese, PM Selandia Baru Chris Hipkins, PM Jepang Fumio Kishida dan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol. Ini adalah kehadiran kedua bagi keempat negara selama dua tahun berturut-turut.

Meskipun upaya NATO dalam melebarkan pengaruhnya ke kawasan Asia-Pasifik masih dalam tahap awal, blok tersebut telah mendapat rangkaian kritik dalam beberapa hari terakhir.

Mantan PM Australia Paul Keating menyebut Stoltenberg “sangat bodoh” karena berusaha meningkatkan hubungan NATO dengan kawasan tersebut. Sementara Presiden Prancis Emmanuel Macron dilaporkan menentang usulan pembukaan kantor penghubung NATO di Tokyo.

Karena NATO terlihat sedang sangat fokus terhadap Ukraina saat ini, ketertarikannya pada wilayah Asia Pasifik – yang luasannya mencapai separuh dari seluruh dunia ini – memang menimbulkan pertanyaan. Mengapa keempat pemimpin ini menjadi undangan rutin di pertemuan puncak negara-negara Eropa dan Amerika Utara itu?

Pertama, keempatnya itu telah menjadi bagian dari koalisi internasional yang paling menonjol dalam mendukung Ukraina dan memberikan sanksi kepada Rusia. Jadi, kehadiran mereka di konferensi keamanan yang membahas Ukraina menjadi masuk akal.

Terlebih lagi, kawasan Indo-Pasifik masuk menjadi bagian penting dalam Konsep Strategis NATO 2022, dokumen kunci yang menjabarkan nilai, tujuan, dan peran aliansi tersebut.

Untuk pertama kalinya tahun lalu, dokumen tersebut memuat tentang ambisi dan kebijakan Cina sebagai tantangan besar bagi keamanan, kepentingan, dan nilai-nilai NATO. Konsep tersebut juga secara khusus membahas peningkatan kerja sama antara Cina dan Rusia, yang dilihat NATO sebagai ancaman terhadap tatanan internasional dengan segala aturan yang telah ditetapkan. Konsep Strategis menyebut bahwa Indo-Pasifik “penting bagi NATO, mengingat perkembangan di kawasan ini dapat secara langsung mempengaruhi keamanan Euro-Atlantik”.

Atas dasar tersebut, maka jelas jika NATO ingin memperkuat kerja sama yang telah dijalin dengan kawasan Asia Pasifik dan membangun kemitraan baru lainnya di kawasan.

Akan seperti apa bentuk kemitraan baru ini

Analis kebijakan telah membahas manfaat dan konsekuensi perluasan kerja sama NATO dan kawasan ini.

Namun, terlepas dari sejumlah keraguan, keempat negara Asia-Pasifik tersebut pada umumnya juga ingin bergerak ke arah peningkatan kerja sama dengan NATO.

Jika KTT NATO di Madrid tahun lalu menjadi kesempatan bagi keempatnya untuk menunjukkan dukungan mereka bagi Ukraina dan menjanjikan komitmen yang lebih kuat untuk kerja sama di masa mendatang dengan NATO, maka KTT NATO di Vilnius ini dapat menjadi momen untuk menilai kemajuan yang telah dicapai.

Inilah sebabnya, menjelang KTT ini, NATO lebih dulu berusaha memformalkan kemitraannya dengan keempat negara tersebut.

Jepang dan Australia berada di garis depan dalam proses kemitraan ini. Media Jepang melaporkan minggu lalu bahwa Tokyo dan Canberra (merujuk pada pemerintah Jepang dan Australia) telah menyelesaikan negosiasi dengan NATO mengenai perjanjian baru yang dinamakan “Program Kemitraan yang Disesuaikan Secara Individu (Individually Tailored Partnership Program/ITPP)”. Program ini menentukan bidang-bidang utama kerja sama antara masing-masing negara dan blok NATO.

Selandia Baru dan Korea Selatan masing-masing juga tengah menyelesaikan perjanjiannya dengan aliansi tersebut.

Kemitraan yang dijalin sebagian besar akan berfokus pada bidang yang menjadi perhatian global, seperti keamanan maritim, keamanan dunia maya, perubahan iklim, luar angkasa, dan perkembangan teknologi - yang cukup mengganggu - termasuk kecerdasan buatan.

Dilihat dari sudut pandang pertahanan, NATO dan keempat negara mitra memiliki tujuan meningkatkan “interoperabilitas” militer mereka – kemampuan berbagai kekuatan militer dan sistem pertahanan untuk bekerja sama secara efektif dan mengoordinasikan tindakan.

Ini akan mencakup memperdalam pengetahuan tentang aset militer masing-masing, meningkatkan hubungan antarprajurit dan personel militer lainnya, serta memperluas wilayah latihan bersama.

Latihan militer gabungan Jepang-AS di Jepang pada bulan November melibatkan sekitar 36.000 tentara, serta kapal-kapal Inggris, Australia, dan Kanada. Hidenori Nagai/Yomiuri Shimbun/AP

Mengapa baru sekarang?

Hubungan yang semakin intensif dan mendalam antara NATO dan beberapa negara Indo-Pasifik melahirkan dua penafsiran.

Pertama, kemitraan ini membentuk mata rantai penting lainnya dalam perluasan jaringan hubungan diplomatik dan keamanan antara AS, sekutu Baratnya, serta kawasan Indo-Pasifik. Ini juga akan melengkapi kemitraan lainnya, seperti AUKUS dan Quad.


Read more: China, Russia and climate change: why Australia's place at the NATO Summit was so important


Kedua, kita juga dapat melihat kesepakatan ini dalam konteks perkembangan pengaruh NATO secara global selama beberapa dekade terakhir.

Sebelumnya, kolaborasi NATO dengan negara-negara Indo-Pasifik hanya mencakup pengumpulan sumber daya untuk operasi keamanan di negara-negara non-NATO, seperti Balkan pada tahun 1990-an dan Afghanistan pada tahun 2000-an.

Saat ini, bagi NATO, memperkuat kemitraan dengan Indo-Pasifik merupakan bagian penting dalam menghadapi tantangan dan ancaman baru yang ditimbulkan oleh Rusia dan Cina.

Tentu saja kemitraan ini tidak berarti NATO akan menempatkan peralatan atau pasukan militernya secara permanen di Indo-Pasifik. Juga tidak realistis jika mengharapkan kontribusi militer negara-negara Indo-Pasifik ke Ukraina.

Demikian pula, jika tujuan semua ini adalah untuk mengintensifkan kerja sama keamanan di antara sekutu AS di Indo-Pasifik, sama sekali tidak terlihat akan ada pembentukan pakta pertahanan kolektif - seperti NATO - di wilayah tersebut.

Namun, mengingat kompleksitas ketegangan sekutu NATO saat ini dengan Rusia dan Cina, jelas dibutuhkan koordinasi dan kerja sama yang lebih besar dengan kelompok negara yang lebih besar. Kemitraan baru ini bisa efektif dalam menangani segala hal, mulai dari disinformasi dan keamanan maritim hingga pertahanan dunia maya dan persaingan di wilayah luar angkasa.

Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin jelas lebih menginginkan kemitraan ini berjalan lambat. Cina juga telah mengkritik usulan pembentukan kantor penghubung NATO di Tokyo dan menyebut usulan itu sebagai upaya untuk “menghancurkan perdamaian dan stabilitas regional”.

Cina dan Rusia merasa tenang karena melihat perbedaan yang jelas antara keempat negara itu terkait tingkat keterlibatan yang mereka inginkan dengan NATO.

Namun, keempat negara Indo-Pasifik itu dapat menyepakati satu fakta fundamental: bahwa mereka akan menghadapi lebih banyak, bukan malah berkurang, persaingan dengan Cina dan Rusia di masa depan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now