Menu Close
Seorang pekerja Malaysia memanen buah sawit dari sebuah perkebunan di semenanjung Malaysia, Rabu, 6 Maret 2019. Meskipun masalah ketenagakerjaan sebagian besar telah diabaikan, dampak buruk minyak sawit terhadap lingkungan telah dikecam selama bertahun-tahun. (AP Photo/Gemunu Amarasinghe)

Mitos efisiensi perkebunan sawit: Merugikan Indonesia dan memperparah ketimpangan

Separuh produk yang dijual di supermarket dan bahan bakar nabati mengandung minyak sawit. Sekitar 50% pasokan minyak sawit dunia berasal dari Indonesia, dan kebanyakan dihasilkan oleh perusahaan perkebunan.

Dewasa ini hingga sepertiga dari lahan pertanian Indonesia, dikonsesikan pemerintah kepada perusahaan sawit dan merampas akses sejumlah besar penduduk desa sumber daya yang menopang kehidupan mereka.

Secara konsisten pemerintah Indonesia mendukung perusahaan perkebunan dengan mengorbankan kepentingan petani kecil (usaha budi daya dengan lahan kurang dari 25 hektar). Seperti yang disampaikan Menteri Pertanahan pada 2019, “kalau (tanah) tidak produktif di tangan rakyat, maka kami akan mengambil tanah… Adalah fakta bahwa perusahaan perkebunan adalah mesin tercepat untuk menciptakan kemakmuran.”

Peta yang menunjukkan konsesi lahan oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan penanam kelapa sawit.
Sekarang perkebunan menguasai lebih dari sepertiga lahan pertanian Indonesia, terutama untuk budidayasawit. (Chain Reaction Research)

Para pejabat berasumsi bahwa perkebunan “mesin” yang efisien, tetapi penelitian kami menunjukkan bahwa efisiensi perkebunan adalah mitos yang berbahaya.

Perkebunan besar kalah bersaing

Secara global, tanaman pasar seperti kakao, kopi, teh dan karet yang semula dibudidayakan oleh perkebunan sekarang kebanyakan digarap petani kecil yang menghasilkan panen yang sama dengan biaya lebih rendah.

Beberapa pengamat berpendapat bahwa sawit berbeda. Mereka mencatat bahwa panen rata-rata perkebunan lebih tinggi daripada panen petani kecil, tetapi angka rata-rata menutupi variasi yang signifikan.

Analis industri yang melacak 18 perusahaan perkebunan menemukan panen mereka berkisar antara 14 hingga 26 ton buah segar per hektar; kisaran di kalangan ratusan petani kecil di lokasi penelitian kami juga serupa.


Read more: Kerusakan hutan akibat sawit bisa dipulihkan melalui praktik "jangka benah", apa itu?


Alasan utama rendahnya panen di kalangan petani kecil adalah kurangnya akses mereka ke benih unggul yang dipakai oleh perkebunan–benih yang mampu menghasilkan panen buah hingga 66 persen lebih tinggi. Namun, program pemerintah untuk memasok benih unggul kepada petani kecil berhenti. Setelah lima tahun berjalan, program hanya mencapai sekitar 10% dari target.

Jika sawit tumbuh baik di lahan kecil maupun di lahan besar (dengan bibit yang sama), bagaimana perbandingan dimensi efisiensi lainnya?

Efisiensi penggunaan lahan

Dari 22 juta hektare yang dikonsesikan pemerintah kepada perkebunan sawit, baru 10 juta hektare yang ditanami.

Sebagian lahan konsesi adalah wilayah curam, gambut, dan rapuh secara ekologis. Sawit dapat ditanam di sana tetapi biayanya tinggi dan panennya rendah. Namun, sering kali para manajer yang dikejar target perusahaan menanam sawit di lahan tidak bagus tadi.

Seorang pekerja mengasah sabitnya.
Pemanen mengasah sabit pengunduh tandan sawit. (AP Photo/Binsar Bakkara)

Petani kecil dan masyarakat adat di Indonesia menggarap lahan dengan sangat hemat. Mereka memanfaatkan sumber daya hutan secara berkelanjutan dan memilih tanaman yang cocok untuk setiap bidang lahan, sambil memanfaatkan uang dan tenaga kerja dengan bijaksana. Hasilnya, mereka mampu memberi respon yang lebih fleksibel terhadap perubahan iklim. Hanya saja, mereka dilarang memanfaatkan lahan konsesi perkebunan, karenanya banyak hamparan lahan perkebunan tidak ditanami dan banyak petani mengalami kurang pangan.

Menghemat biaya tenaga kerja

Budi daya sawit bukan usaha berteknologi tinggi. Pemanen mengunduh tandan buah secara manual dengan sabit tajam yang diikatkan pada tongkat panjang. Para pekerja perempuan menebar pupuk dan menyemprot herbisida dari wadah dan tangki yang digendong di punggung mereka.

Kerja kebun di lahan perkebunan maupun lahan petani dilakukan dengan cara yang sama. Bedanya, perkebunan memerlukan manajer, akuntan, mandor dan satpam, dengan biaya yang tinggi.


Read more: Industri sawit ingkari komitmen antideforestasi, bagaimana menuntut pertanggungjawaban mereka?


Untuk mengurangi biaya tenaga kerja, perkebunan semakin mengurangi karyawan penuh waktu dan menggantinya dengan pekerja lepas dan kontrak luar yang tidak perlu diberi pensiun, premi perawatan kesehatan, perumahan keluarga atau tunjangan lainnya.

Namun “efisiensi” tenaga kerja perkebunan ada harganya: di perkebunan yang kami teliti, inkonsistensi pasokan tenaga kerja mengakibatkan pemeliharaan kebun dan panen yang buruk.

Persoalan angkutan dan pengolahan

Pengangkutan buah dan pengolahan minyak mentah adalah bagian besar dalam narasi industri tentang keunggulan efisiensi perkebunan, karena tandan buah segar sawit harus sampai di pabrik dalam waktu 48 jam setelah panen di kebun. Namun ukuran perkebunan yang besar menimbulkan tantangan tersendiri.

Perkebunan swasta yang kami teliti membangun jalan kebun sepanjang 258 kilometer untuk mengangkut buah sawit, tetapi selama musim hujan banyak jalan yang tidak dapat dilalui; selama berbulan-bulan, berton-ton sawit menumpuk busuk sia-sia.

Asap menguar dari fasilitas penggilingan kelapa sawit.
Asap mengepul dari pabrik sawit di Indonesia. Pabrik-pabrik ini menjadi penghambat yang cukup besar dalam produksi minyak sawit. (AP Photo)

Ada juga masalah kemacetan bongkar muat buah di pabrik. Puluhan truk harus antre menunggu, terkadang semalaman. Pabrik hanya beroperasi kurang dari setengah kapasitasnya–masalah umum di Indonesia saat perusahaan membangun pabrik yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan.

Di Thailand, negara di mana petani kecil menanam 80% sawit, dan di beberapa wilayah Sumatera tempat para petani swadaya mapan, warga desa menggunakan jalan lokal dan truk kecil untuk mengangkut panen ke pabrik kecil yang dekat letaknya. Namun, di Kalimantan tempat 86% sawit ditanam oleh perkebunan raksasa, pabrik besar yang tidak efisien umum ada di mana-mana.

Pemilik dan agen

Perkebunan juga mengidap persoalan yang diidentifikasi para ekonom sebagai “masalah prinsipal-agen”. Prinsipal atau pemilik (perusahaan dan pemegang saham) harus bergantung pada agen (manajer dan pekerja) untuk menjalankan rodaproduksi, akan tetapi sering kali kepentingan mereka berbeda.

Korporasi mengejar laba, ditunjukkan pada neraca perusahaan. Sementara manajer dan pekerja berusaha untuk ‘menyakap’ sebagian dari kemakmuran yang beredar di dalam dan di sekitar perkebunan sebelum ia mengalir pergi entah ke mana. Kami melihat masalah ini berlangsung dalam berbagai bentuk pencurian yang meluas.

Sebuah truk bermuatan tandan buah sawit
Pemuat mengunggah sawit, seberat hingga 22 kilogram per tandan ke bak truk untuk diangkut ke pabrik melalui jalan yang tidak dapat ditempuh di musim hujan. (AP Photo/Binsar Bakkara)

Para “agen” ini, dari direktur dan manajer hingga pekerja lapangan, menemukan cara untuk menambah penghasilan pribadi. Manajer menggelembungkan harga kontrak, mandor memotong upah pekerjanya. Buah, bahan bakar, serta peralatan pada menghilang di malam hari. Warga desa juga mencuri dari perkebunan dan terkadang memblokade jalan atau pabrik untuk memprotes ketidakadilan dan pengabaian oleh perusahaan.

Konflik dan pencurian menciptakan inefisiensi. Petani kecil yang menggarap lahan mereka sendiri, dalam penelitian kami, tidak mengidap masalah ini. Meskipun tidak sempurna, tata moral menjadi kontrol kontrol sosial di kalangan petani, dan hal ini tidak hadir dalam hubungan antara perusahaan dan pelaksana kerja di perkebunan.

Jika tidak efisien, mengapa perkebunan bisa bertahan di Indonesia?

Pada dekade 1930-an, pemerintah kolonial melindungi perkebunan karet yang kembang-kempis bersaing dengan petani kecil. Petani sawit saat ini secara tidak langsung tertindas juga oleh kebijakan pemerintah yang berpihak pada perusahaan.


Read more: Tak hanya diperpanjang, moratorium sawit juga harus diperkuat


Di wilayah penelitian kami, lima perusahaan menduduki sebagian besar lahan pertanian, dan hanya menyisakan sedikit lahan bagi petani yang ingin menanam sawit yang menguntungkan ini secara mandiri. Dalam perhitungan mereka, tambahan enam hektar kebun sawit ke kebun campuran mereka akan memungkinkan para petani menghidupi keluarga, memelihara kebun dan berinvestasi dalam pendidikan anak.

Membuat perkebunan perusahaan lebih efisien tidak akan mengatasi ketidakadilan mendasar ini. Kami berharap dengan membongkar mitos efisiensi perkebunan, kami dapat menawarkan peluang yang lebih baik, dan masa depan yang lebih sejahtera bagi para petani Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now