Pertanyaan seputar ilmu sains-teknologi (saintek) dan ilmu sosial-humaniora (soshum) – mulai dari rumpun mana yang lebih superior hingga sepenting apa peneliti menguasai keduanya – merupakan perdebatan yang telah berlangsung lama.
Beberapa waktu lalu, perdebatan ini mencuat kembali di jagad Twitter.
Sebuah utas mengkritisi seruan bagi peneliti teknik untuk belajar ilmu sosial dan hak asasi manusia (HAM). Dalam komentar lanjutan, sang penulis utas mengatakan bahwa tiap rumpun “punya spektrumnya sendiri”.
Tapi, cukupkah jika tiap peneliti fokus mendalami rumpunnya masing-masing saja?
Berbagai penulis The Conversation menyiratkan bahwa pendekatan ini bisa jadi kurang ideal.
Misalnya, pendewaan sains alam, rekayasa, dan teknologi sebagai solusi pamungkas untuk segala masalah – atau sering disebut techno-solutionism – kerap membuat peneliti dan pembuat kebijakan gagal melihat faktor penting lain seperti budaya, kesenjangan, hingga keadilan hukum di tengah masyarakat.
Sebaliknya, seorang peneliti sosial yang abai terhadap teknologi dan kemajuan digital bisa jadi melewatkan berbagai metode yang berpotensi membuat risetnya lebih efektif, akurat, dan tidak bias.
Mengingat hal ini, beberapa akademisi juga mendorong supaya peneliti dibekali dengan wawasan lintas disiplin sejak di bangku pendidikan tinggi.
Dari krisis iklim, banjir, hingga ideologi: krusialnya wawasan lintas disiplin
Steven D. Allison dan Tyrus Miller dari University of California-Irvine di Amerika Serikat (AS) menjelaskan bagaimana upaya penanganan krisis iklim adalah salah satu contoh pentingnya peneliti memiliki wawasan lintas disiplin.
“Banyak orang menganggap perubahan iklim adalah masalah sains, yang hanyalah soal sistem fisika, biologi, dan teknis belaka,” kata mereka.
Bahkan – meski dalam dua dekade ke depan kenaikan iklim bumi bisa melampaui 1,5°C sejak revolusi industri dan menyebabkan bencana dahsyat bagi manusia – laporan terbaru panel PBB untuk perubahan iklim (IPCC) hanya membahas etika iklim, keadilan, sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan tak lebih dari 10 halaman.
“Dalam pandangan kami, menyelesaikan permasalahan iklim dunia memerlukan kemampuan lebih dari sekadar sains,” tambah Allison dan Miller.
Salah satu faktor sosial yang menurut mereka penting dipahami peneliti iklim, misalnya, adalah bagaimana kebudayaan masyarakat memengaruhi laju emisi karbon.
Produk budaya – dari novel hingga televisi – menghasilkan mitologi ‘petro-utopia’ di AS . Sejak abad ke-20, kebebasan mengonsumsi bahan bakar fosil terkait erat dengan identitas khas Amerika seperti kemandirian, kebebasan, mobilitas, hingga impian yang tinggi.
Krisis iklim pun memiliki dampak yang tidak merata terhadap masyarakat. Ada berbagai kelompok tertentu yang jauh lebih parah merasakan efeknya; negara 'Selatan’, perempuan, hingga masyarakat adat.
Sehingga, mengatasi krisis iklim di level masyarakat menjadi lebih ampuh jika peneliti bisa lebih memahami berbagai unsur sosial dari masalah ini.
Sementara, di beberapa negara termasuk Indonesia, agama dan kepercayaan menjadi faktor sosial yang juga penting bagi peneliti iklim untuk memahami motor penggerak aksi hijau di masyarakat.
Dalam analisisnya, Jonathan D. Smith dari University of Leeds di Inggris mengamati banyaknya aksi iklim inisiasi kelompok agama yang berhasil mendorong partisipasi warga – dari ‘masjid hijau’, peran pemuka Kristiani dalam Gerakan Save Aru Islands, hingga penolakan umat Hindu atas reklamasi Teluk Benoa yang mengancam situs suci di Bali.
Riset dari peneliti kebencanaan Erich Wolff dan Diego Ramirez-Loveling di Makassar juga menunjukkan bagaimana memahami kebudayaan lokal di Indonesia – seperti pola kehidupan bertetangga – bisa jadi kunci dalam merancang strategi mitigasi banjir.
Sebaliknya, ada manfaat yang bisa didapat oleh peneliti sosial yang mendalami tentang teknik (engineering), teknologi, dan platform digital.
Roby Muhamad dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa riset sosial kebanyakan menggunakan instrumen kualitatif dan survei ketimbang eksperimen. Hal ini terkadang membawa kelemahan; responden riset mereka bisa saja bias, berbohong, atau punya ingatan yang lemah. Ia mengatakan bahwa teknologi digital bisa menambal beberapa kekurangan ini.
Kawan Roby di Princeton University di AS, yakni sosiolog Matthew Salganik, misalnya, melakukan percobaan untuk meneliti bagaimana produk budaya menjadi populer.
Salganik membuat beberapa ruang virtual dan merancang sistem untuk mengamati dan mencatat pola pendengaran dan pengunduhan musik dari partisipan risetnya, terutama terhadap musisi tidak dikenal. Ia menemukan bahwa alasan lagu-lagu populer menempati tangga teratas bukan karena kualitasnya, tapi karena banyak orang mengunduhnya – partisipannya cenderung mengikuti selera pasar (going with the herd).
Menurut Roby, dengan riset sosial berbasis teknologi digital dan pengolahan data yang canggih, “ilmuwan akan dapat memahami manusia lebih dari mereka memahami diri mereka sendiri”.
“Lagu tampak tidak berbahaya. Namun, percobaan ini bisa saja direplikasi pada ideologi dan sistem kepercayaan selama kita memiliki alat mengukur perilaku yang pasti,” katanya.
Menanamkan semangat lintas disiplin sejak pendidikan tinggi
Berkaca pada pentingnya hal tersebut, Anto Mohsin dari Northwestern University menegaskan pentingnya pendidikan tinggi di Indonesia menerapkan kurikulum lintas disiplin – biasanya populer disebut liberal arts di AS. Liberal arts bisa meliputi ilmu-ilmu humaniora, sosial, sains, dan seni.
Anto mencontohkan bahwa pada saat ia berkuliah program S1 jurusan teknik mekanika di City College of New York (CCNY), ia harus mengambil beberapa mata kuliah seperti ilmu politik, sejarah, sastra, dan seni sebagai syarat kelulusan. Ini juga berlaku sebaliknya bagi mahasiswa dari fakultas ilmu sosial.
Kurikulum liberal arts, menurut sosiolog Siti Kusujiarti yang mengajar di AS, melatih mahasiswa untuk berpikir holistik, sistemik, dan mendasar. Pendidikan ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang di ruang hampa dan berkaitan erat dengan konteks sosial dan kultural.
Bahkan, sekadar menerapkan kurikulum tersebut bisa saja tidak cukup.
Tim dari University of Florida menekankan pentingnya kampus “menghubungkan” antara wawasan teknik (engineering) dengan humaniora dalam kurikulum yang terintegrasi, dan bukan hanya mata kuliah terpisah.
Staf fakultas dari teknik material dan juga liberal arts di kampus mereka, bekerja sama dengan organisasi akademik Materials Research Society (MRS), merancang mata kuliah bernama “Dampak Material Bagi Masyarakat” yang diampu dosen teknik, sejarah, antropologi, sosiologi, hingga sastra. Kelas ini menjelajahi berbagai hal – dari bagaimana ketergantungan terhadap material mengubah pola interaksi sosial hingga bagaimana eksploitasi sumber daya material bisa membawa risiko konflik politik.
Salah satu mahasiswa teknik yang mengikuti mata kuliah ini berpendapat, “Kelas ini semakin membuktikan bahwa kita harus belajar berbagai aspek dari cara kerja dunia, tidak hanya ilmu teknik, untuk menjadi insinyur yang baik.”