Menu Close
Ketidaksetaraan gender
Meskipun pasangan yang lebih muda cenderung membagi pekerjaan rumah tangga secara lebih adil, perempuan tetap memikul sebagian besar tanggung jawab rumah dan keluarga. Shutterstock

Pandemi memperburuk ketidaksetaraan gender dalam pembagian tugas rumah tangga

Peralihan ke sistem kerja dari rumah (remote working atau work from home) karena pandemi COVID-19 menuntut pasangan mengemban karier ganda untuk beradaptasi dengan cara hidup yang baru. Seiring dengan semakin kaburnya tanggung jawab pekerjaan dan rumah tangga, para pasangan berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan kantor mereka dan kegiatan di rumah.

Bagi banyak pasangan heteroseksual, bekerja dari rumah sama sekali berbeda dengan rutinitas mereka sebelum pandemi – lebih mirip dengan kehidupan di tahun 1950-an.

Para peneliti yang mendalami dinamika pola hubungan baru ini menemukan bahwa, meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama aktif bekerja (seperti melakukan pekerjaan kantor), perempuan tetap lebih banyak mengerjakan urusan rumah tangga selama pandemi.

Para ibu yang bekerja mengurangi jam kerja mereka atau bahkan meninggalkan karier mereka demi mengambil peran sebagai ibu rumah tangga, sementara pasangan laki-laki mereka tetap bekerja.

Fenomena ini, di mana perempuan mengambil bagian yang lebih besar dibanding laki-laki dalam urusan domestik karena stereotip gender, dikenal sebagai pembagian kerja berdasarkan gender.

Masih ada pertanyaan mengenai bagaimana dan mengapa sebagian besar pekerjaan rumah tangga terus dibebankan kepada perempuan, dan faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap ketidaksetaraan gender ini.

Pembagian kerja berdasarkan gender

Pembagian kerja berdasarkan gender dapat dijelaskan dengan peran sosial yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan di rumah dan di tempat kerja. Peran sosial dibentuk oleh stereotip gender. Perempuan dianggap sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, sedangkan laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah sehingga merekalah yang lebih cocok bekerja.

Namun, kesadaraan akan kesetaraan gender di tempat kerja dan di rumah telah meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir. Secara khusus, pasangan yang lebih muda dilaporkan memiliki lebih banyak menjalin hubungan yang setara. Sebagai contoh, laki-laki ikut mengambil peran dalam pekerjaan rumah tangga.

Secara keseluruhan, pasangan dengan karier ganda memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap peran gender, dan mereka cenderung membuat keputusan rumah tangga berdasarkan faktor-faktor di luar gender.

Pada awal pandemi, diperkirakan pergeseran ke remote working akan mendorong lebih banyak pembagian pekerjaan rumah tangga yang lebih setara. Namun, penelitian kami baru-baru ini, yang masih dalam proses publikasi, menemukan bahwa kemajuan ini terhambat oleh pandemi. Secara khusus, kami menemukan bahwa pembagian kerja berdasarkan gender di antara pasangan yang berkarier ganda justru memburuk.

ketidaksetaraan gender di dalam rumah tangga
Pembagian kerja berdasarkan gender memburuk selama pandemi. (Shutterstock)

Tujuan dari penelitian kami adalah untuk lebih memahami mengapa banyak pasangan yang kembali membagi urusan rumah tangga dengan tidak setara, terlepas dari adanya kemajuan yang signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Kami mewawancarai karyawan yang menjadi bagian dari kemitraan karier ganda untuk memahami keadaan dan keputusan di balik hasil yang tidak adil ini.

Pandemi meningkatkan ketidaksetaraan gender

Temuan kami menunjukkan bahwa pandemi telah memperburuk pembagian kerja berbasis gender di antara pasangan heteroseksual yang berkarier ganda dan bekerja dari jarak jauh. Pembagian kerja ini dipengaruhi oleh usia pasangan dan keberadaan anak.

Penelitian kami menemukan bahwa pasangan berusia 50 tahun ke atas memiliki pembagian kerja yang lebih tradisional selama pandemi. Dalam kategori ini, perempuan lebih banyak mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan anak meskipun mereka juga bekerja penuh waktu.

Seorang perempuan berusia di atas 50 tahun mengatakan pada kami:

“Saya memasak dan bersih-bersih, juga berbelanja bahan makanan. Saya melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Dia (pasangan) tidak pernah tertarik untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dia bahkan tidak tahu di mana letak barang-barang, seperti tempat menaruh rolling pin (alat penggiling adonan), karena dia tidak pernah menggunakannya di dapur, jadi ketimpangan pembagian tugas ini sangat besar.”

Di sisi lain, pasangan yang berusia di bawah 50 tahun cenderung melakukan pembagian kerja yang lebih setara dalam hal pembagian tugas domestik antara perempuan dan laki-laki. Namun, ketika mereka sudah punya anak kecil, perempuan tetap lebih sering berperan lebih besar dalam pengasuhan.

Bagi pasangan yang tidak memiliki anak, meskipun pembagian kerja lebih setara, perempuan tetap dianggap lebih bertanggung jawab atas tugas-tugas yang lebih berorientasi feminin (seperti memasak dan bersih-bersih), sementara laki-lakinya berpartisipasi dalam tugas-tugas yang lebih berorientasi maskulin (seperti membuang sampah dan membersihkan kebun).

Seorang perempuan berusia di bawah 50 tahun mengatakan kepada kami:

“Nama saya Martha Stewart, dan saya sedang memasak makan malam … dalam hal pembagian kerja … semuanya stereotip, dia (pasangan saya) melakukan pekerjaan di luar rumah, seperti memotong rumput, menyekop, dan saya mengerjakan semua yang ada di dalam rumah.”

Secara umum, pekerjaan rumah tangga masih dibebankan pada perempuan. Mereka mengemban tanggung jawab lebih di rumah dan terhadap keluarganya, tugas-tugas yang berorientasi feminin, dan sekaligus merasakan beban emosional yang lebih besar terhadap pembagian tugas yang tidak setara ini.

ketidaksetaraan gender dalam pembagian kerja rumah tangga
Bagi pasangan yang tidak memiliki anak, perempuan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang lebih berorientasi pada feminin, sementara pasangannya berpartisipasi dalam tugas-tugas yang lebih berorientasi pada laki-laki seperti membuang sampah. (Shutterstock)

Perasaan perempuan tentang kerja rumah tangga

Dari wawancara, kami jadi punya kesempatan untuk lebih memahami perasaan para partisipan terhadap pembagian tugas rumah tangga. Perempuan dalam kelompok usia 50 tahun ke atas merasa tidak puas dan frustrasi dengan pembagian tugas yang tidak setara.

Seorang perempuan berusia di atas 50 tahun mengatakan:

“Saya tidak suka dan tidak senang dengan situasi ini, tetapi ini seperti sebuah pertarungan dan saya tidak memiliki kekuatan untuk bertarung. Jadi, bagaimana pun juga kita harus tetap melakukannya.”

Di sisi lain, perempuan di bawah 50 tahun yang merasakan pembagian kerja yang lebih setara mengungkapkan perasaan campur aduk antara rasa bersalah, syukur dan cemas. Banyak perempuan merasa beruntung memiliki pasangan yang berbagi beban kerja dalam rumah tangga, tetapi ada juga yang merasa bersalah.

Temuan kami menunjukkan bahwa terlepas dari perbedaan usia dan tanggung jawab pengasuhan, perempuan merasa lebih memiliki kewajiban moral terhadap pekerjaan rumah tangga. Para peneliti menyebut hal ini sebagai “melakukan pekerjaan karena gender

Seorang perempuan berusia di bawah 50 tahun mengatakan:

“Saya merasa sangat bersalah, stres, dan cemas karena saya tidak dapat berpartisipasi dalam menyiapkan makanan seperti yang dulu bisa saya lakukan.”

Dampaknya di masa depan

Temuan kami memiliki implikasi penting terhadap tempat kerja dan aspek lainnya. Dengan meningkatnya jumlah pasangan yang memiliki karier ganda, ketidaksetaraan ini berdampak buruk secara signifikan bagi karier laki-laki maupun perempuan.

Para pemberi kerja harus sadar adanya tantangan ini, sehingga mereka bisa mengembangkan kebijakan dan praktik yang dapat mendukung perempuan bekerja yang ingin mengembangkan karier mereka. Ini dapat mencakup advokasi cuti berbayar untuk ibu dan ayah, aturan kerja dari rumah yang fleksibel, atau peningkatan gaji dan tunjangan untuk membantu biaya hidup yang meningkat.

Selain itu, perusahaan juga harus memfasilitasi diskusi kritis tentang ketidaksetaraan gender dan membuka pintu untuk kemajuan seputar peran gender dan ekspektasi gender.

Tantangan-tantangan yang terkait dengan pekerjaan ini merupakan cerminan dari ketidaksetaraan gender yang ada di dalam masyarakat luas. Dengan temuan ini, kami bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang ketidaksetaraan gender dan mendorong individu untuk berkontribusi mengurangi kesenjangan gender. Kami berharap untuk dapat mendorong dan mempromosikan masa depan yang lebih setara dan adil bagi laki-laki dan perempuan.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now