Menu Close
Abu vulkanik membumbung tinggi keluar dari kawah Gunung Kelud dilihat dari Desa Penataran, Nglegok, Blitar, Jawa Timur. (Rudi Mulya/Antara)

Pascaletusan Gunung Kelud, kualitas tanah di kawasan agroforestri lebih cepat membaik dibandingkan lahan pertanian

Keberadaan gunung api aktif memberikan manfaat besar petani di Indonesia, salah satunya adalah tingginya tingkat kesuburan tanah dan produktivitas lahan.

Namun demikian, manfaat tersebut biasanya baru dapat dirasakan setelah lahan pulih dari erupsi. Durasi pemulihan lahan bervariasi, mulai dari hitungan minggu hingga ribuan tahun tergantung dari intensitas gangguan dan tingkat kerentanan lahan.

Intensitas gangguan dan tingkat kerentanan tersebut salah satunya tercermin dari ketebalan abu vulkanik yang mengendap di permukaan tanah. Penelitian kami mengungkap, enam tahun pascaletusan Gunung Kelud tahun 2014, ketebalan abu vulkanik yang tersisa di hutan dan beberapa lahan pertanian di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang berkisar 2-14 cm.

Ketebalan tersebut telah berkurang sekitar 30-90% cm dari ketebalan aslinya yang diperkirakan mencapai 20 cm, sesaat setelah erupsi.

Gambar 1. Deposisi material abu vulkanik (dan serasah) yang melapisi permukaan tanah setelah erupsi Gunung Kelud tahun 2014. (Author Provided)

Lebih lanjut, kami juga membandingkan laju infiltrasi (proses tanah menyerap air) di berbagai sistem penggunaan lahan yang ada pascaerupsi Gunung Kelud. Di antaranya adalah hutan, agroforestri kompleks (tanaman penaung >5 spesies), agroforestri sederhana (2-5 spesies), dan tanaman semusim (hortikultura dan rumput-rumputan) pada kondisi sebelum erupsi, 3 tahun, dan 6 tahun setelah erupsi.

Hasilnya, rata-rata laju infiltrasi delapan kali lebih lambat dibandingkan dengan kondisi sebelum erupsi. Penurunan ini terjadi di seluruh sistem penggunaan lahan yang ada, baik yang berbasis pohon (hutan dan agroforestri) maupun berbasis tanaman semusim. Namun demikian, setelah enam tahun, laju infiltrasi telah sepenuhnya pulih seperti pada kondisi sebelum erupsi.

Bagaimana erupsi mengganggu penyerapan air

Endapan abu vulkanik di permukaan tanah mengganggu efektifitas pori tanah dalam mengalirkan air ke dalam profil tanah (infiltrasi).

Ada dua kemungkinan yang menyebabkan gangguan ini. Pertama, abu vulkanik di permukaan tanah berinteraksi dengan air hujan dan membentuk lapisan keras (seperti semen) sehingga sulit ditembus air.

Akibatnya, ruang pori di permukaan tanah dan lapisan abu vulkanik di atasnya tidak terhubung satu sama lain. Air kemudian tertahan di antara kedua lapisan ini dan tidak dapat meresap jauh ke dalam tanah sehingga menciptakan genangan di permukaan.

Video yang sempat viral di media-media sosial tentang seekor bebek yang sebagian kaki dan ekornya ‘tertanam’ pada endapan abu vulkanik Gunung Semeru yang telah mengeras, sebelum kemudian diselamatkan oleh relawan.

Sedangkan kemungkinan kedua adalah potensi terciptanya lapisan hidrofobik (lapisan anti air) akibat adanya pencampuran abu vulkanik dengan serasah (sisa-sisa tumbuhan) dalam jumlah yang besar. Kemungkinan tersebut telah ditunjukkan dalam penelitian pendahuluan yang sedang kami lakukan saat ini.

Gambar 2: Sifat hidrophobik yang muncul saat kami lakukan pencampuran abu vulkanik dengan bahan organik (serasah). Butiran air terlihat tertahan di permukaan campuran abu vulkanik dan serasah. Dibutuhkan waktu beberapa menit sebelum butiran air tersebut dapat meresap. (Author Provided)

Studi kami menemukan laju infiltrasi di seluruh penggunaan lahan menjadi sangat rendah pada tiga tahun pasca erupsi (Gambar 3). Endapan abu vulkanik seolah-olah menjadi tombol restart bagi alam untuk menyeragamkan kualitas tanah di semua sistem penggunaan lahan.

Namun, enam tahun pascaerupsi, kami menemukan laju infiltrasi menjadi sangat berbeda antar-penggunaan lahan. Hutan memiliki laju infiltrasi tertinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain.

Sementara itu, di antara dua sistem agroforestri yang kami bandingkan, tidak ditemukan perbedaan infiltrasi yang signifikan. Laju infiltrasi di sistem agroforestri ini 2-4 kali lebih cepat dibandingkan dengan lahan tanaman semusim.

Gambar 3. Kecepatan infiltrasi pada berbagai sistem penggunaan lahan. PRE = sebelum erupsi, TSE = tahun setelah erupsi. Huruf yang berbeda mengindikasikan perbedaan yang signifikan antar sistem penggunaan lahan dan periode pengukuran (p ≤ 0.05). (Author Provided)

Perbedaan ini terjadi karena sistem penggunaan lahan berbasis pohon (hutan dan agroforestri) mampu mengakumulasikan cukup bahan organik sehingga dapat menunjang perkembangan para ‘insinyur ekosistem’ (cacing, rayap, semut, dan akar pohon).

Aktivitas mereka dalam mengurai bahan organik serta mendistribusikannya ke dalam profil tanah (disebut juga proses bioturbasi) mampu menciptakan ruang-ruang pori yang stabil sehingga mempercepat pemulihan laju infiltrasi air.

Hal ini ditunjang dengan temuan kami, enam tahun pasca erupsi, sistem penggunaan lahan berbasis pohon memiliki lapisan serasah 8–10 kali lebih tebal dibandingkan dengan tanaman semusim. Ketebalan lapisan serasah yang merupakan indikator tingginya kandungan bahan organik ini berkorelasi positif dengan laju infiltrasi.

Selain ketersediaan bahan organik yang melimpah, stabilitas iklim mikro (temperatur udara dan tanah) dan minimnya gangguan dari aktivitas pengolahan tanah (pencangkulan) pada lahan-lahan berbasis pohon juga menjadikan ekosistem hutan dan agroforestri sangat kondusif untuk perkembangan dan aktivitas organisme tanah.

Dampaknya, tanah-tanah di bawah tutupan lahan vegetasi permanen ini memiliki jumlah, stabilitas, dan konektivitas ruang pori dan kecepatan infiltrasi yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman semusim.

Mengapa laju infiltrasi tanah semestinya dipulihkan?

Penurunan laju infiltrasi berdampak negatif terhadap siklus air suatu lanskap, seperti penurunan ketersediaan air tanah, peningkatan laju limpasan air permukaan, dan erosi.

Penurunan ketersediaan air tanah berpengaruh pada suplai air bersih warga sekitar. Sedangkan laju limpasan air permukaan dan erosi yang meningkat berpotensi menyebabkan banjir bandang.

Tingginya laju erosi tanah dan material vulkanik pasca erupsi Gunung Kelud bahkan mengurangi 50% kapasitas penyimpanan air efektif waduk Wlingi dan Lodoyo yang berada di sekitar pusat letusan. Padahal, kedua fasilitas ini penting karena menjadi sumber air bagi pembangkit listrik tenaga air sekaligus sumber irigasi bagi aktivitas pertanian setempat.

Upaya praktis yang bisa dilakukan untuk mempercepat pemulihan laju infiltrasi di lahan pertanian adalah mencampur abu vulkanik yang melapisi permukaan tanah dengan tanah di bawahnya. Penambahan bahan organik yang berasal dari aplikasi pupuk organik maupun serasah alami juga penting.

Kombinasi pencampuran tanah dan penambahan bahan organik dalam dosis tertentu berpotensi mempercepat proses pembentukan struktur dan pori-pori tanah. Selain itu, upaya ini juga mampu meningkatkan kesuburan tanah secara umum, mengingat abu vulkanik memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Aktivitas ini penting dilakukan terutama di lahan pertanian tanaman semusim yang biasanya memiliki kandungan bahan organik rendah dan aktivitas organisme tanah yang terbatas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now