Menu Close

Pembakaran Al-Quran: bagaimana batasan antara kebebasan berekspresi dan penistaan agama?

Women wearing the abaya hold up copies us the Quran during a protest.
Iraqis raise copies of the Quran during a protest in Baghdad, Iraq, on July 22, 2023, following reports of the burning of the holy book in Copenhagen. AP Photo/Hadi Mizban

Pemerintah Swedia tengah khawatir dengan keamanan nasional, menyusul beberapa insiden pembakaran Al-Quran yang telah memicu demonstrasi dan kemarahan dari negara-negara mayoritas Muslim.

Rentetan insiden pembakaran Al-Quran terjadi setelah tindakan serupa yang dilakukan oleh aktivis sayap kanan Rasmus Paludan pada 21 Januari 2023, di depan kedutaan besar Turki di Stockholm, Swedia.

Pada 25 Agustus, pemerintah Denmark mengatakan akan “mengkriminalisasi” penodaan terhadap objek-objek keagamaan dan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang pembakaran kitab suci

Meskipun kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia (HAM) yang mendasar bagi negara-negara demokrasi liberal, menjadi rumit ketika pendapat yang diekspresikan tersebut berbenturan dengan keyakinan agama dan budaya orang lain dan mengarah ke ujaran kebencian.

Sebagai seorang akademisi studi Eropa, saya tertarik pada bagaimana masyarakat Eropa modern memberi garis batas antara kebebasan berekspresi dan kebutuhan untuk mencegah ujaran kebencian; beberapa negara memperkenalkan UU khusus mengenai ujaran kebencian.

Hukuman mati karena menghina Tuhan dan gereja

Sejak abad pertengahan, karena peran dominan agama Kristen dalam kehidupan politik dan budaya, penistaan terhadap kepercayaan Kristen di negara-negara Eropa diancam hukuman berat.

Sebagai contoh, Hukum Denmark dari tahun 1683 mengatur hukuman potong lidah, kepala atau tangan pelaku. Di Inggris, baik di wilayah Inggris Raya maupun negara-negara persemakmurannya, penistaan diancam hukuman mati. Pada tahun 1636, para pemukim Puritan Inggris di Massachusetts, Amerika Serikat (AS), mengesahkan hukuman mati bagi pelaku penistaan agama.

Selama berabad-abad, hukum penistaan agama dipandang oleh para pemimpin agama dan sipil sebagai pengaman untuk menjaga ketertiban masyarakat dan memperkuat aturan dan pengaruh agama. Hukum-hukum ini menunjukkan seberapa besar kekuatan dan pengaruh yang dimiliki kelompok-kelompok agama saat itu.

Lukisan hitam putih yang menunjukkan seorang pemimpin gereja memegang salib dan kayu yang ditumpuk untuk membakar seorang laki-laki, disaksikan oleh kerumunan orang.
Lukisan yang menunjukkan seorang laki-laki yang dieksekusi karena dianggap sesat pada bulan Juli 1826. (E)manccipa-Ment via Wikimedia Commons, CC BY-SA

Selama Abad Pencerahan, dari tahun 1600-an hingga 1700-an, lembaga-lembaga keagamaan mulai kehilangan kekuasaan. Dengan memisahkan antara gereja dan negara secara ketat, Prancis menjadi negara pertama yang mencabut UU penistaan agama pada tahun 1881.

Tujuh negara Eropa lainnya mencabut UU mereka antara tahun 1900-an dan 2000-an, termasuk Swedia dan, baru-baru ini, Denmark.

Lanskap hukum penistaan agama di Eropa

Beberapa negara di Eropa masih memiliki UU penistaan agama, tetapi pendekatannya sangat bervariasi. Sering kali UU tersebut tidak dapat mencegah tindakan-tindakan masa kini, seperti penghinaan terhadap teks-teks agama.

Di Rusia, para legislatornya memperkenalkan UU federal pada tahun 2013 yang mengkriminalisasi penghinaan terhadap keyakinan agama. Hal ini terjadi setelah beberapa aksi protes yang provokatif oleh Pussy Riot, kelompok seni feminis yang berbasis di Moskow. Salah satu protes tersebut, “doa punk”, di sebuah gereja katedral di Moskow pada 2012 mengkritik hubungan dekat antara Gereja Ortodoks Rusia dan rezim Vladimir Putin.

Sejak 1969, hukum pidana Jerman telah melarang penghinaan terhadap agama. Meskipun Jerman jarang menegakkan hukum ini, pada 2006 seorang aktivis anti-Islam dijatuhi hukuman hukuman penjara satu tahun, yang kemudian ditangguhkan, karena mendistribusikan tisu toilet bertuliskan “Al-Quran”.

Austria dan Swiss memiliki UU yang sangat mirip dengan Jerman. Pada tahun 2011, di Wina, seseorang didenda karena menyebut nabi Muhammad sebagai pedofil.

Kasus ini kemudian dibawa ke Pengadilan HAM Eropa, yang mendukung keputusan pengadilan Wina. Pengadilan mengatakan bahwa orang tersebut tidak mencoba untuk melakukan diskusi yang bermanfaat, melainkan hanya ingin menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak perlu dihormati.

Spanyol juga mengambil sikap yang keras terhadap penghinaan agama. Hukum pidananya mengatur bahwa meremehkan keyakinan, praktik atau upacara keagamaan di depan umum dengan cara yang dapat melukai perasaan para pengikutnya adalah sebuah kejahatan.

Spanyol sebenarnya memperkenalkan UU ini untuk melindungi kepentingan Katolik, tetapi aturan ini juga berlaku untuk agama minoritas.

Italia, negara mayoritas Katolik lainnya, menghukum segala tindakan yang dianggap tidak menghormati agama. Hukum pidananya telah digunakan untuk menghukum tindakan yang menghina agama Kristen. Sebagai contoh, pada 2017, otoritas Italia mendakwa seorang seniman karena menggambarkan Yesus dengan penis yang sedang ereksi.

Perdebatan kontemporer

Pembakaran Al-Quran di Swedia dan Denmark tidak terjadi secara acak. Ini kemungkinan adalah bagian dari agenda yang lebih luas yang menargetkan Muslim dan diinisiasi oleh kelompok-kelompok sayap kanan di seluruh Eropa.

Di banyak negara Eropa, anggota parlemen dan pihak-pihak lain mempertanyakan apakah pembakaran buku ini harus dilihat sebagai bentuk kebebasan berekspresi atau lebih sebagai penghasutan berdasarkan agama.

Beberapa negara memperkenalkan UU baru untuk mencegah ujaran kebencian terhadap komunitas agama. Pada tahun 2006, contohnya, Inggris menghapus UU penistaan agama dan mengesahkan UU Kebencian Ras dan Agama, yang menghukum segala tindakan yang dapat membangkitkan kebencian terhadap agama.

Irlandia, sejak mencabut UU penistaan agama pada tahun 2020, telah mendiskusikan pemberlakuan UU ujaran kebencian, yang akan mengkriminalisasi komunikasi atau perilaku apa pun yang kemungkinan besar dapat memicu kekerasan atau kebencian.

Swedia mengesahkan UU ujaran kebencian pada 1970 yang melindungi ras, etnis, agama, dan minoritas seksual. Otoritas Swedia memakai UU ini ketika menindak insiden pembakaran Al-Quran di depan sebuah masjid pada Juni 2023.

Polisi Swedia berargumen bahwa pembakaran Al-Quran tersebut bukan hanya tentang agama tetapi secara khusus menyasar komunitas Muslim. Ini sudah jelas, menurut kepolisian, karena insiden ini terjadi di depan masjid selama hari raya Idulfitri, berbeda dengan pembakaran lain yang terjadi di luar Istana Kerajaan Swedia, kedutaan besar Turki dan Irak, dan ruang publik lainnya. Karena UU ujaran kebencian yang berlaku saat ini berfokus pada penghasutan terhadap kaum minoritas dan bukan agama, aktivis tersebut menerima denda dari polisi.

Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa pihak menyerukan penerapan yang lebih ketat atas UU ujaran kebencian dan menuntut pelarangan semua aksi pembakaran Al-Quran karena secara implisit menghasut kebencian terhadap muslim.

Tantangan global

Diskusi ini tidak hanya terjadi di Eropa. Di AS, perdebatan mengenai batas-batas kebebasan berpendapat tengah berlangsung. Amandemen Pertama Konstitusi AS mengizinkan kebebasan berpendapat, yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai hak untuk membakar kitab suci.

Terry Jones, misalnya, adalah seorang pendeta Kristen yang kontroversial dari Florida. Dia mengorganisir acara pembakaran Al-Quran di Gainesville pada 2011 dan 2012. Satu-satunya konsekuensi hukum yang ia terima adalah denda sebesar US$271 (Rp 3,3 juta) dari Gainesville Fire Rescue karena tidak mengikuti aturan keselamatan kebakaran.

Setelah Jones mengumumkan bahwa ia akan membakar Al-Quran, Presiden Barack Obama mengatakan bahwa pendeta tersebut melanggar prinsip-prinsip toleransi beragama di AS. Pakar hukum Jack Balkin merekomendasikan penggunaan kebebasan berbicara untuk mempromosikan nilai-nilai pluralis untuk melawan kebencian Jones. Ahli hukum dan agama Jane Wise menyarankan agar AS dapat mencontoh Inggris dalam melarang ujaran kebencian.

Seiring dengan perubahan masyarakat, saya percaya bahwa penting untuk mengenali pada titik apa kebebasan berpendapat berubah menjadi promosi terhadap kebencian. Perlu diskusi-diskusi lebih lanjut untuk mencari tahu letak batasannya, memahami standar yang diterapkan, dan mengungkap potensi biasnya.

Tidak ada solusi yang bisa berlaku sama rata di setiap negara. Maka dari itu, penting untuk selalu berdialog, mengenali kerumitan dan berbagai perspektif seluruh masyarakat.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now