Menu Close
Anak-anak bermain dan menikmati pemandangan senja di depan pengungsian letusan gunung Semeru di SDN Supiturang 4, Pronojiwo, Lumajang, 31 Desember 2021. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto./foc

Pemulihan lahan pertanian terdampak letusan gunung berapi: pelajaran dari erupsi Gunung Kelud 2014

Letusan Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, Desember 2021 lalu tak hanya menimbulkan korban jiwa, kematian hewan ternak, rusaknya rumah dan infrastruktur lainnya, tapi juga mengakibatkan tertimbunnya lahan pertanian oleh material letusan.

Walau endapan material gunung berapi ini dapat menjamin kesuburan tanah untuk masa depan, sebuah tinjauan riset mengungkap waktu pemulihan lahan terdampak endapan material vulkanik bervariasi, mulai dari hitungan beberapa minggu hingga ribuan tahun, tergantung dari intensitas gangguan dan kondisi ekosistem yang mengalami kerusakan.

Sebuah penelitian di Bali menunjukkan bahwa unsur hara yang berasal dari material letusan Gunung Batur yang terakhir kali meletus pada 2000 dapat mencukupi kebutuhan padi sawah sistem subak Bali, tanpa perlu tambahan pupuk anorganik fosfat (P) dan kalium (K).

Namun demikian, efek menguntungkan tersebut baru terlihat setelah lahan dan ekosistem tersebut mengalami proses pemulihan.

Kerusakan dan pemulihan lahan pertanian akibat erupsi

Selain kerusakan tanaman yang terjadi secara langsung saat letusan, gangguan penting setelah erupsi lainnya adalah rendahnya produktivitas lahan akibat tanah yang rusak. Kerusakan tanah terjadi karena berubahnya sifat biofisik dan kimia tanah akibat endapan abu vulkanik dengan ketebalan antara 10 hingga 20 cm seperti yang terjadi di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, setelah letusan Gunung Kelud 2014.

Deposisi abu vulkanik hasil letusan Gunung Kelud tahun 2014 di lahan agroforestri kopi, di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.

Tanah yang sebelumnya subur, tertimbun abu vulkanik yang mudah mengeras dan hidrofobik (menolak air), sehingga mengganggu neraca air dan pertukaran udara antara atmosfer dan tanah. Gangguan berikutnya terkait dengan berubahnya tingkat kemasaman tanah (pH) dan rendahnya kapasitas tukar kation, kandungan karbon organik, dan ketersediaan nitrogen dalam tanah.

Kecepatan pemulihan tanah tergantung dari derajat kerusakan saat terjadi erupsi.

Ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan tanah akibat endapan abu vulkanik: pertama, intensitas gangguan yang ditentukan oleh karakteristik abu vulkanik, seperti ketebalan lapisan, komposisi kimia dan ukuran butiran material endapan. Faktor ini terkait dengan geoposisi (jarak dan lokasi) dari pusat letusan.

Kedua, tingkat kerentanan ekosistem terhadap kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh endapan material vulkanik. Faktor ini dipengaruhi oleh kondisi ekosistem terdampak, seperti struktur vegetasi (bentuk, ketinggian dan kepadatan vegetasi), kondisi iklim mikro, dan karakteristik tanah sebelum adanya tambahan material vulkanik.

Dengan jarak dan lokasi yang sama, hingga batasan intensitas gangguan tertentu, lahan dengan struktur vegetasi berbeda memiliki potensi kerentanan yang berbeda pula.

Pemulihan tanah pasca erupsi dapat terjadi secara alami maupun dengan bantuan manusia. Proses pemulihan secara alami kebanyakan terjadi di wilayah non-pertanian, seperti wilayah lereng bagian atas gunung (dekat pusat erupsi) dan kawasan lindung. Kecepatan pemulihan tanah pada ekosistem ini tergantung pada organisme tanah dan vegetasi pioneer yang mampu tumbuh dalam tanah yang miskin hara nitrogen tersebut.

Sebuah kajian mengungkap bahwa vegetasi pohon Parasponia rigida atau Anggrung hijau merupakan tumbuhan pioneer yang berperan besar dalam pemulihan tanah di lereng atas Gunung Kelud. Tidak seperti pohon lain, parasponia mampu hidup pada endapan abu vulkanik baru yang miskin bahan organik dan nitrogen.

Parasponia dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium, meski bukan kelompok tumbuhan leguminosa (polong-polongan). Jenis pohon ini dapat tumbuh dengan cepat dan menghasilkan banyak biomasa, sehingga berpotensi besar menyumbang bahan organik dan nitrogen dalam tanah. Jenis pohon ini juga berperan penting dalam pembentukan relung regenerasi (regeneration niche) di kawasan endapan abu vulkanik.

Mempercepat pemulihan

Proses pemulihan tanah endapan abu vulkanik melalui campur tangan manusia di lahan pertanian sangat bergantung pada pengelolaan petani. Upaya petani seperti pencampuran abu vulkanik dengan tanah (melalui pencangkulan), penambahan pupuk anorganik nitrogen, dan bahan organik dari kompos ataupun pupuk kandang banyak dilakukan oleh petani.

Namun demikian, upaya ini seringkali terhambat akibat terbatasnya pasokan bahan organik pada periode waktu ini. Petani terpaksa mendatangkan sumber bahan organik dari lokasi lain, yang tentunya menambah biaya pengelolaan lahan.

Beberapa penelitian terkait praktik pengelolaan tanah dengan penambahan bahan pembenah tanah (zeolite) dan berbagai sumber bahan organik lokal, termasuk parasponia telah dilakukan. Praktik ini terbukti mampu memberikan hasil positif terhadap perbaikan kualitas tanah paska endapan abu vulkanik.

Untuk pertanian berbasis pepohonan seperti kebun campuran kopi dan pepohonan lainnya (sistem agroforestri), upaya pemulihan tanah yang dilakukan tidak se-intensif pada lahan berbasis non-pohon (tanaman semusim). Seorang petani agroforestri kopi di Ngantang menuturkan bahwa pemberian sedikit pupuk organik dari kompos dan menyingkirkan abu vulkanik di sekitar tegakan pohon sudah cukup untuk mengembalikan kualitas tanah dan produktivitas pohon.

Petani agroforestri kopi di Ngantang menceritakan praktik-praktik untuk mempercepat proses pemulihan lahan paska letusan Gunung Kelud tahun 2014.

Upaya pengelolaan tanah yang mengkombinasikan hasil kajian ilmiah dengan pengetahuan atau kearifan lokal masyarakat, serta memanfaatkan sumberdaya alam lokal sangat penting untuk mempercepat proses pemulihan lahan terdampak erupsi.

Letusan gunung berapi seringkali membawa bencana, namun dibalik itu semua tingginya potensi kesuburan tanah di dalamnya menjadikan kawasan vulkanik ini tetap menjadi episentrum aktivitas pertanian.

Seperti karakter “Gunungan” (gunung) atau “Kayon” (pohon) dalam pagelaran Wayang Kulit tradisional Jawa, karakter ini selalu memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi pertama menggambarkan kobaran api yang menyala-nyala sebagai episode kelam keberadaan gunung api (Tree of Death). Pada sisi sebaliknya, terdapat penggambaran kehidupan yang kaya akan keragaman biologi sebagai penanda kebaikan yang dibawa setelah letusan terjadi (Tree of Life).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now