Menu Close
Ilustrasi pasukan siber. chainarong06/Shutterstock

Perang siber Pemilu 2024: akankah mengulang polarisasi politik warisan Pemilu 2019?

Kampanye pemilu idealnya menjadi media pertukaran gagasan dan diskusi bermakna mengenai kondisi pemenuhan hak-hak warga negara, permasalahan yang menghambat pemenuhan hak-hak tersebut, serta solusinya.

Sayangnya, sejumlah penelitian terbaru menunjukkan bahwa alih-alih diskusi yang bermakna, disinformasi dan ujaran kebencian berdasarkan etnis dan agama justru menjadi fitur utama kampanye, terutama di media sosial.

Studi mengemukakan bahwa dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, semua kandidat pasangan calon presiden yang mencalonkan diri melakukan kampanye bawah tanah dengan menciptakan hoaks, ujaran kebencian, dan politik identitas, sehingga mengalihkan kampanye dari substansi dan justru memicu polarisasi politik.

Di Indonesia, kampanye bawah tanah di media sosial gencar dilakukan oleh pasukan siber. Kami mendefinisikan pasukan siber sebagai jaringan aktor yang dibayar secara diam-diam dan pada umumnya menggunakan akun media sosial anonim untuk terlibat dalam kampanye terkoordinasi guna memanipulasi opini publik.

Situasi ini patut mendapat perhatian khusus, mengingat media sosial semakin menjadi sumber utama informasi politik.

Saat ini, saya bersama peneliti dari KITLV Leiden dan University of Amsterdam melakukan penelitian tentang peran pasukan siber pada Pemilu 2024 mendatang.

Dari penelitian yang sedang berjalan, temuan awal kami menunjukkan bahwa pasukan siber masih ada dan terus memproduksi propaganda media sosial. Propaganda tersebut memuat disinformasi dan ujaran kebencian berbasis identitas untuk mendukung setiap kubu yang memperjuangkan posisi presiden.

Situasi ini sejalan dengan penelitian saya sebelumnya bersama sekelompok tim peneliti di LP3ES, KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia dan Drone Emprit tentang pasukan siber dan propaganda media sosial pada Pemilu 2019.

Berkaca dari Pemilu 2019

Berdasarkan penelitian kami tentang Pemilu 2019, ada pasukan siber yang bekerja untuk kedua calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang maju saat itu: Prabowo Subianto dan Joko “Jokowi” Widodo.

Berdasarkan wawancara mendalam terhadap puluhan pasukan siber yang merupakan pendukung dua pasangan capres-cawapres yang bersaing dalam Pemilu 2019 dan analisis big data dari jutaan percakapan di media sosial, kami menemukan bahwa mereka tidak segan-segan memanfaatkan berita palsu, ujaran kebencian, dan politik identitas yang saat itu bergejolak di tengah masyarakat. Ini pada akhirnya tidak hanya menjauhkan kampanye dari substansi, namun juga memicu polarisasi politik.

Kami menemukan bahwa pasukan siber menggunakan berbagai stigma berbasis identitas. Misalnya, pasukan siber pendukung Prabowo kerap melabelkan Jokowi sebagai komunis dan menonjolkan kedekatan Jokowi dengan Cina-yang merupakan negara yang menerapkan ideologi komunisme.

Sementara itu, pasukan siber pendukung Jokowi juga menyerang kubu Prabowo dengan memainkan isu mengenai gerak-gerik paslon yang bisa menjadi perbincangan publik. Misalnya mempertanyakan apakah Prabowo menunaikan salat Jumat, membahas momen ketika Sandiaga Uno-cawapres Prabowo-berwudhu menggunakan gayung, dan menciptakan rumor yang menyerang orientasi seksual putra Prabowo. Hal-hal tersebut, menurut pasukan siber, bisa menjadi trending topic dan memicu perdebatan di dunia maya.

Hasil wawancara tersebut mengungkapkan bahwa politik identitas terkait agama digunakan untuk menyerang satu sama lain.

Sebuah riset yang terbit pada 2018 mencatat bahwa propaganda media sosial dapat memengaruhi opini publik jika hal tersebut sejalan dengan isu dan aspirasi sosial yang tidak ditangani secara memadai oleh media arus utama.

Dalam konteks Indonesia, elit politik kerap menggunakan sentimen agama berbasis identitas. Ini setidaknya sudah terjadi dalam tiga pemilu, yakni Pemilu 2014, Pemilihan Gubernur (PIlgub) Jakarta tahun 2017, dan Pemilu 2019, yang mengakibatkan polarisasi politik.

Dari analisis big data, kami menemukan bahwa partai-partai oposisi saat itu memang melancarkan kampanye online melawan Jokowi dengan tagar #2019GantiPresiden sejak April 2018.

Tagar ini menjadi trending di X (dulunya Twitter) dan platform media sosial lainnya sepanjang tahun, didorong oleh pasukan siber lainnya. Kubu Jokowi merespons dengan #2019TetapJokowi. Bulan-bulan berikutnya, Jokowi melawan politik identitas dengan menampilkan citra yang lebih saleh dan memilih Ma’ruf Amin, seorang tokoh Islam terkemuka, sebagai cawapresnya.

Penggunaan tagar #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi hanyalah salah satu wujud polarisasi politik di media sosial yang ditandai dengan perdebatan sengit dan permusuhan yang semakin tajam.

Pelabelan yang memecah belah

Politik identitas saat juga terlihat dari ramainya pelabelan terhadap masing-masing kubu pendukung. Satu kubu melabeli kubu lain sebagai ‘cebong’ (mengacu pada kelompok pendukung Jokowi atau pemerintah) dan ‘kampret’ (pendukung Prabowo). Ada pula istilah ‘kadrun’ (singkatan dari kadal gurun) yang merujuk pada kelompok Islam garis keras anti-Jokowi.

Analisis Drone Emprit (sebuah sistem yang berfungsi untuk memonitor dan menganalisis media sosial dengan platform online berbasis teknologi big data) terhadap percakapan media sosial sejak 1 Juli 2015 hingga 17 April 2022 menunjukkan kata ‘cebong’ digunakan sebanyak 4.677.887 kali, kata ‘kampret’ sebanyak 3.945.217 kali, dan kata ‘kadrun’ sebanyak 4.310.152 kali, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

Total mentions sebutan Cebong, Kampret, BuzzerRp dan Kadrun. Drone Emprit, Author provided (no reuse)

Gambar di atas mengungkapkan munculnya istilah-istilah yang tidak manusiawi seperti “BuzzerRp” (dengan 1 huruf R besar dan 1 huruf kecil r), merujuk pada pasukan digital berbayar, digunakan sebanyak 352.712 kali, dan “BuzzeRp” (dengan 1 huruf R besar), dengan arti yang sama, digunakan 943.900 kali.

Dalam situasi polarisasi politik afektif, politik tidak hanya menjadi perebutan kekuasaan tetapi juga didorong oleh emosi, keinginan untuk memenuhi ego, dan bahkan naluri bertahan hidup. Penggunaan pelabelan-pelabelan yang bersifat menghina menunjukkan betapa ekstremnya pembagian ‘kita’ versus ‘mereka’. Penilaian akan sesuatu didasarkan pada kesetiaan kelompok, bukan pada fakta atau bukti.

Selama lima tahun terakhir, para ilmuwan politik telah memeringatkan tentang dampak negatif polarisasi politik berbasis identitas terhadap pemerintahan demokratis, termasuk terkikisnya institusi dan norma-norma demokrasi, serta memperdalam perpecahan sosial.

Yang akan terjadi pada Pemilu 2024

Temuan sementara kami dari riset tentang Pemilu 2024 menunjukkan terjadinya eksodus pasukan siber, misalnya yang sebelumnya mendukung Jokowi pada Pemilu 2019 kini beralih mendukung capres Ganjar Pranowo, bukan mendukung capres Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Di sisi lain, terjadi pula eksodus pendukung PDIP dan Ganjar yang kini beralih mendukung Prabowo karena Gibran menjadi calon wakil presidennya.

Karena sejarah dukungan mereka dan perpecahan antara kedua kubu, terjadi persaingan sengit antara pendukung. Narasi pengkhianatan dan balas dendam yang dilancarkan para elit semakin mengobarkan permusuhan di kalangan mereka sehingga menimbulkan perang siber yang tiada henti di media sosial.

Sejauh mana persaingan di antara pasukan siber dan perang tagar yang mereka lakukan, termasuk dengan menggunakan narasi berbasis identitas, akan mendorong polarisasi politik pada pemilu 2024 menjadi topik yang masih perlu kita selidiki lebih lanjut dalam waktu dekat.

Namun satu hal yang pasti, sejumlah penelitian membuktikan bahwa kampanye yang mengandung propaganda dan manipulasi opini publik dapat menyebabkan polarisasi politik, menurunkan kualitas wacana publik selama pemilu, menghambat dialog yang rasional dan mencerahkan bahkan bisa berujung pada kerusuhan dan kekerasan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now