Menu Close

RKUHP dan pertanyaan-pertanyaan dari penyair Rendra

Perubahan terhadap kitab hukum pidana membuahkan kontroversi. Shutterstock

Ada keriuhan berkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Meski sudah ditunda oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perdebatan terus berlangsung dari soal teknis perumusan sanksi hingga cakupan materi yang hendak diatur oleh RKUHP ini.

Membaca keriuhan ini, saya teringat pada puisi almarhum penyair W.S. Rendra yang berjudul “Sajak Pertemuan Mahasiswa” yang ada dalam koleksi puisi Potret Pembangunan Dalam Puisi. Dalam puisi itu Rendra menggugat kepada siapa maksud baik itu seharusnya ditujukan.

Pertanyaan “maksud baik itu untuk siapa” terasa semakin kencang bila kita memperhatikan dinamika pembahasan RKUHP. Misalnya dalam Naskah Akademik RKUHP tercantum kata-kata bahwa pembaharuan ini untuk kesejahteraan masyarakat, yang terdengar seperti maksud baik.

Untuk siapakah sebetulnya maksud baik penyusunan RKUHP itu ditujukan? Pertanyaan ini sangat valid diajukan pada penyusun RKUHP, yaitu pemerintah dan DPR.

Saya menyertakan beberapa baris puisi Rendra sebagai pijakan pertanyaan-pertanyaan saya.

Maksud baik untuk siapa?

“Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Memang, RKUHP ini telah disusun sesuai dengan Undang-Undang No. 12/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang salah satunya mewajibkan rancangan undang-udang harus disertai Naskah Akademik sebagai acuan ilmiah pembentukan undang-undang.

Naskah Akademik bertugas memberikan kajian yang mendalam dan komprehensif secara ilmiah dari sebuah RUU sebagaimana Peraturan Presiden No. 87/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 12/2011.

Namun perlu kita cermati apakah penyusun RKUHP sudah memeriksa dasar penggunaan asumsi, teori, dan dalil-dalil dalam RKUHP? Dengan kata lain, apakah penyusun RKUHP menggunakan data ilmiah untuk mendukung argumentasi mereka dalam Naskah Akademik RKUHP ini?

Ilmiahkah naskah akademis RKUHP?

“Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan…”

Salah satu materi yang menjadikan pembahasan RKUHP bergolak di publik adalah soal perzinaan. Pasal 484 ayat 1 hingga ayat 4 RKUHP menyebutkan bahwa lelaki dan perempuan yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah layak diganjar penjara sampai 5 tahun.

Pasal ini tidak mempertimbangkan konsekuensi ketika ia sungguh ditegakkan, salah satunya pada kondisi penjara yang sudah penuh sesak.

Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa populasi 27 dari 33 Kanwil Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia melebihi kapasitas. Data yang sama menunjukkan bahwa Banten, DKI Jakarta, Jambi, Kalimantan Timur, Lampung, NTB, Riau, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara populasi lapasnya melebihi 100%.

Lapas-lapas di Riau dengan kapasitas 3.503 orang dijejali oleh 10.520 orang, sebagaimana 10.977 napi dan tahanan di Kalimantan Timur hidup di lapas-lapas berkapasitas 2.988 orang.

Apabila mengingat dalam RKUHP semua hubungan seksual harus dalam kerangka perkawinan yang sah, maka bagaimana dengan mereka yang perkawinannya hanya tercatat secara agama atau adat istiadat saja? Bukankah artinya mereka melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah? Ingat, bahwa definisi sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan agama dan dicatatkan oleh negara.

Apakah penyusun RKUHP memperhitungkan jumlah perkawinan yang tidak tercatat oleh negara? Tak mudah untuk menemukan data resmi mengenai jumlah perkawinan yang tak tercatat di Indonesia. Namun data dari Unicef serta BPS menunjukkan bahwa ada 340.000 perkawinan Indonesia dengan pengantin perempuan berusia di bawah 18 tahun. Mengapa penyusun RKUHP tak mempertimbangkan hal ini dalam Naskah Akademik?

Pasal mempersulit korban kekerasan seksual

“…ataukah alat penindasan?”

Perumusan di pasal 484 ayat 1 RKUHP menyebutkan bahwa lelaki dan perempuan yang melakukan persetubuhan di luar ikatan pernikahan akan dipidana. Menurut Erasmus Napitupulu, Direktur Indonesia Criminal Justice Reform, hal ini makin mempersulit pembuktian kasus kekerasan seksual.

Selama ini pelaporan serta pembuktian kasus kekerasan seksual sangat sulit dan membutuhkan inisiatif luar biasa dari korban. Dengan adanya perumusan perluasan pasal perzinaan seperti ini, sangat mudah bagi pelaku untuk menyatakan bahwa kejadian bukanlah kekerasan tapi berdasarkan suka sama suka.

Angka kekerasan seksual di Indonesia menurut data Statistik Kriminal BPS dalam lima tahun terakhir adalah 4.850 di tahun 2013, yang terendah, dan tertinggi 5.499 di tahun 2016. Namun mengingat kasus kekerasan seksual merupakan delik aduan, artinya angka sebenarnya bisa jadi lebih besar dari angka yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini juga mempertimbangkan temuan lain BPS bahwa 1 dari perempuan Indonesia berusia 15 sampai 64 tahun mendapat kekerasan fisik atau seksual.

Lagi-lagi, sama sekali tidak hadir data yang mendukung argumentasi berlogika hukum dalam Naskah Akademik RKUHP mengapa persetubuhan di luar pernikahan yang sah layak diganjar hukuman penjara.

Undang-undang dengan sanksi pidana berarti memiliki materi muatan yang berisikan pembatasan serta pengurangan hak asasi warga negara. Kesadaran akan adanya pengurangan hak asasi ini seharusnya membuat penyusun RKUHP memeriksa kondisi faktual masyarakat melalui data resmi yang bisa dicari dengan relatif mudah.

Penyusun RKUHP perlu belajar dari naskah Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang kaya data. Dalam Naskah Akademik UU Disabilitas ini, penyusunnya mengutip data WHO, Rencana Strategis Kementerian Sosial, BPS dan Bappeda. Para penyusun juga mampu menunjuk perbedaan penggunaan data penyandang disabilitas antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).

Atau boleh juga menengok elaborasi data dalam Naskah Akademik Undang-Undang No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang mengutip data BPS, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan, serta mampu menunjuk perbedaan penggunaan data BPS versus KKP.

Perlu diingat bahwa dalam Naskah Akademik RKUHP salah satu identifikasi permasalahannya adalah “permasalahan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan KUHP di Indonesia bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat?”

Patut dibayangkan bagaimana mencoba menjawab permasalahan penerapan hukum pidana tanpa satu pun rujukan data. Pencantuman pertanggungjawaban ilmiah dalam Naskah Akademik seharusnya memberi pengukuhan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 87/2014; bahwa ia memiliki pertanggungjawaban ilmiah tentang latar belakang, tujuan penyusunan, serta sasaran yang ingin diwujudkan.

Tanpa adanya pertanggungjawaban ilmiah berupa data resmi yang merepresentasikan populasi masyarakat Indonesia, kita patut bertanya: Siapakah sebetulnya masyarakat yang bermaksud “dilindungi” dan “disejahterakan” oleh penyusun Naskah Akademik RKUHP?

Absennya data

“Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan. Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samodra.”

Pertanyaan dan semua gugatan akan menemui ruang hampa apabila penyusun RKUHP menolak mengakui bahwa naskah akademik dan RKUHP yang mereka susun memiliki kelemahan mendasar, yaitu absennya data. Seharusnya untuk materi hukum pidana yang memiliki substansi multi sektoral dan membatasi hak asasi manusia ada refleksi kerja yang serius serta koheren atas kondisi masyarakat.

Dalam detik-detik waktu final menuju akhir pembahasan RKUHP, yang ternyata kemudian ditunda, saya teringat kembali pada puisi Rendra. Bait terakhir dari puisi “Pertemuan Mahasiswa” membuat kita teringat pada mereka yang sudah dan akan tercatat dalam statistik sebagai korban RKUHP ini.

“Di bawah matahari ini kita bertanya : Ada yang menangis, ada yang mendera. Ada yang habis, ada yang mengikis. Dan maksud baik kita berdiri di pihak yang mana!”

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now