Menu Close
Petani memanen biji kopi robusta di lereng Bukit Kelir, Desa Kelurahan, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
Inisiatif pembeli biji kopi untuk kesejahteraan petani kopi seringkali berdasarkan mitos. Aji Styawan/Antara Foto

Sembilan mitos tentang pengembangan petani kopi khas

Seiring pesatnya perkembangan sektor kopi khas (spesialti) di pasar dunia dalam beberapa tahun terakhir, hubungan yang lebih erat tercipta antara pelaku industri di hilir (penyangrai/roaster) dan petani kopi.

Dulu, petani menanam, memanen, dan memproses kopi arabika secara tradisional, lalu menjual ke pengumpul. Pengumpul lalu membawa biji kopi ke pabrik pemrosesan sebelum kopi beras (green bean) diekspor atau dijual kepada roaster dalam negeri.

Sekarang, para roaster terdorong untuk langsung mencari biji kopi ke petani, sekaligus berusaha mendorong perbaikan kesejahteraan petani yang sebagian besar adalah keluarga miskin.

Ini menciptakan apa yang kami sebut sebagai relationship coffee.

Relationship coffee adalah bentuk hubungan antara pembeli kopi (roaster) dan petani yang biasanya melibatkan interaksi pribadi, kepercayaan, transparansi harga, dan komitmen terhadap peningkatan mutu dan kesejahteraan petani.

Roaster, dengan dukungan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat, misalnya membangun Unit Pengolahan Hasil (UPH) untuk dikelola petani.

Namun, penelitian kami menemukan bahwa upaya-upaya dalam relationship coffee justru tidak banyak membantu dalam usaha mengentaskan petani dari kemiskinan, meskipun dilakukan dengan itikad dan harapan baik.

Penelitian kami, yang didanai oleh Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dari 2008 hingga 2020, melibatkan enam studi kasus di lokasi sentra produksi kopi spesialti di Sumatra Utara, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.

Melalui studi yang panjang dan interaksi intensif dengan para pemangku kepentingan di industri kopi, kami mengidentifikasi setidaknya sembilan mitos yang jamak dipahami oleh pemerintah, LSM, dan pelaku usaha tentang petani kopi, yang tidak sepenuhnya tepat.


Read more: Biologi kopi sebagai minuman paling populer di dunia


Sembilan mitos tentang perbaikan petani kopi

1. Meningkatkan pendapatan kopi akan selalu meningkatkan taraf hidup petani kopi

Petani kopi tidak serta-merta menggantungkan diri dari pendapatan panen kopi.

Ada lebih dari dua juta petani di Indonesia yang bertanam kopi sebagai bagian dari mata pencaharian, tapi sangat sedikit petani yang mengkhususkan diri membudidayakan kopi.

Kopi tidak selalu menjadi sumber pendapatan penting banyak rumah tangga petani, karena seringkali strategi penghidupan petani dibangun melalui diversifikasi usaha (tani dan non-tani) untuk mengurangi risiko.

Di kasus yang kami temui, peningkatan pendapatan kopi dilakukan melalui peningkatan produksi atau kualitas (yang berimplikasi pada harga).

Untuk itu diperlukan tambahan sumber daya (modal, lahan atau tenaga kerja). Usaha yang lebih besar di sektor kopi menjadi biaya di sumber pendapatan yang lain, sehingga pada akhirnya tidak selalu meningkatkan taraf hidup para petani.

Warga menjemur biji kopi robusta di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Desa Durian Rambun, Muara Siau, Merangin, Jambi
Proses pasca panen khusus butuh biaya lebih. Wahdi Septiawan/Antara Foto

2. Memproduksi kopi berkualitas baik menghasilkan pendapatan lebih tinggi

Ini tidak selalu terjadi karena peningkatan mutu dapat juga meningkatkan biaya dan risiko bagi petani.

Biaya ini termasuk tambahan biaya tenaga kerja pemetikan yang selektif, pengupasan kulit buah kopi secara reguler, pemisahan biji kopi, serta penjemuran dan penyimpanan kopi secara lebih berhati-hati.

Tambahan biaya tersebut seringkali tidak sebanding dengan harga jual kopi.

3. Menghilangkan pengumpul akan menghasilkan harga yang lebih tinggi bagi petani

Pandangan bahwa pengumpul atau tengkulak itu eksploitatif tidak selalu tepat. Mereka juga seringkali berperan sebagai penyedia logistik yang paling efisien dan pengawas mutu.

Peran itu selalu diperlukan baik oleh petani, koperasi petani, atau pembeli hilir.

Saat peran ini digantikan oleh koperasi petani, inefisiensi dan pengelolaan yang buruk seringkali malah menyebabkan biaya operasional tinggi dan berdampak pada harga yang lebih rendah di tingkat petani.

Selain itu, pengumpul juga memiliki peran-peran penting lain, seperti penyedia pinjaman dan keperluan dasar yang mungkin sulit diakses oleh petani.

4. Pengolahan kopi lebih lanjut akan selalu menambah nilai

Secara umum, pengolahan kopi arabika meliputi pengupasan, fermentasi, pencucian, penjemuran, pengupasan kulit tanduk, pembersihan dan penyeragaman ukuran biji (grading), penyangraian, penggilingan dan penyeduhan minuman.

Meskipun semua langkah ini layak dilakukan, petani tidak selalu melihat ini penting karena semua kegiatan ini membutuhkan waktu dan biaya.

Saat kegiatan pengolahan tersebut dilakukan pada skala kecil, biaya yang dikeluarkan seringkali melebihi nilai tambah yang dihasilkan.

5. Masalah utama petani kopi adalah terbatasnya modal

Petani mungkin tidak memiliki akses pada layanan keuangan formal, tetapi seringkali juga petani tidak akan memilih berinvestasi pada kopi bahkan ketika mereka memiliki akses ke sana.

Rumah tangga di pedesaan Indonesia seringkali memandang pertanian sebagai bagian dari diversifikasi mata pencaharian untuk mengurangi risiko ketimbang sebagai “bisnis”.

Bagi petani, terlibat ke dalam jasa keuangan dan berutang justru dapat menjadi kontraproduktif.


Read more: Pikir lagi, cangkir kopi yang dapat digunakan lagi belum tentu lebih baik dari yang sekali pakai


6. Kopi yang ditanam di daerah tertentu memiliki rasa yang superior

Wilayah tertentu memiliki reputasi kuat sebagai penghasil kopi berkualitas tinggi (seperti Toraja di Sulawesi Selatan atau Gayo di Aceh), dan ini sering diasumsikan karena kondisi fisik geografi dan praktik budaya lokal.

Ini telah memicu minat yang kuat dalam Indikasi Geografis (penandaan asal produk) di seluruh dunia kopi, termasuk bagi pemerintah Indonesia.

Kenyataannya, mutu dibentuk melalui kombinasi antara lingkungan fisik geografis dan sistem pengolahan pascapanen - dan faktor kedua justru yang dominan.

7. Koperasi petani adalah cara terbaik untuk mengorganisir petani

Satu tujuan koperasi adalah untuk meningkatkan posisi tawar petani.

Tetapi, harga kopi secara umum dibentuk secara internasional dan ditentukan oleh pasokan dan permintaan dunia.

Koperasi petani lokal hanya akan dapat meningkatkan posisi tawarnya jika beroperasi sebagai serikat petani dan kinerjanya diawasi secara efektif - yang belum terbukti hingga saat ini.

Secara global, rantai nilai semakin didorong oleh pembeli.

Bahkan dalam konteks negara maju dengan tradisi koperasi yang kuat, posisi tawar koperasi petani terhadap pengecer dan perusahaan besar di industri hilir (lead firms) masih lemah.

8. Relationship coffee menghasilkan kopi yang lebih bermutu

Pemilik kafe dan roaster sering beranggapan bahwa mereka akan mendapatkan kopi berkualitas lebih baik dengan membeli kopi langsung dari petani.

Akan tetapi, banyak roaster spesialti adalah bisnis skala kecil dengan omset yang terbatas.

Artinya mereka mungkin tidak mempunyai modal yang cukup untuk merekrut tenaga ahli di bidang rantai pasok.

Menghadapi pembeli bermodal kecil, maka logis bagi petani untuk ‘bernegosiasi’ untuk meminimalkan biaya dengan memberikan mutu yang juga minimal.

9. Hubungan antara petani dan roaster berkelanjutan karena kepentingan bersama

Keberlanjutan relationship coffee bergantung pada komitmen pembeli dan produsen untuk menjaga hubungan.

Masalahnya, tekanan pasar dan tantangan yang tak terduga seperti hambatan produksi, penurunan kualitas, dan peristiwa cuaca buruk dapat mengakibatkan rusaknya hubungan dagang.

Hal ini karena roaster pada akhirnya didorong oleh logika mencari untung dalam persaingan bisnis.


Read more: Mengapa Anda suka kopi dan saya pilih teh, ternyata terkait dengan gen


Membuat hubungan yang berkelanjutan

Studi kami menggambarkan hubungan kompleks antara kopi dan pembangunan pedesaan.

Meskipun sebagian petani memperoleh manfaat dalam hal harga, pengetahuan dan keterampilan, secara umum, dampak pada kehidupan petani dan pembangunan desa sering tidak sesuai dengan klaim roaster dan agen pembangunan.

Bagaimana masa depan relationship coffee? Dapatkah model ini menawarkan sebuah alternatif yang berkelanjutan untuk rantai nilai hulu dan meningkatkan kesejahteraan petani kecil kopi?

Jika roaster serius melakukan pembangunan pedesaan, kami merekomendasikan mereka mulai memikirkan kembali mitos-mitos di atas.

Pesan kunci dari sembilan mitos itu adalah pentingnya mengelola risiko secara efektif dan mendistribusikannya secara adil di antara aktor yang terlibat.

Kerangka teoretis ‘penghidupan’ (livelihood) sering membantu menjelaskan mengapa intervensi pembangunan tertentu bisa sukses sedangkan yang lainnya gagal.

Meski banyak pihak memiliki itikad baik terkait pembangunan pedesaan, asumsi bahwa kopi merupakan jalan terbaik untuk keluar dari kemiskinan tidak selalu sesuai dengan prioritas penghidupan masyarakat lokal.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now