Menu Close
Latar belakang kuning dengan toilet biru di sudut kanan bawah

Tabu toilet: saatnya berhenti merasa jijik mendaur ulang kotoran manusia

Saat bicara soal toilet, kebanyakan dari kita merasa sudah cukup hanya menyiram dan melupakan kotoran. Kita menganggap bahwa tinja manusia tidak lebih dari sekadar limbah. Namun, mengingat perubahan iklim yang sedang terjadi di bumi ini, pola pikir semacam itu justru mengabaikan fakta bahwa limbah organik bisa dan harus didaur ulang ke ekosistem.

Ya, penggunaan toilet memang sudah terbukti efisien, tapi masih sedikit toilet yang menerapkan sistem daur ulang kotoran manusia karena praktik ini dianggap menjijikkan.

Toilet masih menjadi topik yang tabu. Alih-alih memiliki toilet yang mampu menampung dan mengelola kotoran dengan baik, kebanyakan orang malah menggunakan air dalam jumlah besar untuk menyiram kotoran ke jaringan sistem pembuangan. Praktik ini justru mengakibatkan beban berlebih bagi fasilitas pengelolaan limbah – yang juga menghabiskan banyak energi.

Kebanyakan solusi untuk menjawab masalah lingkungan hidup biasanya hanya berkutat seputar inovasi dan teknologi baru. Namun, bagaimana jika jawabannya lebih dari itu? Bagaimana jika yang lebih perlu disorot adalah aspek-aspek seperti budaya, perilaku serta tabu dan prasangka yang diinternalisasi di masyarakat kita?

Tabu terkait masalah pengelolaan kotoran menjadi pokok pembahasan dalam riset kami. Kami pun mencari tahu hal-hal apa saja yang bisa mengubah pikiran masyarakat dalam hal teknologi daur ulang kotoran manusia. Karena semakin banyak orang-orang yang mengupayakan ‘gaya hidup hijau’, diperlukan perubahan cara berpikir dalam mengenali apa itu limbah maupun sesuatu yang berharga bagi kita.

Teknologi toilet ramah lingkungan

Pemerintah kerap berasumsi tentang apa yang akan atau tidak akan diterima oleh masyarakat. Mereka tak benar-benar mencari tahu apakah sebuah teknologi bisa diterima secara luas. Selalu saja ada kelompok masyarakat yang menentang keberadaan pembangkit listrik tenaga angin, misalnya.

Perbedaan pendapat ini kerap dihiraukan oleh para pengembang teknologi, karena kelompok yang berbeda tersebut sebenarnya bisa dirangkul sehingga sebuah teknologi akhirnya bisa diterima seiring berjalannya waktu. Suatu teknologi yang ramah lingkungan juga bisa lebih diterima apabila penduduk setempat lebih terlibat dan menuai keuntungan ekonomi – yang kemudian merangsang rasa kepemilikan bersama.

Toilet yang mendaur ulang kotoran manusia juga dapat mengurangi beban di sistem pembuangan kotoran secara signifikan, yang saat ini terus membebani upaya pengelolaan limbah. Metode ini juga bisa mengubah kotoran manusia menjadi pupuk organik sekaligus biogas yang dapat menggantikan atau mengurangi pemakaian bahan bakar kayu tradisional sebagai penyebab utama polusi udara dalam ruangan dan penyakit-penyakit terkait.

Teknologi biogas domestik juga memungkinkan terhubungnya toilet ke biodigester, atau unit kedap udara di mana bakteri memecah limbah organik menjadi biogas bersih terbarukan. Teknologi ini umum ditemui di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah namun berpotensi diimplementasikan lebih luas di seluruh dunia.

Menanggulangi resistensi

Pemasangan toilet yang terhubung ke biodigester atau toilet-linked anaerobic digesters (TLAD) masih kontroversial. Namun, menariknya, masih sedikit informasi yang tersedia tentang cara-cara menghilangkan ketakutan, keraguan atau kejijikan masyarakat umum terhadap teknologi ini.

Di Nepal, misalnya, di tengah tabu yang menentang penggunaan kotoran manusia sebagai produk sehari-hari, ternyata ada cukup banyak TLAD di negara itu.

Berangkat dari keingintahuan kami tentang bagaimana penduduk setempat bisa menerima teknologi TLAD, kami melakukan wawancara mendalam dengan para kepala rumah tangga di daerah pedesaan. Kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar keengganan kultural dan religius terhadap kemurnian praktik dan polusi kotoran. Kami pun mencari tahu bagaimana keenganan tersebut dinegosiasikan ulang sehingga teknologi TLAD menjadi lazim digunakan.

Temuan paling penting kami adalah, memang butuh waktu sebelum norma sosial dan resistensi yang muncul di awal bisa berubah. Dalam beberapa kasus, beberapa rumah baru memasang TLAD setelah generasi yang lebih tua (dan lebih resisten terhadap teknologi) di dalamnya meninggal dunia.

Pemimpin komunitas – atau yang kami lebih suka sebut sebagai “pengambil risiko” – juga berperan penting dalam menggerakkan penggunaan toilet biodigester. Merekalah yang berani memasang TLAD di saat kebanyakan orang menentang praktik ini.

Beberapa anggota masyarakat rupanya khawatir TLAD akan membuat rumah mereka menjadi bau atau kotor, namun setelah mereka melihat sendiri cara kerja TLAD, mereka pun berubah pikiran.

Keuntungan seperti memiliki bahan bakar memasak gratis (yang berarti meniadakan keperluan mencari kayu bakar), bebas asap di dalam rumah, desain toilet yang lebih baik, dan berkurangnya masalah-masalah pembuangan sampah niscaya akan meyakinkan masyarakat untuk mengadopsi teknologi ini. Selain itu, dengan melihat bagaimana tetangga sekitar menggunakan TLAD dan mempelajari sendiri cara kerja TLAD menjadi faktor yang mendorong para penduduk desa ini menggunakan alat tersebut di rumah mereka masing-masing.

Grafik yang menunjukkan bagaimana bahan bakar dan pupuk dibuat dari produk limbah manusia, hewan dan nabati.
Bagaimana biogas dan pupuk dibuat di sebuah rumah di Nepal menggunakan biodigester. Natalie Boyd/University of Stirling, Author provided

Merangkul masa depan

Penemuan kami secara gamblang menemukan bahwa para pembuat kebijakan tidak bisa mendasarkan keputusan mereka pada persepsi awal masyarakat akan toilet daur ulang. Mereka justru perlu merebut perhatian masyarakat dengan langsung menunjukkan teknologi ini dan menjelaskan manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Pemerintah juga harus memberikan waktu hingga masyarakat terbiasa dan melewati fase ketidaknyamanan mereka terhadap sebuah cara baru yang bisa jadi dianggap menantang.

Berkaca dari komunitas yang kami pelajari di Nepal, kebanyakan orang mulai merangkul TLAD ketika teknologi ini mulai lazim digunakan. Di Singapura – di mana air minum dari sistem pembuangan air yang didaur ulang sudah dianggap lazim– para pihak berwenang justru memobilisasi kampanye media positif yang mengutarakan nilai sains dan lingkungan dari air minum ini. Otoritas juga menormalisasi konsumsi air daur ulang. Para pembuat kebijakan juga perlu mengetahui kekuatan norma sosial serta nilai positif dan negatif yang dipegang oleh media dalam menginformasikan suatu hal kepada masyarakat umum.

Studi ini juga mengajari kita bahwa manusia bisa begitu enggan merangkul konsep daur ulang. Di Inggris, sistem pembuangan air dan sisa makanan boleh saja diubah menjadi biogas dan pupuk pertanian menggunakan biodigester. Namun, unit biogas skala kecil tetap saja belum lazim digunakan. Karena itu, kita perlu melewati fase enggan atau jijik yang biasanya muncul di awal demi memberikan ruang bagi suatu perubahan yang lebih baik.

Perlu diingat pula bahwa perubahan bisa terjadi ketika kita memiliki informasi yang tepat, melihat manfaat yang langsung terbukti serta berkontribusi nyata terhadap perbaikan lingkungan di sekitar kita.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now