Menu Close
(Justin Henry/Flickr)

Tak hanya perburuan, aktivitas pelayaran juga mengancam populasi hiu paus

Sebagai negara dengan wilayah yang menjadi pertemuan antara Samudera Hindia dan Pasifik, Indonesia merupakan wilayah yang ramai dilintasi kapal laut yang hilir mudik dari kawasan Asia ke Eropa maupun sebaliknya. Perairan Indonesia juga turut dilalui kapal-kapal penangkap ikan, dari skala kecil hingga besar.

Kondisi tersebut menimbulkan sejumlah risiko terhadap kelangsungan keanekaragaman hayati yang ada di perairan tanah air, salah satunya bagi aktivitas hiu paus (Rhyncodon Typus) yang rawan tertabrak kapal. Ini terjadi dalam kasus KM Labobar yang menabrak Hiu Paus di Perairan Jayapura tahun 2016.

Risiko pelayaran bagi kehidupan hiu paus semestinya menjadi persoalan serius yang perlu mendapat perhatian. Sebab, saat ini hiu paus masuk dalam daftar hewan yang terancam punah versi Uni Internasional Konservasi Alam atau International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen-KP) No 18 Tahun 2013 turut menyatakan bahwa hiu paus merupakan hewan yang dilindungi di Indonesia.

Selain tertabrak kapal, faktor non-alamiah lainnya yang mengakibatkan populasi hiu paus menyusut adalah penangkapan secara ilegal, ataupun akibat terjerat jaring nelayan. Ancaman tersebut memperburuk kelangsungan hiu paus yang memiliki perilaku hidup menyendiri, dan tidak terlalu aktif berkembang biak.

Pemerintah Indonesia semestinya bertindak cepat meredam risiko kepunahan hiu paus. Apalagi, lalu lintas pelayaran setiap tahunnya meningkat drastis karena 80% suplai komoditas dipasok melalui sarana transportasi laut.

Berdasarkan telaah pada sejumlah regulasi, saya mendapati kebijakan perlindungan hiu paus dari aktivitas pelayaran masih belum memadai.

Regulasi perlindungan yang belum memadai

Hiu paus yang mati terjerat jaring nelayan di Pesisir Selatan, Sumatra Barat. (Antara)

Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) dalam Pasal 64 menyebutkan kewajiban negara pantai untuk melakukan kegiatan konservasi kelautan. Pasal ini sebenarnya ditujukan untuk area Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), tapi bisa menjangkau pada wilayah laut teritorial dan kepulauan. Hal ini diperkuat dalam Pasal 192 dan Pasal 237 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa negara pantai memiliki kewajiban untuk melindungi lingkungan lautnya dari kerusakan.

Pemerintah Indonesia sebenarnya mengadopsi ketentuan tersebut dalam Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Suberdaya Ikan. Beleid ini menitikberatkan komitmen pemerintah untuk melindungi terhadap biota laut yang terancam punah melalui konservasi ikan dan konservasi ekosistem.

Namun, perlindungan yang tertera dalam aturan tersebut lebih fokus pada pencegahan dan penanggulangan tindakan eksploitasi komersial. Sejauh ini, belum ada aturan spesifik di Indonesia untuk melindungi hiu paus yang terancam oleh aktivitas pelayaran.


Read more: Nasib Indonesia: titik panas ancaman populasi satwa, tapi kekurangan data untuk mengukurnya


Masalah lainnya terkait dengan pengaturan perlindungan wilayah konservasi laut atau perairan yang ditetapkan dengan sistem zonasi. Ini diatur dalam Pasal 1 ayat 8 PP No 60 Tahun 2007. Kemudian pada Pasal 5 dan 6 berbicara terkait perlindungan habitat dan populasi ikan, khususnya hiu paus.

Nah, pengaturan dalam tiga pasal di atas hanya parsial pada suatu zonasi, yakni terhadap populasi hiu paus yang menetap pada suatu wilayah tertentu. Dua di antaranya adalah di Kwatisore dan Teluk Cendrawasih (perairan Manokwari) di Provinsi Papua Barat. Tak ada satupun aturan yang mengatur perlindungan Hiu Paus dalam rute migrasinya secara jelas.

Kekosongan lainnya juga terjadi dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Ketentuan ini tidak merinci jalur pelayaran yang bersinggungan dengan rute migrasi hewan laut. Pasal 194 ayat 2 aturan tersebut hanya menjadikan konservasi sumber daya alam dan lingkungan sebagai salah satu pertimbangan dalam penentuan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) – alur lintasan kapal di perairan nasional. Selain itu, tidak ada rumusan yang jelas terkait bagaimana pendekatan konservasi kelautan dalam aktivitas navigasi pelayaran, terutama di wilayah-wilayah yang menjadi habitat spesies dilindungi.

Kekosongan hukum tersebut amat disayangkan. Sebab, sejak 1979, negara-negara melalui Konvensi Bonn tentang Spesies Satwa Liar yang Bermigrasi sudah mencermati pentingnya perlindungan rute hewan migrasi yang bersinggungan dengan jalur-jalur pelayaran.

Hiu paus yang mendadak “hilang”

Indonesia memerlukan regulasi pelayaran yang betul-betul memperhatikan pola pergerakan dan perilaku hiu paus.

Spesies ini setidaknya memiliki tiga pola pergerakan yaitu; pola “rumahan” yang bertahan di wilayah yang sama, pola “pesisir” yang bergerak menyusuri pesisir, dan pola “internasional” yang berpindah dari lokasi tertentu menuju laut lepas. Spesies ini juga menghabiskan sebagian waktunya di permukaan laut dan sekitar permukaan laut.

Pola dan perilaku tersebut menjadikan hiu paus rentan tertabrak kapal. Kerawanan ini disahihkan dalam penelitian gabungan 50 institusi riset yang melacak pergerakan sekitar 350 hiu paus.

Hiu paus yang tertabrak KM Labobar pada 2016.

Melalui data pergerakan, riset tersebut mengidentifikasi titik-titik panas atau Collision Risk Index (CRI), di antaranya:

1) Zona Atlantik Utara meliputi perairan Kuba, Haiti, dan Teluk Meksiko; 2) Zona Samudera Hindia meliputi perairan Australia Barat, dan Indonesia 3) Zona Pasifik meliputi Teluk Baja Meksiko, California, dan perairan bagian utara pulau Papua.


Read more: Pentingnya pengaturan perikanan hiu di Indonesia. Ini saran akademisi


Semasa proses pelacakan, ternyata ada beberapa wilayah di mana Hiu Paus yang tiba-tiba “menghilang” atau tidak memancarkan sinyal di radar. Di Indonesia, peristiwa ini terjadi di daerah perairan Papua Barat seperti di wilayah Teluk Cendrawasih, Papua Barat; perairan sebelah timur Kepulauan Tanimbar, dan Kepulauan Seram, Maluku.

Sementara, pada saat yang bersamaan terdapat kapal yang sedang melintasi area tersebut.

Berbasiskan kejadian di atas, penelitian ini mengindikasikan aktivitas kapal sebagai faktor utama turunnya populasi hiu paus.

Saatnya memperbaiki regulasi

Sebagai negara peserta UNCLOS, Indonesia semestinya segera memberikan perhatian lebih terhadap keberadaan hiu paus untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut.

Perhatian tersebut dapat berupa dua bentuk, yaitu: perhatian secara saintifik, masih kurangnya literasi guna memahami siklus hidup Hiu Paus harus segera diatasi dengan mendorong penelitian yang lebih masif dan komprehensif.

Selanjutnya terkait regulasi dan kebijakan: dalam berbagai peraturan yang berkenaan dengan perlindungan Hiu Paus atau hewan laut yang dilindungi di Indonesia, lalu lintas pelayaran yang tumpang tindih dengan rute migrasi Hiu Paus belum menjadi perhatian utama. Karena itulah, pemerintah perlu memperbaiki UU Pelayaran dan PP 60 Tahun 2007 untuk memperkuat perlindungan terhadap Hiu Paus dan hewan perairan lainnya yang bersinggungan dengan jalur pelayaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now