Menu Close

Wajib vaksin: hak individu atau kesehatan publik?

Personil polisi mengawal vaksin COVID-19 untuk distribusi di Banten.
Asep Fathulrahman/Antara Foto

Pendekatan pemerintah melalui jalur perundangan-undangan dengan menerapkan wajib vaksin menuai kontroversi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun turut mendukung penjatuhan sanksi untuk memberi efek jera bagi warga yang menolak vaksinasi.

Namun demikian, upaya untuk mencapai target cakupan vaksinasi dengan mengedepankan sanksi administratif maupun pidana belum tentu berhasil. Justru, ini dapat mengundang reaksi balik (backlash) dan memberi bahan bakar bagi kelompok anti-vaksin.

Alih-alih mengancam dengan hukuman, pemerintah perlu mengutamakan pendekatan persuasif dengan menegaskan makna program vaksinasi nasional sebagai suatu upaya gotong-royong untuk mengendalikan wabah.

Kontroversi wajib vaksin

Walau sudah ada persetujuan penggunaan darurat vaksin produksi Sinovac dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), pro-kontra mengenai wajib vaksin tetap terjadi.

Adakah landasan untuk menerapkan wajib vaksinasi dengan ancaman hukuman dalam suatu sistem masyarakat yang demokratis? Ada beberapa.

Pertama adalah harm principle yang diutarakan oleh John Stuart Mill, filsuf Inggris yang hidup pada abad ke-19. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibatasi jika merugikan banyak orang.

Kedua adalah upaya menghindari efek fenomena sosial free rider (penumpang gratis) dan tragedy of the commons (tragedi kepentingan umum).

Efek free rider terjadi apabila seseorang tidak merasa perlu divaksin karena berasumsi dirinya akan terlindungi oleh imunitas orang lain yang telah divaksin.

Sedangkan tragedy of the commons merujuk pada kemungkinan seseorang mendahulukan kepentingan pribadinya dan mengabaikan kepentingan umum. Ini dapat berujung pada terjadi kekurangan pasokan vaksin bagi yang membutuhkan yang pada akhirnya dapat merugikan publik secara keseluruhan apabila herd immunity gagal dicapai.

Upaya vaksinasi yang bersifat sukarela sering kali dikhawatirkan gagal untuk mencapai imunitas kelompok karena adanya permasalahan free rider dan tragedy of the commons ini.

Solusi yang kemudian muncul umumnya dalam bentuk regulasi atau peraturan-peraturan yang mewajibkan vaksinasi.

Dengan mempertimbangkan harm principle, wajib vaksinasi layak dilakukan karena dapat timbul krisis apabila target cakupan vaksinasi gagal dicapai. Sedangkan, permasalahan free rider dan tragedy of the commons berkaitan dengan keadilan distribusi manfaat dan beban vaksinasi yang seharusnya merata lintas golongan atau elemen masyarakat.

Namun, dari perspektif epidemiologi maupun hak asasi manusia (HAM) mewajibkan vaksinasi dengan ancaman sanksi dianggap sebagai pendekatan yang kurang tepat dalam upaya pengendalian wabah ini.

Selain berpotensi melanggar hak individu, pendekatan yang sifatnya koersif belum tentu berhasil. Pendekatan ini berisiko menyulut reaksi balik yang dapat mengakibatkan semakin banyaknya penolakan terhadap program vaksinasi yang sedang bergulir.

Sebagai contoh, pendekatan pemerintah Inggris saat wabah cacar (smallpox) pada Abad ke-19 dengan mengenakan hukuman bagi warga yang menolak vaksin malah memicu gencarnya gerakan anti-vaksin.

Nadja Durbach, ahli sejarah Inggris modern dari The University of Utah, Amerika Serikat (AS), mencatat bahwa meski pemerintah Inggris meyakini wajib vaksin sebagai upaya rasional untuk melindungi rakyat, sebagian warga justru menganggap kewajiban itu sebagai pelanggaran terhadap integritas tubuh (body integrity).

Pemerintah Inggris kemudian menambahkan klausul yang memungkinkan orangtua untuk menolak vaksinasi jika mereka beranggapan bahwa vaksinasi tersebut dapat merugikan bagi anak mereka.

Hal ini berdampak buruk pada cakupan vaksinasi cacar: hanya 56% dari bayi baru lahir yang menerima vaksinasi setelah berlakunya kebijakan itu.

Selain menyoroti interaksi antara hak individu dan negara terkait kesehatan masyarakat, Durbach juga memaparkan bagaimana pendekatan koersif pemerintah dapat menimbulkan reaksi balik yang memicu penolakan warga terhadap upaya vaksinasi.


Read more: Apakah vaksinasi 180 juta penduduk Indonesia cukup untuk membuat masyarakat kebal COVID-19?


Penerimaan vaksin di Indonesia

Menurut survei pemerintah Indonesia pada bulan November lalu terhadap lebih dari 115.000 responden di 34 provinsi, hanya sekitar 8% responden yang mengatakan akan menolak vaksinasi.

Sekitar 27% responden masih ragu (menjawab ‘tidak tahu’), dan sekitar 65% sisanya menyatakan akan menerima vaksin.

Responden yang menolak vaksin menyebut alasan keamanan (30%); kemanjuran (22%); keraguan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran akan efek samping (12%); dan status halal vaksin (8%).

Keraguan terhadap vaksin adalah perkara kompleks terkait faktor-faktor struktural yang layak dikaji secara serius.

Belajar pada pengalaman Inggris, mengecilkan penolakan dan keraguan terhadap upaya wajib vaksinasi sebagai kedegilan publik atau sekadar kecenderungan sebagian orang untuk percaya pada teori-teori konspirasi dapat menimbulkan reaksi balik yang memicu penolakan warga terhadap upaya vaksinasi.

Pedagang antre melakukan pendaftaran penyuntikan vaksin COVID-19 di Pasar Pagi, Tegal, Jawa Tengah. Oky Lukmansyah/Antara Foto

Vaksinasi sebagai tanggung jawab bersama

Lalu, adakah pendekatan lain untuk meningkatkan capaian target cakupan vaksinasi tanpa ancaman hukuman?

Selain melalui upaya komunikasi untuk menjawab keraguan warga terhadap vaksin dengan informasi yang koheren, berdasarkan data, dan mudah diakses, pemerintah juga perlu melakukan pendekatan melalui upaya framing (pembingkaian).

Dalam sosiologi, framing, secara singkat, adalah suatu proses untuk memahami dan mengkomunikasikan suatu keadaan atau masalah.

Pendekatan ini berdasar pada asumsi adanya pertentangan dan keberagaman makna dalam suatu realitas.

Sebagian besar isu-isu kontroversial dalam politik memiliki bingkai-bingkai yang saling bertentangan. Misalnya, masing-masing warga negara dapat memahami program vaksinasi nasional dengan cara pandang dan interpretasi yang berbeda-beda terkait dengan nilai-nilai dan pertimbangan mereka masing-masing.

Pemerintah dapat mengedepankan makna upaya vaksinasi nasional sebagai suatu tanggung jawab bersama warga negara untuk mengendalikan sebaran dan dampak negatif COVID-19. Sehingga pemerintah dapat mengajak warga yang awalnya menolak atau ragu-ragu untuk kemudian bersedia menerima vaksin.

Memperkenalkan berbagai macam bingkai mengenai vaksinasi (misalnya, hak untuk memilih, hak atas tubuh, masalah kesehatan masyarakat, kewajiban negara untuk menjamin kesehatan warganya) dalam komunikasi mengenai kebijakan publik akan mendorong warga untuk membuat pertimbangan dan pilihan.

Masing-masing warga dapat memutuskan apakah ia bersedia menerima vaksinasi secara sukarela tanpa adanya upaya koersif dengan ancaman hukuman.

Memahami keraguan warga (faktor keamanan, manfaat, status halal, dll) terhadap vaksin dapat membantu proses pembingkaian ini. Ini akan memastikan bahwa dalam komunikasi publik pemerintah menggunakan pemaknaan yang tidak bertabrakan dengan nilai-nilai yang dipegang kebanyakan warga dalam pengambilan keputusan.


Read more: Mengapa vaksinasi COVID-19 swasta di Indonesia perlu kita dukung?


Lebih dari urusan individu

Kemampuan untuk menentukan pilihan —- bebas dari paksaan —- adalah salah satu ciri masyarakat demokratis dan tegaknya kebebasan publik.

Namun, memaknai vaksinasi sebagai pilihan personal dan bukan sebagai kewajiban komunitas cenderung mengabaikan isu utama bahwa upaya pengendalian penyakit menular (termasuk COVID-19) hanya bisa berhasil melalui partisipasi publik dalam upaya bersama.

Penggunaan frame yang tepat untuk memaknai upaya vaksinasi nasional COVID-19 dapat dilakukan sebagai upaya strategis yang bersifat persuasif untuk meningkatkan capaian target vaksinasi.

Ini terutama penting pada tingkatan lokal atau komunitas, misalnya melalui tokoh masyarakat atau pemuka agama setempat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now