Menu Close
(Flickr)

Warga vs Hotel: bagaimana pendekatan HAM dapat atasi masalah pengelolaan air warga di sekitar hotel

Pertumbuhan jumlah hotel dan wisatawan di Indonesia meningkatkan permintaan air bersih. Namun, pada saat yang sama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) belum mampu memenuhi kebutuhan air masyarakat dan hotel yang terus meningkat.

Di Yogyakarta, misalnya, penggunaan air tanah oleh hotel/kondotel memancing protes warga sekitar. Masyarakat menuding ratusan hotel di kota pelajar tersebut sebagai biang keladi air sumur warga yang mengering. Warga pun berkoalisi untuk menuntut keadilan tata kelola air.

Protes warga sebenarnya dapat diatasi apabila pihak hotel mengedepankan pendekatan hak asasi manusia (HAM) dalam sistem pengelolaan air mereka. Upaya ini memang tidak mudah karena terdapat sejumlah tantangan, tapi tetap dapat dilakukan.

Definisi PBB tentang hak asasi manusia atas air atau human rights to water (HRtW) adalah hak untuk memiliki akses ke air yang cukup, aman, dapat diakses, dan terjangkau.

Riset kami di Yogyakarta menganalisis tantangan-tantangan tersebut serta merekomendasikan apa yang perlu ditempuh pihak hotel guna menjalankan bisnis secara berkelanjutan.

Tantangan-tantangan

Salah satu dari panduan yang menerapkan praktif inovatif pengelolaan air berbasiskan HAM misalnya Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs). Prinsip ini memuat standar pencegahan dan penanggulangan risiko dampak buruk kegiatan bisnis, termasuk hotel, terhadap HAM.

Di bawah pedoman UNGPs, hotel bertanggung jawab untuk menghormati hak tersebut terlepas dari ukuran, sektor, konteks operasional, kepemilikan dan struktur, atau wilayah geografis.

Warga melintas didekat poster yang bertuliskan (Andreas Fitri Atmoko/Antara)

Penelitian kami terhadap sejumlah hotel di Yogyakarta mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh para pelaku bisnis perhotelan untuk menghormati hak manusia atas air, dan mengapa hotel tidak secara sukarela mengadopsi UNGPs karena alasan berikut:

  • Kurangnya kesadaran. Meski memiliki pemahaman dasar tentang kelestarian lingkungan, adopsi sukarela dari standar tata pamong air dan penghormatan terhadap hak warga atas air masih terbatas. Mayoritas teknisi hotel juga tidak menyadari ketersediaan panduan tata pamong air yang menjadi panduan standar global.

  • Sangat sedikit hotel yang melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) karena celah regulasi. Upaya perbaikan regulasi yang menuntut akuntabilitas penuh hotel dalam menghormati hak warga atas air masih menjadi tantangan. Tanpa analisis komprehensif, berbagai dampak akibat pengembangan hotel-hotel berbintang maupun tidak berbintang tidak dapat diidentifikasi dan dikelola.

  • Tantangan yang dihadapi pelaku bisnis perhotelan untuk menghormati hak atas air warga dimulai sejak awal pengembangan hotel. Pengembang dan konsultan hotel belum mengikuti praktik terbaik dan pengadopsian penilaian dampak lingkungan dan hak atas air, yang dapat diterapkan dalam pengembangan hotel dan penyusunan desain. Selain itu, prioritas terhadap keuntungan dan citra publik hotel di atas tanggung jawab lingkungan sukarela membuat pelaku bisnis perhotelan tak menghiraukan perkembangan terkini seputar inisiatif ketatapamongan air.

Hotel dan Hak atas Air

UNGPs menekankan adanya proses uji tuntas, terutama di lokasi di mana air langka atau berkualitas buruk, atau di mana aktivitas bisnis mempengaruhi pasokan air bagi masyarakat rentan atau terpinggirkan. Ini berarti hotel harus mempertimbangkan dampak operasinya terhadap pengguna air lainnya, termasuk hak warga atas air.

Lebih jauh, UNGPs mendorong partisipasi masyarakat dan keterlibatan yang berkelanjutan dengan para pemangku kepentingan serta transparansi data. Transparansi data air digambarkan sebagai tindakan melaporkan informasi terkini tentang pengelolaan air hotel, termasuk total konsumsi air dan konsumsi per kamar.

UNGPs juga mensyaratkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai elemen krusial dalam proses pengambilan keputusan terkait penggunaan air hotel.


Read more: Riset tunjukkan wisata mewah di Indonesia gagal berdayakan penduduk lokal selama pandemi


Apa yang disyaratkan oleh UNGPs sebenarnya selaras dengan standar tata pamong air (water stewardship) dalam pengelolaan hotel yang berkelanjutan. Standar tersebut berpedoman bahwa air adalah sumber kehidupan dan bagian dari ekosistem. Karena itu, sumber daya air harus dirawat dan dikelola bersama-sama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat di lingkungan hotel.

Film dokumenter “Belakang Hotel” karya Watchdoc Documentary yang mengisahkan persoalan penyedotan air oleh hotel di Yogyakarta yang berdampak pada warga.

Prioritas Perubahan

Seiring dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan pariwisata, regulasi pada tingkat provinsi serta regulasi internal pihak industri sangat penting untuk memastikan pertumbuhan pariwisata yang berkelanjutan. Peraturan tersebut juga berpeluang meredam dampak lingkungan dan sosial yang timbul akibat aktivitas hotel.

Aturan ini harus memuat penilaian terhadap kondisi yang ada serta dampak penggunaan air sebagai syarat penerbitan izin bangunan hotel. Penggunaan air hotel pun harus terus diawasi dan dikontrol secara ketat.


Read more: Mengapa ambisi pariwisata Indonesia minim suara warga lokal?


Pemerintah dapat mengintegrasikan Penilaian Dampak Hak atas Air (HRWIA) ke dalam kerangka penilaian dampak lingkungan yang ada (AMDAL), sesuai jenis dan ukuran hotel. HRWIA bertujuan mengidentifikasi, memahami, menilai, mencegah dan mengatasi dampak buruk terhadap hak atas air warga dari suatu proyek pembangunan dan kegiatan hotel.

Integrasi tersebut memerlukan analisis sistematis dari mana air hotel berasal, potensi konflik penggunaan, musim ketersediaan dan penggunaan air (misalnya, musim hujan/kering) dan infrastruktur apa yang ada untuk menangani air limbah dan menjamin penduduk setempat memiliki akses ke air bersih.

Penelitian kami juga mengidentifikasi area pemahaman penting untuk penilaian dampak hak atas air warga. Beberapa di antaranya adalah, dampak dan pasokan air di masa depan (seperti penggundulan hutan, rencana pembangunan besar, dan perubahan iklim), dan struktur masyarakat dan dinamika sosial budaya yang mempengaruhi ketersediaan air (termasuk etnis, gender, kelompok rentan, dll). Jika penilaian ini dilakukan dengan ketat, maka warga setempat dapat lebih terlibat dalam pengelolaan air bersama pihak hotel.

Harapannya, hotel akan mengelola air secara berkelanjutan, bekerja sama dengan masyarakat setempat, sambil mempersiapkan upaya perbaikan/pemulihan melalui proses yang mendapatkan persetujuan warga.

Manajemen hotel di Indonesia dapat mencontoh praktik baik dari pengelolaan air Inter-Continental Hotel Group di Chengdu, China. Hotel ini bermitra dengan organisasi komunitas lokal (Chengdu Urban Rivers Association) untuk mengembangkan rencana pengelolaan pengunaan air hotel serta mengatasi kelangkaan air dan polusi di daerah setempat.

Patut diingat, pariwisata tidak akan pernah berkelanjutan jika pelaku bisnis seperti hotel tidak menghormati hak manusia atas air. Partisipasi masyarakat merupakan jantung pariwisata berkelanjutan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now