Menu Close
Shutterstock

WHO sarankan tidak perlu minum pemanis buatan untuk menurunkan berat badan. Apakah gula lebih baik?

Baru-baru ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan bahwa “pemanis non-gula tidak boleh digunakan sebagai sarana untuk mencapai pengendalian berat badan atau mengurangi risiko penyakit tidak menular” seperti diabetes dan penyakit jantung.

Pemanis buatan adalah senyawa alami atau senyawa sintesis yang rasanya manis seperti gula – dan hingga 400 kali lipat lebih manis menurut beratnya – tapi tidak memberikan energi yang berarti atau bahkan tak memberikan energi. Sebagai perbandingan, gula memiliki 17 kilojoule (atau empat kalori) per gram, jadi satu sendok teh gula akan memiliki 85 kilojoule (kj).

Beberapa jenis pemanis buatan digunakan di Australia, tempat saya meneliti. Ada yang sintetis, ada yang diekstraksi dari makanan seperti buah biksu dan tanaman stevia.

Jadi, apa arti pedoman WHO yang baru bagi orang yang beralih ke pemanis buatan karena alasan kesehatan? Haruskah mereka kembali ke gula?


Read more: Food and drinks are getting sweeter. Even if it's not all sugar, it's bad for our health


Dipromosikan untuk menurunkan berat badan

Sebagai seorang ahli diet klinis pada tahun 1990-an, saya ingat ketika pemanis buatan mulai muncul dalam makanan olahan. Mereka dipromosikan sebagai cara mengganti gula menjadi produk makanan yang dapat menyebabkan penurunan berat badan.

Satu kaleng minuman ringan manis mengandung rata-rata sekitar 500 kj. Secara teoritis, mengganti satu kaleng minuman ringan bergula dengan satu kaleng minuman bersoda berpemanis buatan setiap hari akan mengurangi berat badan Anda sekitar 1 kg per bulan.

Tapi penelitian selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa hal ini tidak bertahan lama.

Berdasarkan apa saran baru ini?

WHO mendasarkan rekomendasinya pada peninjauan sistematis (systematic review) yang telah dilakukan lembaga tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan panduan berbasis bukti tentang penggunaan pemanis buatan dalam manajemen berat badan dan untuk pencegahan penyakit.

Pengelolaan berat badan penting, mengingat obesitas meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes dan penyakit tertentu jenis kanker, yang merupakan penyebab utama kematian secara global.

Tinjauan sistematis WHO menyertakan data dari berbagai jenis penelitian, yang memberi kita informasi berbeda:

  • 50 adalah uji coba terkontrol secara acak (ketika para ilmuwan melakukan intervensi dan membuat perubahan – dalam hal ini pada pola makan – sambil menjaga segala sesuatunya tetap konstan, untuk melihat dampak dari perubahan itu)

  • 97 adalah studi kohort prospektif (ketika para ilmuwan mengamati satu faktor risiko dalam kelompok besar orang selama periode waktu tertentu untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap hasil – tanpa campur tangan atau melakukan perubahan apa pun)

  • 47 adalah studi kasus-kontrol (jenis lain dari studi observasional yang mengikuti dan membandingkan dua kelompok orang yang diuji coba, selain dari faktor risiko yang menarik).

Uji coba terkontrol secara acak memberi kita data kausal (hubungan sebab-akibat), memungkinkan kita untuk mengatakan intervensi menyebabkan perubahan yang kita lihat.

Kelompok prospektif dan kontrol kasus hanya memberi kita asosiasi atau keterkaitan. Kita tidak dapat membuktikan faktor risiko yang menyebabkan perubahan hasil – dalam hal ini, berat badan – karena faktor risiko lain yang belum dipertimbangkan para ilmuwan dapat menjadi penyebabnya. Tapi mereka memberi petunjuk bagus tentang apa yang mungkin terjadi, terutama jika kita tidak dapat melakukan uji coba karena tidak etis atau tidak aman untuk memberikan atau menahan pengobatan tertentu.

person puts sweetener in cup of tea
Tinjauan WHO mengamati berbagai jenis penelitian yang menyelidiki pemanis buatan. Unsplash, CC BY

Tinjauan sistematis WHO mengkaji kegemukan tubuh, penyakit tidak menular dan kematian.

Untuk kegemukan tubuh, uji coba terkontrol secara acak menunjukkan mereka yang mengonsumsi lebih banyak pemanis buatan memiliki berat badan yang sedikit lebih rendah – rata-rata 0,71 kg – dibandingkan mereka yang mengonsumsi lebih sedikit atau tanpa pemanis buatan.

Akan tetapi, studi kohort menemukan asupan pemanis buatan yang lebih tinggi dikaitkan dengan BMI yang lebih tinggi, atau indeks massa tubuh (0,14 kg/m2) dan kemungkinan peningkatan obesitas sebesar 76%.

Studi kohort prospektif menunjukkan pada tiap minuman yang memiliki asupan pemanis buatan yang tinggi, ada peningkatan risiko diabetes tipe 2 hingga 23%. Jika pemanis buatan dikonsumsi sebagai barang meja (yang ditambahkan konsumen ke makanan dan minuman), ada peningkatan risiko diabetes sebesar 34%.

Pada penderita diabetes, pemanis buatan tidak memperbaiki atau memperburuk indikator klinis apa pun yang digunakan untuk memantau diabetes mereka seperti gula darah puasa atau kadar insulin.

Asupan pemanis buatan yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan kematian dalam studi observasi prospektif jangka panjang selama rata-rata 13 tahun terhadap peserta.

Tapi pemanis buatan tidak dikaitkan dengan perbedaan tingkat kanker secara keseluruhan atau kematian dini akibat kanker.

Secara keseluruhan, sementara uji coba terkontrol secara acak menunjukkan penurunan berat badan sedikit lebih banyak pada orang yang menggunakan pemanis buatan, studi observasional menemukan kelompok ini cenderung memiliki peningkatan risiko obesitas dan hasil kesehatan yang lebih buruk.

Apakah systematic review memiliki kekurangan?

Saran WHO telah menimbulkan beberapa kritik karena uji coba terkontrol secara acak memang menunjukkan beberapa manfaat penurunan berat badan untuk menggunakan pemanis buatan, meskipun kecil.

Namun WHO dengan jelas menyatakan sarannya didasarkan pada berbagai desain penelitian, bukan hanya uji coba terkontrol secara acak.

Selain itu, WHO menilai kualitas studi dalam tinjauan tersebut sebagai “kepastian rendah atau sangat rendah”.


Read more: Sweeteners may be linked to increased cancer risk – new research


Apakah mereka tidak aman?

Nasihat ini tidak berarti pemanis buatan tidak aman atau harus dilarang. Tinjauan ilmiah WHO bukan tentang masalah kimia atau keamanan.

Jadi, apakah kita lebih baik mengonsumsi gula saja?

Jawabannya adalah tidak.

Pada 2015, WHO merilis pedoman tentang asupan gula tambahan untuk mengurangi risiko kelebihan berat badan dan obesitas. Gula tambahan ditemukan dalam makanan dan minuman olahan dan ultra-olahan seperti minuman ringan, minuman buah, minuman olahraga, cokelat dan gula-gula, yogurt rasa, dan muesli bar.

Pedoman ini menyarankan orang mengkonsumsi tidak lebih 10% dari total asupan energi, yaitu sekitar 50 gram (sepuluh sendok teh), gula per hari untuk rata-rata orang dewasa yang membutuhkan 8.700 kj sehari.

Rekomendasi WHO sejalan dengan Panduan Diet Australia, yang merekomendasikan tidak lebih dari tiga porsi makanan tambahan per hari, jika Anda membutuhkan energi ekstra. Namun yang terbaik adalah mendapatkan energi ekstra dari kelompok makanan inti (biji-bijian, sayuran, buah, produk susu dan protein) daripada makanan tambahan.


Read more: 8 everyday foods you might not realise are ultra processed – and how to spot them


Jadi apa yang saya minum sekarang?

Jadi, jika minuman buatan dan gula dalam minuman tidak disarankan untuk menurunkan berat badan, apa yang bisa Anda minum?

Beberapa pilihan termasuk air, kombucha tanpa tambahan gula, teh atau kopi. Soda dan air mineral yang dibumbui dengan sedikit jus buah favorit Anda adalah pengganti yang baik.

Susu juga merupakan pilihan yang baik, terutama jika saat ini Anda tidak memenuhi kebutuhan kalsium.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now