Menu Close
Five people on a podium clapping
Martin Divisek / EPA

Konferensi iklim COP 28 hasilkan 5 keputusan besar

Konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa terbaru, COP 28, selalu kontroversial. Pertemuan tersebut diadakan di negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada minyak dan gas, yaitu Uni Emirat Arab (UEA).

Presiden COP 28, Sultan Al Jaber, yang juga Kepala Eksekutif Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi dan baru-baru ini menyatakan UEA akan menggandakan produksi minyak dan gas pada dekade ini.

Ini bukanlah kepemimpinan yang kuat untuk beralih dari bahan bakar fosil seperti yang diharapkan banyak orang. Lebih dari 100 ribu delegasi telah terdaftar (dua kali lebih banyak dari COP sebelumnya), dengan lebih dari dua ribu di antaranya merupakan perwakilan resmi perusahaan bahan bakar fosil .

Namun, COP 28 dimulai dengan baik. Sejak hari pertama, konferensi mengumumkan adanya komitmen dana US$400 juta (Rp6,1 triliun) bagi negara-negara yang lebih rentan menghadapi bencana iklim. Pembicaraannya juga mencakup perjanjian iklim baru termasuk penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap.

Kini setelah COP 28 usai dan kontroversinya mereda, kami menelaah keputusan-keputusan utama yang disepakati dalam konferensi tersebut.

1. Berakhirnya bahan bakar fosil?

Secara mengejutkan, ini adalah COP pertama yang secara resmi mengakui bahwa bahan bakar fosil adalah penyebab utama perubahan iklim. Perlu diingat bahwa bahan bakar fosil baru pertama kali disebutkan dalam perjanjian iklim internasional pada 2021 saat COP 26 di Glasgow. Namun, ambisinya masih kurang.

Sebagian besar negara menginginkan pernyataan tegas mengenai penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap atau setidaknya pengurangan bertahap. Sebaliknya, negara-negara malah menyetujui pernyataan yang menyatakan kita harus “bertransisi dari bahan bakar fosil ke dalam sistem energi, dengan cara yang adil, teratur, dan merata, mempercepat tindakan dalam dekade kritis ini, untuk mencapai net zero pada 2050 sesuai ilmu pengetahuan”.

Istilah ini–sebuah “transisi” dan bukannya “penghentian bertahap”–tidak sekuat yang diinginkan banyak orang. Sebagaimana pernyataan yang dibuat oleh Samoa atas nama Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil (AOSIS), keputusan-keputusan ini merupakan “kemajuan bertahap untuk mempertahankan business as usual”.

Padahal, yang Bumi butuhkan saat ini adalah “langkah perubahan eksponensial” untuk memastikan pemanasan planet ini tak melebihi 1,5°C sesuai Perjanjian Paris.

Pria berbicara di podium
Menteri Lingkungan Hidup Samoa Toeolesulusulu Cedric Schuster. Pulau-pulau kecil seperti Samoa sering terancam oleh naiknya air laut dan badai yang lebih kuat. Martin Divisek / EPA

Secara teori, perjanjian ini menandai berakhirnya era bahan bakar fosil. Namun, perjanjian ini membuka celah bagi negara dan perusahaan untuk “mengurangi” penggunaan bahan bakar fosil dengan menggunakan penangkapan dan penyimpanan karbon. Hal ini membenarkan pembakaran minyak dan gas yang terus berlanjut.

2. Kerugian dan Kerusakan

“Kerugian dan kerusakan” atau loss and damage adalah istilah untuk pendanaan bagi negara-negara berkembang yang mengalami bencana besar terkait perubahan iklim. Dana tersebut disetujui pada COP 27 pada 2022. Dalam pengumuman terbaru, ada dana US$700 juta (Rp10,8 triliun) yang telah dijanjikan.


Read more: Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan Dana Loss and Damage untuk memperkuat adaptasi perubahan iklim


Meskipun merupakan kabar baik, nominal yang dijanjikan hanyalah setetes air jika dibandingkan dengan dana yang sebenarnya dibutuhkan, yakni sekitar US$400 miliar (Rp6.195 triliun). Angkanya juga tidak signifikan dibandingkan dengan, misalnya, perkiraan US$7 miliar(Rp 108 triliun) untuk pembangunan Dubai Expo City, tempat pelaksanaan COP 28.

Masih belum jelas bagaimana dana tersebut akan disalurkan, apa aliran pendanaan utamanya, atau apakah alokasi pendanaannya akan berbasis komunitas dan bebas korupsi. Meskipun ada penolakan, telah disepakati bahwa Bank Dunia akan mengelola dana tersebut dengan biaya negosiasi sebesar 24%. Artinya, satu dari empat dolar AS yang dijanjikan tidak akan sampai ke negara-negara yang membutuhkan.

Jadi, secara keseluruhan, KTT ini tidak sukses dalam menyepakati pendanaan iklim. Pembahasan isu penting ini pun diundur ke COP 29 pada November 2024.

3. Energi terbarukan dan bahan bakar transisi

Dalam COP 28, 118 negara menandatangani sebuah janji untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dan menggandakan tingkat efisiensi energi global pada tahun 2030. Ini merupakan langkah ke arah yang benar.

Perlu dicatat bahwa teks janji tersebut juga mengakui peran “bahan bakar transisi” dalam menjaga keamanan energi untuk saat ini. Walhasil, ini membuat penggunaan gas alam cair yang dapat merusak iklim juga dapat diterima.

Pilihan ini tidak ideal, tapi di negara-negara berkembang gas masih merupakan pilihan yang lebih sehat dan lebih sedikit menghasilkan polusi untuk memasak dan memanaskan rumah dibandingkan membakar kayu atau biomassa lainnya. Meskipun demikian, penggunaan bahan bakar transisi ini harus memiliki batasan waktu.

Di sela-sela konferensi tersebut, hidrogen hijau juga mendapat momennya. Diproduksi melalui proses pemisahan air menggunakan listrik dari tenaga angin atau surya, industri berjanji untuk meningkatkan bahan bakar nol emisi yang berasal dari hidrogen berbasis energi terbarukan hingga 11 juta ton pada tahun 2030.

4. Piagam dekarbonisasi minyak dan gas

Lebih dari 50 perusahaan minyak nasional dan internasional, mewakili sekitar 40% produksi global, menandatangani piagam dekarbonisasi.

Inisiatif ini menetapkan tiga tujuan utama: untuk mencapai nol emisi dalam operasi langsung masing-masing perusahaan (dibandingkan dengan penggunaan produk mereka) pada atau sebelum 2050, untuk mencapai kondisi hampir-nol kebocoran metana dari produksi minyak dan gas pada 2030, dan untuk mencapai nihil pembakaran rutin (pembakaran gas berlebih) pada 2030.

Gas suar di kilang minyak
Pembakaran gas adalah masalah lingkungan yang besar. hkhtt hj / shutterstock

Dua janji terakhir ini sangat penting karena metana adalah gas rumah kaca yang sangat kuat (tetapi berumur pendek). Seperempat dari seluruh emisi metana dari aktivitas manusia berasal dari produksi minyak dan gas. Jadi, pengurangan emisi metana adalah sebuah kemenangan cepat yang memberi kita tambahan waktu.

Namun, sekali lagi, 60% produksi minyak dan gas dunia tidak tercakup dalam piagam ini. Perusahaan-perusahaan ini akan terus menghemat uang dengan mengeluarkan gas metana dan membakar gas bumi.

5. Evaluasi aksi iklim Global Stocktake: suhu 1,5°C terancam

“Global Stocktake”, yang diselesaikan pada COP 28, menandai pertama kalinya rezim iklim global mempertimbangkan bagaimana komunitas internasional secara kolektif mengurangi emisi gas rumah kaca sejak Perjanjian Paris pada 2015.

Kesimpulan terbesar dari survei ini memberi tahu apa yang telah kita ketahui. Dunia sudah jauh ketinggalan, dan batas pemanasan Bumi 1,5°C yang disepakati di Paris berisiko terlanggar.

Meskipun manfaat besar dari COP 28 bahwa negara-negara menyepakati kesepakatan untuk beralih dari bahan bakar fosil sambil mengakui perlunya pengurangan emisi yang “dalam dan cepat”, pernyataan yang lemah ini sangat bertentangan dengan kesepakatan yang ada dalam laporan Global Stocktake.

Jadi, apa akibatnya? Negosiasi semakin panjang untuk mendorong peningkatan ambisi dan pembiayaan negara-negara sehingga keadaan bebas emisi dapat tercapai pada 2050.

Konferensi iklim PBB berikutnya, COP 29, akan diadakan di Azerbaijan, produsen minyak dan gas besar lainnya dengan catatan hak asasi manusia yang buruk. Negara ini sangat dipengaruhi oleh Rusia.

Namun, tantangan sebenarnya adalah memaksa negara-negara untuk meningkatkan komitmen pemangkasan emisi agar batas aman suhu global 1,5°C tidak hilang.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now