Menu Close
(Unsplash/Kristina Flour), CC BY

Bagaimana mantan tapol 1965 beserta keluarga mereka bergelut dengan memori kekerasan masa lalu

Apa jadinya jika seseorang mengemban pengetahuan dan memori tentang suatu kejadian dalam sejarah yang penuh kekerasan, tapi sebagian besar kejadian tersebut tak pernah masuk ke dalam buku sejarah?

Saya menanyakan pertanyaan penting ini selama riset saya di Jawa Tengah. Kala itu, saya berupaya memahami pengalaman dan persepsi para anak dan anggota keluarga dari orang-orang yang menjadi korban kekerasan peristiwa 1965.

Hasil riset ini saya terbiitkan dalam suatu bab dalam buku berjudul “The Indonesian Genocide of 1965”.

Pembunuhan massal 1965 di Indonesia tak hanya mengakibatkan kematian dan penahanan lebih dari setengah juta orang, tapi juga membuat para penyintasnya harus bergelut dengan ingatan peristiwa bersejarah ini sepanjang hidup mereka yang penuh dengan pembungkaman, penerimaan – dan pada akhirnya, ketangguhan.

‘Diam’ yang bertahan dari generasi ke generasi

Sepanjang pemerintahan otoriter Orde Baru Presiden Suharto (1966-1998), negara mengajarkan kepada para siswa bahwa pada 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) berkhianat dan melakukan kudeta yang pada akirnya ditumpaskan dengan “heroik” oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Narasi ini pun masih terus bergaung di abad ke-21.

Seiring sekolah mengajarkan anak muda Indonesia tentang narasi ini, narasi historis lain yang berlawanan dengan versi tersebut terus diredam oleh negara.

Hal ini tak hanya meliputi sejarah kompleks dari gerakan kiri dalam perpolitikan Indonesia, tapi juga rangkaian kejadian berdarah yang mengerikan setelah melejitnya kekuasaan militer Indonesia pada 1965, ketika ratusan ribu orang Indonesia dibunuh atau ditahan tanpa proses hukum karena dituduh berafiliasi dengan PKI.


Read more: 55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965


Sejarah mengenai kekerasan ini menjadi hal yang tak pernah dan tak bisa dibicarakan di ruang publik selama periode Orde Baru.

Banyak orang Indonesia bahkan menerapkan swasensor karena takut – terutama para korban kekerasan, beserta anak dan keluarga mereka.

Para mantan tahanan politik (tapol), yang secara langsung mengalami kekerasan tersebut, misalnya, senantiasa diawasi dan mengalami diskriminasi seiring bebas dari penjara.

Status sebagai orang yang “bersalah” ini pun seakan turun dari para penyintas kepada keturunan mereka. Negara turut mengucilkan para tertuduh “anak komunis” ini bersamaan dengan orang tua mereka.

Banyak keluarga korban terjerumus dalam diam. Seringkali, para mantan tapol, termasuk yang saya ajak bicara dalam riset saya, berupaya melindungi anak mereka dengan cara menyembunyikan dan tidak menceritakan pengalaman dan penderitaan mereka di masa lalu.

Selama periode Orde Baru, jawaban paling aman terhadap apa pun yang berkaitan dengan 1965 adalah “Saya tidak tahu apa-apa”.

Lalu, runtuhnya rezim otoriter Suharto dan munculnya Era Reformasi pada 1998 membuat beberapa mantan korban kekerasan lebih berani untuk menantang versi resmi negara terkait sejarah 1965.

Di tengah bangkitnya demokrasi, kemunculan berbagai medium dan platform ekspresi baru, serta minat generasi muda yang meningkat, para mantan tapol berupaya mengekspos fakta-fakta yang selama ini disembunyikan terkait peristiwa pembunuhan massal dan penahanan terhadap tertuduh komunis.

Beberapa mantan tapol, yang ditangkap karena dianggap berafiliasi dengan PKI pada pertengahan tahun 1960-an, mulai berani berbicara melalui memoar, simposium, dan organisasi hak asasi manusia (HAM). (Reuters/Darren Whiteside)

Beberapa mantan tapol dan korban lain dari peristiwa 1965 mulai memberanikan diri untuk bercerita – termasuk melalui memoar seperti oleh wartawan dan mantan tahanan politik Putu Oka Sukanta, membentuk organisasi advokasi bersama mantan tapol lain seperti Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, dan bahkan wadah kreatif seperti Paduan Suara Dialita.

Dalam beberapa kasus, mereka juga mulai menceritakan pada anak dan cucu mereka tentang pengalaman yang mereka lalui.

Tiba-tiba, mereka menjadi bisa, meski tetap tidak semua dan tentu dengan risiko, untuk menyatakan, “Saya tahu”.

Bergelut dengan ingatan masa lalu

Meski semakin banyak mantan tapol memilih untuk berbicara, nampaknya masih ada atmosfer ambiguitas terkait pengetahuan dan ingatan seperti apa yang dimiliki oleh para tapol dan anggota keluarga mereka.

Apakah mereka sebenarnya diam-diam tahu, sebagaimana tuduhan para kelompok antikomunis, detail tentang “aksi-aksi pengkhianatan” PKI? Ataukah lebih ke wawasan umum mengenai sejarah gerakan kiri Indonesia sebelum 1965?

Apakah pengetahuan ini meliputi kekerasan mengerikan yang dilakukan dan didukung oleh negara, yang berdampak pada jutaan orang Indonesia selama 1965-1966? Atau mungkin cerita personal dan trauma masa lalu yang diturunkan dari para mantan tapol kepada anak dan cucu mereka?

Apapun itu, kelompok antikomunis menaganggap pengetahuan ini “berbahaya”, serta membuat resah mereka yang memihak versi sejarah dari negara dan mengkhawatirkan adanya “kebangkitan kembali komunisme”.


Read more: Monster-monster di balik bayang: Marxisme Kultural di Barat dan Hantu Komunisme di Indonesia


Tapi, isi pengetahuan dan ingatan masa lalu ini bisa jadi tidak sepenting itu di mata para mantan tapol beserta anak dan cucu mereka. Justru, para tapol yang saya ajak bicara dalam riset saya memilih untuk fokus pada bagaimana menggunakan ingatan masa lalu ini untuk hidup lebih baik, meruntuhkan stigma, dan mendorong keadilan dan akuntabilitas.

Sumanto, seorang laki-laki lanjut usia yang menjadi tahanan selama 6 tahun karena keterlibatannya dalam organisasi kiri Pemuda Rakyat pada pertengahan 1960-an, mengatakan pada saya bahwa ia nyaman menceritakan penderitaannya kepada aktivis muda yang bukan kerabatnya serta organisasi HAM sebagai upaya mengangkat sejarah kekerasan masa lalu.

Tapi, dengan anaknya sendiri di rumah, ia enggan menceritakan kisah-kisah tertentu.

“Saya lebih menekankan kepada semangat kerja bagi anak-anak saya…supaya anak saya bisa bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, dan dia tidak menjadi sampah masyarakat. Supaya dia bisa bertanggungjawab kepada dirinya sendiri dan kalau bisa, itu bisa menolong kepada orang lain.” – Sumanto.

Dua anak mantan tapol yang berusia sekitar 20-an tahun mengatakan pada saya bahwa setelah mendengarkan cerita dari ayah mereka tentang pengalamannya di penjara, mereka tergerak untuk mempelajari sumber-sumber sejarah yang lebih “objektif” tentang peristiwa 1965.

Dan, dengan nada bercanda, Siti, seorang anak perempuan dari wartawan yang diculik pada 1965, menjelaskan bagaimana anaknya menggunakan pengetahuan terkait sejarah keluarga mereka untuk iseng mempertanyakan guru sejarahnya di SMA-nya.

“Anak bungsu saya sudah lama bersemangat untuk belajar sejarah. Dia sering menunggu dengan tidak sabar untuk masuk kelas biar bisa bertanya ke guru: ‘Bu Guru, Bu Guru, apakah Bu Guru kenal dengan kakek saya?” [tertawa]“ – Siti.

Pengamatan-pengamatan ini menunjukkan bahwa, ketika saat ini kelompok konservatif di Indonesia gencar menentang pembahasan sejarah 1965, kita tidak selayaknya memandang berbagai "wawasan” dari para penyintas ini, beserta keluarga mereka, sebagai noda.

Ini justru merupakan tanda ketangguhan mereka, dan suatu dorongan aksi masa depan sebagai perjuangan mencapai keadilan dan akuntabilitas.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now