Menu Close
Foto udara belasan rumah dan tanah kering.
Foto udara kondisi Pasar Hantakan pascabanjir bandang di Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. ANTARA FOTO/Muhammad Nova/Bay/wsj

Bagaimana warga bisa ajukan gugatan hukum terhadap pemerintah terkait banjir di Kalimantan Selatan

Setelah lebih dari 50 tahun tidak terjadi banjir bandang, Kalimantan Selatan mengalami banjir besar pada awal tahun ini.

Banjir kali ini menyebabkan belasan orang meninggal dunia, sekitar 39 ribu orang mengungsi, serta lebih dari 20 ribu rumah terendam banjir.

Organisasi sipil masyarakat (NGO) lingkungan menyatakan bahwa banjir ini akibat kegagalan pemerintah mengawasi perubahan luasan hutan yang masif menjadi perkebunan dan kawasan tambang.

Namun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa faktor cuaca ekstrem yang mengakibatkan turunnya hujan berturut-turut selama 5 hari, dari tanggal 9 hingga 13 Januari 2021 adalah penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan.


Read more: Banjir bandang jelang kemarau: absennya data dan mengapa sering berulang?


Terlepas dari faktor cuaca, para ahli hukum lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) berpendapat bahwa faktor kelalaian pemerintah cukup besar dalam kasus banjir ini dan hal tersebut membuka membuka potensi bagi masyarakat sipil untuk mengajukan tuntutan hukum, baik kepada pemerintah maupun korporasi, atas banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Kasus gugatan hukum serupa terkait dengan kerusakan lingkungan pernah diajukan kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan beberapa menteri dalam kabinetnya atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2015.

Tahun 2019, di level kasasi, Mahkamah Agung menyatakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan beberapa menteri tersebut telah melanggar hukum terkait dengan kasus karhulta 2015.

Sebelumnya, kelompok masyarakat di Samarinda, Kalimantan Timur, juga mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah daerah dan pusat pada tahun 2013 terkait dengan dampak masif pembangkit listrik tenaga batu bara, mulai dari banjir, polusi udara, hingga perubahan iklim.

Berikut penjelasan para ahli hukum lingkungan dan HAM terkait dengan jalur hukum yang bisa ditempuh oleh masyarakat atas banjir di Kalimantan Selatan.

Asalkan cukup bukti, bisa perdata dan pidana

Mas Achmad Santosa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ada 2 tuntutan hukum yang bisa diambil terkait kasus banjir di Kalimantan Selatan, yaitu melalui jalur perdata dan pidana.

Baik perdata maupun pidana, pengugat harus memiliki cukup bukti dan memenuhi beberapa persyaratan.

Untuk perdata, siapapun penggugatnya harus menemukan 3 unsur sebagaimana setiap gugatan perbuatan melawan hukum, yaitu memenuhi unsur kesalahan (fault), ada dan berapa nilai kerugiannya (damages), dan sebab-akibat bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan tergugat atau para tergugat (cause and effect).

Penggugat bisa saja menggajukan strict liability (pertanggungjawaban hukum tanpa pembuktian unsur kesalahan), yang artinya pengajuan kasus tidak membutuhan bukti khusus tetapi tetap harus membuktikan adanya kerugian dan sebab-akibat (kasualitas).


Read more: UU Cipta Kerja 2020 hilangkan perlindungan korban kejahatan lingkungan


Dalam konteks banjir Kalimantan Selatan, penggugat untuk mengajukan gugatan perdata bisa saja korban langsung, organisasi lingkungan (LSM), warga negara, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mewakili negara.

Tuntutan dalam gugatan perdata bisa berupa permintaan ganti rugi melalui class action atau gugatan perwakilan kelas (karena korban masal), contohnya gugatan ratusan warga DKI Jakarta terhadap Gubernur DKI Anies Baswedan terkait banjir awal tahun 2020 atau gugatan biasa (prosedur biasa), misalnya gugatan KLHK terhadap 2 perusahaan pencemar daerah aliran sungai (DAS) Citarum.


Read more: Explainer: Seperti apa gugatan _class action_ di Indonesia?


Selain ganti kerugian, para penggugat bisa meminta rehabilitasi lingkungan, hingga meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk pemulihan lingkungan dan antisipasi kerusakan di masa depan.

Untuk penegakan hukum pidana, penyidik harus melakukan penyidikan lebih lanjut, baik menggunakan dasar hukum UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), atau peraturan perundangan terkait lainnya.

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar kasus bisa diproses antara lain ketika kasus tersebut memiliki unsur kesengajaan atau kelalaian (mens rea), perbuatan yang dilakukan sesuai unsur dalam pasal pidana yang disangkakan (actus reus), ada 2 alat bukti yang sah, pengakuan, keterangan saksi, keterangan ahli, dan petunjuk lainnya.

Ajukan gugatan warga negara

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif dan peneliti _Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Tahun 2013, kelompok masyarakat yang tergabung dalam “Gerakan Kalimantan Menggugat” di Samarinda, Kalimantan Timur mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap pemerintah pusat (Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), pemerintah daerah (Gubernur Kalimantan Timur dan Walikota Samarinda), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Samarinda.


Read more: Lemahnya regulasi minerba berpotensi tingkatkan angka korban tenggelam di lubang bekas tambang


Saat itu, mereka meminta pertanggungjawaban pemerintah dan perwakilan rakyat untuk melakukan evaluasi dan review terhadap izin-izin dan alih fungsi lahan akibat dari tambang yang menyebabkan banjir, longsor, polusi udara, serta kerusakan lingkungan.

Meski Mahkamah Agung menggagalkan gugatan tersebut pada tahun 2015, namun kasus ini memberikan pembelajaran bagaimana warga bisa memintakan pertanggungjawaban ke negara atau pemerintah dalam mekanisme citizen lawsuit terkait kerusakan lingkungan.

Sebelum mengajukan gugatan jenis ini, masyarakat bisa mengajukan pemberitahuan ke pemerintah. Apabila pemerintah tidak menjalankan, maka warga baru bisa melayangkan gugatan.

Gugatan atas pemenuhan HAM

Herlambang P. Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Masyarakat, organisasi lingkungan, atau Warga Negara Indonesia, dapat menggunakan hak hukum mereka untuk menggugat pemerintah Indonesia maupun perusahaan, terkait dampak perubahan iklim.

Kita mengetahui bahwa luasan hutan di Kalimantan (rainforest) menyusut dari tahun ke tahun akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit maupun tambang.

Masifnya kerusakan hutan karena ekspansi, salah satu akibatnya adalah, menyingkirkan hak-hak masyarakat adat secara sistematis dan warga bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah.

Hak-hak lain yang bisa dituntut, mulai dari hak atas lingkungan hidup, hak atas tempat tinggal yang layak, bagi yang kehilangan pekerjaan bisa menuntut ganti rugi, hak atas kesehatan, dan hak-hak asasi manusia lainnya yang hilang akibat banjir.

Semua ini merupakan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam hukum dasar (constitutional rights).

Apabila mengakibatkan kematian warga, maka warga juga bisa meminta pertanggungjawaban hukum negara.

Kegagalan negara melindungi warganya adalah jelas pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana definisi dalam Undang-Undang (UU) No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,400 academics and researchers from 5,063 institutions.

Register now