Menu Close
ChatGPT di sekolah dan universitas
Para guru dan profesor universitas sudah sangat bergantung pada tugas esai ‘sekali selesai’ selama beberapa dekade. Mengharuskan siswa untuk menyerahkan draf pekerjaan mereka adalah salah satu perubahan yang dibutuhkan. (Shutterstock)

ChatGPT dan kecurangan: 5 cara untuk mengubah cara penilaian siswa

Universitas dan sekolah telah memasuki fase baru dalam cara mereka menangani integritas akademik saat masyarakat kita memasuki era kedua teknologi digital, yang mencakup kecerdasan buatan (Artificial Intelligence (AI) ) generatif yang tersedia untuk umum seperti ChatGPT. Platform semacam itu memungkinkan siswa untuk menghasilkan teks baru untuk tugas tertulis.

Meskipun banyak yang khawatir bahwa teknologi AI yang canggih ini mengantarkan era baru plagiarisme dan kecurangan, teknologi ini juga membuka peluang bagi para pendidik untuk memikirkan kembali praktik penilaian dan melibatkan siswa dalam pembelajaran yang lebih dalam dan lebih bermakna yang dapat mendorong keterampilan berpikir kritis.

Kami percaya bahwa kemunculan ChatGPT menciptakan peluang bagi sekolah dan institusi pendidikan menengah untuk mereformasi pendekatan tradisional dalam menilai siswa yang sangat bergantung pada pengujian dan tugas tertulis yang berfokus pada pengulangan, ingatan, dan sintesis dasar konten.

Hands seen on a keyboard.
Sekolah dan lembaga pendidikan lanjutan harus meninjau kembali pengujian dan tugas tertulis. (Shutterstock)

Kecurangan dan ChatGPT

Perkiraan kecurangan sangat bervariasi di seluruh konteks dan sektor nasional.

Sarah Elaine Eaton, seorang ahli yang mempelajari integritas akademik, memperingatkan bahwa ada banyak kecurangan yang tidak dilaporkan: ia memperkirakan bahwa di universitas-universitas Kanada, 70.000 mahasiswa membeli layanan kecurangan setiap tahunnya.

Dampak dari peluncuran ChatGPT oleh OpenAI baru-baru ini terhadap kecurangan di lingkungan pendidikan wajib dan pendidikan tinggi masih belum diketahui, tetapi perkembangannya akan bergantung pada apakah institusi mempertahankan atau mereformasi praktik penilaian tradisional atau tidak.

Menghindari software pendeteksi plagiarisme?

Kemampuan alat pendeteksi plagiarisme yang populer untuk mengidentifikasi kecurangan menggunakan ChatGPT dalam pembuatan tugas masih menjadi tantangan.

Sebuah studi baru-baru ini, yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, menemukan bahwa 50 esai yang dibuat menggunakan ChatGPT menghasilkan teks canggih yang mampu menghindari software pemeriksaan plagiarisme tradisional.

Mengingat bahwa ChatGPT mencapai sekitar 100 juta pengguna aktif bulanan pada bulan Januari, hanya dua bulan setelah diluncurkan, dapat dimengerti mengapa beberapa orang berpendapat bahwa aplikasi AI seperti ChatGPT akan memacu perubahan besar dalam pendidikan kontemporer.

Tanggapan kebijakan terhadap AI dan ChatGPT

Tidak mengherankan jika ada pandangan yang berlawanan tentang bagaimana menanggapi ChatGPT dan model bahasa AI lainnya.

Beberapa orang berpendapat bahwa para pendidik harus merangkul AI sebagai alat teknologi yang berharga, asalkan aplikasinya digunakan dengan benar.

Yang lain percaya bahwa lebih banyak sumber daya dan pelatihan diperlukan agar para pendidik dapat menangkap contoh kecurangan dengan lebih baik.

Yang lainnya, seperti Departemen Pendidikan Kota New York, telah menggunakan cara memblokir aplikasi AI seperti ChatGPT dari perangkat dan jaringan.

Penilaian yang berpikiran maju

Gambar di bawah ini menggambarkan tiga elemen penting dari sistem penilaian yang berpikiran maju. Meskipun setiap elemen dapat diuraikan, fokus kami adalah menawarkan kepada para pendidik serangkaian strategi yang akan memungkinkan mereka untuk mempertahankan standar akademis dan mempromosikan pembelajaran dan penilaian otentik dalam menghadapi aplikasi AI saat ini dan di masa depan.

chatGPT, pendidikan dan pelajar
Institusi dan pendidik harus memeriksa titik temu antara AI, integritas akademik, dan bagaimana kita menilai siswa. (Louis Volante), Author provided

Para guru dan profesor universitas sangat bergantung pada tugas esai “sekali selesai” selama beberapa dekade. Pada dasarnya, seorang siswa ditugaskan atau diminta untuk memilih topik esai umum dari sebuah daftar dan menyerahkan tugas akhir mereka pada tanggal tertentu.

Tugas semacam itu sangat rentan terhadap aplikasi AI baru, serta plagiarisme - di mana siswa membeli esai yang sudah selesai. Pendidik sekarang perlu memikirkan kembali tugas-tugas seperti itu. Berikut adalah beberapa strategi.

1. Pertimbangkan cara-cara untuk memasukkan AI dalam penilaian yang valid.

Tidaklah berguna ataupun praktis bagi institusi untuk langsung melarang penggunaan AI dan aplikasi seperti ChatGPT.

AI telah dimasukkan ke dalam beberapa ruang kelas universitas. Kami percaya bahwa teknologi AI harus diintegrasikan secara selektif agar siswa dapat merefleksikan penggunaan yang tepat dan menghubungkan refleksi mereka dengan kompetensi pembelajaran.

Sebagai contoh, Paul Fyfe, seorang profesor bahasa Inggris yang mengajar tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan data menggambarkan “eksperimen pedagogis”. Di situ ia meminta siswa untuk mengambil konten dari perangkat lunak AI penghasil teks dan menenun konten ini ke dalam esai akhir mereka.

Para siswa kemudian diminta untuk menghadapi ketersediaan AI sebagai alat menulis dan merefleksikan penggunaan dan evaluasi etika mode bahasa.

2. Libatkan siswa dalam menetapkan tujuan pembelajaran.

Memastikan siswa memahami bagaimana mereka akan dinilai adalah kunci dari sistem penilaian yang baik.

Mengajak siswa untuk secara kolaboratif menetapkan tujuan pembelajaran dan kriteria untuk tugas tersebut, dengan mempertimbangkan peran perangkat lunak AI, akan membantu siswa untuk mengevaluasi dan menilai konteks yang tepat sehingga AI dapat bekerja sebagai alat pembelajaran.

3. Mengharuskan mahasiswa untuk menyerahkan draf agar mendapatkan umpan balik.

Meskipun mahasiswa masih harus menyelesaikan tugas esai, penelitian tentang kebijakan integritas akademik sebagai tanggapan terhadap AI generatif menyarankan agar mahasiswa diminta untuk menyerahkan draf pekerjaan mereka untuk ditinjau dan diberi umpan balik. Selain membantu mendeteksi plagiarisme, praktik “penilaian formatif” semacam ini berperan positif dalam memandu pembelajaran siswa.

Umpan balik dapat diberikan oleh guru atau oleh siswa itu sendiri. Umpan balik dari rekan sejawat dan diri sendiri dapat berfungsi untuk mengevaluasi secara kritis pekerjaan yang sedang berjalan (atau pekerjaan yang dihasilkan oleh perangkat lunak AI)

4. Beri nilai pada subkomponen tugas.

Siswa dapat menerima nilai untuk setiap subkomponen - termasuk keterlibatan mereka dalam proses umpan balik. Mereka juga akan dievaluasi dalam kaitannya dengan seberapa baik mereka memasukkan dan memperhatikan umpan balik spesifik yang diberikan.

Tugas ini menjadi lebih besar dari sekadar esai akhir, tugas ini menjadi sebuah produk pembelajaran, dan ide-ide siswa dievaluasi mulai dari pengembangan hingga pengumpulan akhir.

Siswa duduk bersama guru.
Melibatkan siswa dalam menetapkan tujuan pembelajaran adalah bagian dari menciptakan praktik penilaian yang bermakna. (Shutterstock)

5. Beralih ke penilaian yang lebih otentik atau memasukkan faktor kinerja.

Praktik penilaian yang baik melibatkan pendidik yang mengamati pembelajaran siswa dalam berbagai konteks.

Sebagai contoh, pendidik dapat mengundang siswa untuk mempresentasikan hasil kerja mereka, mendiskusikan sebuah esai dalam format konferensi, atau berbagi artikulasi video atau representasi artistik. Tujuannya adalah untuk mendorong siswa berbagi pembelajaran mereka melalui format alternatif. Pertanyaan penting yang harus ditanyakan adalah apakah kita memerlukan komponen esai atau tidak? Apakah ada cara yang lebih otentik untuk menilai pembelajaran siswa secara efektif?

Seorang pendidik bersama para siswa.
Mendorong siswa untuk mempresentasikan hasil kerja mereka adalah cara yang dapat dilakukan oleh para pendidik untuk mengamati pembelajaran siswa. (Pexels/Kampus Production)

Penilaian otentik adalah penilaian yang mengaitkan konten dengan konteks. Ketika siswa diminta untuk melakukan hal ini, mereka harus menerapkan pengetahuan dalam situasi yang lebih praktis, yang sering kali membuat alat bantu AI menjadi kurang bermanfaat.

Untuk mendapatkan bantuan dalam memikirkan kembali praktik penilaian menuju pendekatan yang lebih otentik dan alternatif, pendidik dapat mempertimbangkan untuk mengikuti kursus gratis, Transforming Assessment: Strategies for Higher Education.

Meningkatkan manfaat bagi siswa

Secara kolektif, saran-saran ini mungkin lebih memakan waktu, terutama di kelas-kelas sarjana yang lebih besar.

Namun, AI memberikan pembelajaran yang lebih besar dan sinergi antara bentuk-bentuk penilaian yang bermanfaat bagi siswa: penilaian formatif untuk memandu pengajaran dan pembelajaran, dan “penilaian sumatif,” yang terutama digunakan untuk tujuan penilaian dan evaluasi.

AI ada di sini dan akan terus ada, dan kita harus menerimanya sebagai bagian dari lingkungan belajar kita. Memasukkan AI ke dalam cara kita menilai pembelajaran siswa akan menghasilkan proses penilaian yang lebih andal dan hasil penilaian yang valid dan bernilai.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now