Menu Close
Efek IKEA menjelaskan bahwa “kerja tangan sendiri dapat menghasilkan rasa suka yang lebih besar terhadap hasil tersebut ketimbang hasil kerja orang lain.” Shutterstock

Efek IKEA: Bagaimana kita lebih menghargai rakitan kita sendiri ketimbang rakitan orang lain

Ada beberapa anekdot yang begitu bagus sehingga hampir setiap cerita tentang prinsip ekonomi tertentu dimulai dengan cara yang sama. Demikian juga artikel ini yang dimulai dengan anekdot campuran tepung kue instan.

Ceritanya, pada 1950 perusahaan makanan Amerika Serikat General Mills menginginkan ide untuk menjual lebih banyak tepung kue instan merek Betty Crocker. Psikolog Ernest Dichter-“bapak penelitian motivasi”-ditugaskan memecahkan masalah ini.

Dichter bikin diskusi kelompok fokus. “Ubah resepnya,” sarannya kepada perusahaan. Ganti telur bubuk dalam campuran kue sehingga ada kebutuhan untuk menambahkan telur segar.

Tepung kue instan menjadikan pengalaman membuat kue terlalu mudah. Ini dinilai meremehkan tenaga dan keterampilan pembuat kue. Buat si pembuat roti merasa lebih “memiliki” hasil akhirnya.

Dan sisanya adalah sejarah.

Tambahkan telur! Iklan campuran kue Betty Crocker.

Ada kemungkinan cerita ini berlebihan. Fakta-fakta tidak konsisten, seperti adanya perusahaan lain, Duncan Hines memiliki resep tepung kue instan menggunakan telur segar (dikembangkan oleh ahli kimia makanan Arlee Andre) pada awal 1951.

Selain itu pada 1935, perusahaan P. Duff and Sons diberi sebuah paten untuk tepung kue instan yang resepnya membutuhkan telur segar.

Paten P. Duff and Sons pada 1935. US Patent and Trademark Office

“Ibu rumah tangga dan masyarakat pembeli pada umumnya tampaknya lebih suka telur segar,” bunyi paten tersebut, “dan karenanya penggunaan telur kering atau bubuk agak merupakan kecacatan dari sudut pandang psikologis.”

Bahkan buku itu kadang-kadang dianggap sebagai sumber anekdot Dichter, Something from the Oven: Reinventing Dinner in 1950s America, oleh Laura Shapiro, mengatakan bahwa “jika menambahkan telur meyakinkan beberapa perempuan untuk mengatasi keengganan mereka pada tepung kue instan, itu setidaknya sebagian karena telur segar membuat kue yang lebih baik”.

Meski begitu, ini adalah kisah Dichter yang membuat wawasan psikologis yang mendalam tentang perilaku konsumen yang melegenda.

Hampir tujuh dekade kemudian, gagasan untuk membuat suatu produk menjadi lebih sulit untuk membuat konsumen menghargai produk itu lebih mahal/tinggi adalah sebuah taktik pemasaran yang mapan.

Kita sekarang mengetahuinya sebagai “efek IKEA”.

Menguji efek IKEA

Efek IKEA yang menjelaskan “bahwa kerja tangan sendiri dapat menghasilkan rasa suka yang lebih besar terhadap hasil tersebut ketimbang hasil kerja orang lain” dinamai dalam makalah tahun 2011 dalam Journal of Consumer Psychology oleh Michael Norton, Daniel Mochon, dan Dan Ariely.

Mereka memilih nama itu karena produk dari pabrikan Swedia (IKEA, perusahaan perabot rumah tangga) biasanya butuh dirakit dulu sebelum digunakan.


Read more: The Ikea effect: how Ingvar Kamprad's company changed the way we shop


Makalah mereka juga dimulai dengan kisah tepung kue instan. Ini mungkin membenarkan ada alasan lain mengapa General Mills naik penjualannya–ada pandangan alternatif bahwa lapisan gula pada kue yang membuat penjualan berhasil–tetapi para penulis masih tertarik dengan gagasan bahwa “memasukkan komponen kerja/jerih payah dalam suatu tugas” sebagai unsur yang penting.

Untuk mengkonfirmasi fenomena ini secara empiris dan batasannya, mereka melakukan percobaan yang melibatkan memasang kotak IKEA, melipat origami, dan membangun Lego.

Hasilnya menunjukkan bahwa peserta menghargai barang yang mereka rakit sendiri lebih mahal daripada barang yang dirakit oleh orang lain.

Grafik berikut menunjukkan hasil dari salah satu eksperimen. Peserta diminta melipat origami bangau atau katak dan kemudian diminta untuk menawar harga untuk membeli hasil kreasi tersebut. Fase penawaran juga termasuk origami yang dibuat oleh para ahli. Mereka cenderung melihat kreasi mereka sendiri jauh lebih berharga daripada yang dibuat oleh peserta lain, dan nilainya hampir sama dengan origami ahli.

Hasil menunjukkan kesediaan peserta untuk membayar (WTP) untuk origami katak dan bangau yang dibuat sendiri atau orang lain. Peserta melihat kreasi amatir mereka serupa dalam nilai untuk kreasi para ahli. Harvard Business School, CC BY

Eksperimen ini juga menunjukkan bahwa efek ini memiliki batasan.

Batasnya adalah ketika peserta menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membangun atau merusak kreasi mereka, atau gagal menyelesaikan tugas, kesediaan mereka untuk membayar barang tersebut menurun.

Grafik berikut menunjukkan hasil eksperimen lainnya. Beberapa peserta membuat kotak IKEA, sementara yang lain hanya diizinkan untuk menyelesaikan setengah langkah yang diperlukan untuk membuat kotak.

Hasilnya menunjukkan kesediaan partisipan untuk membayar (WTP) untuk kotak-kotak IKEA yang telah dirakit. Mereka yang menyusun kotak-kotak mereka sendiri menawar lebih tinggi untuk kreasi mereka tersebut ketimbang kotak-kotak yang belum rampung yang disusun oleh tukang. Harvard Business School, CC BY

Mereka yang menyelesaikan susunan kotak mereka menghargai lebih tinggi kotak itu, ditunjukkan oleh kesediaan mereka untuk membayar demi menyimpannya. “Yang paling penting,” dicatat oleh artikel itu, “peningkatan penilaian (valuasi) ini tidak terbatas hanya pada peserta yang menganggap diri mereka orang yang senang melakukan sesuatu sendiri (do-it-yourself, DIYers).”

Konsep yang berkaitan, tapi berbeda

Efek IKEA berkaitan dengan sejumlah perilaku ekonomi penting lainnya, meski tidak sama persis.

Pertama, ada efek sumbangan, yang menjelaskan bahwa dengan memiliki suatu barang akan meningkatkan nilai yang dirasakan akan barang itu.

Meskipun efek ini telah lama diakui, ia secara resmi dinamai oleh ekonom Richard Thaler dalam sebuah makalah tahun 1980. Sejak itu, banyak penelitian telah menunjukkan bahwa individu biasanya menginginkan uang lebih banyak untuk menyerahkan barang yang mereka miliki dibanding untuk memperoleh barang serupa dari orang lain.

Kedua adalah gagasan psikologis tentang upaya pembenaran.

Konsep ini bermula dari studi pada 1950-an. Ide utamanya, seorang individu yang berkorban untuk mencapai suatu tujuan merasionalisasi upaya tersebut dengan memberikan nilai yang lebih besar terhadap pencapaian itu.

Dalam satu penelitian yang terkenal, misalnya, peserta perempuan diminta untuk menjalani inisiatif yang memalukan untuk bergabung pada suatu kelompok sosial. Mereka kemudian menilai keanggotaan di kelompok itu lebih tinggi nilainya daripada yang tidak bergabung dengan kelompok tersebut.

Ketiga adalah preferensi pribadi, yang bentuk ekspresinya menjadi keterikatan pada merek tertentu.

Terlibat dalam proses kreatif dianggap sebagai perpanjangan keterikatan ini ke dalam selera individu. Perusahaan berusaha memanfaatkan ini dengan memberikan opsi opsi penyesuaian (custom).


Read more: The paradox of choice. Why made-to-order might not solve the fashion industry's problems


Dalam eksperimen mereka, Norton, Mochon, dan Ariely sangat berhati-hati untuk mengendalikan efek ini. Misalnya, tidak satu pun dari barang yang mereka kumpulkan dirangkai oleh peserta yang memerlukan penyesuaian.

Temuan mereka telah didukung oleh penelitian selanjutnya yang memisahkan kepemilikan dan preferensi pribadi dari penilaian hasil kerja seseorang.

Kemudahan bukanlah segalanya

Membuat pelanggan melakukan sebagian besar pekerjaan, membuat mereka merasa hebat, dan pada saat yang sama mereka merasa telah menghemat adalah hal yang paling dicari oleh bagian pemasaran perusahaan.

Bahkan jika kisah tepung kue instan Dichter lebih seperti legenda ketimbang sejarah, merek-merek makanan dan bahan pangan menggunakan efek IKEA untuk menarik pelanggan baru yang “mencari nilai”.

Pertimbangkan paket makanan “siap-buat”-bahan-bahan mentah yang sudah dikemas yang Anda siapkan dan masak sendiri. Makanan ini berusaha menyeimbangkan keinginan untuk kenyamanan dengan keinginan makan sehat dan kesenangan memasak.

Paket makanan pada umumnya. Blue Apron

Merek-merek yang terlibat dalam aksi ini termasuk YouFoodz (dikenal karena makanan “siap-buat” yang nyaman) meluncurkan opsi berslogan “siap-buat ”, dan Pataks (dikenal dengan kari siap masak dalam toples)“ yang menawarkan ”perangkat membuat kari“.

Perusahaan riset pasar, Nielsen, memperkirakan lebih dari satu juta rumah tangga Australia akan membeli perangkat membuat makanan pada akhir 2019.

Meski banyak pedagang eceran memfokuskan upaya mereka pada pengiriman cepat dan siap pakai, solusi yang nyaman, efek IKEA menunjukkan membuat hal-hal sedikit lebih menantang bagi konsumen adalah rahasia sukses perusahaan.

Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,400 academics and researchers from 4,911 institutions.

Register now