Menu Close

Pendekatan One Health untuk keamanan pangan dan kesehatan di Indonesia

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (kanan) membeli daging sapi untuk dibagikan kepada warga saat mengunjungi Pasar Badung di Denpasar, Bali, 21 September 2022. Indonesia meningkatkan volume impor daging sapi. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nz

Pandemi COVID-19 mengajarkan kepada kita bahwa meski komunitas ilmuwan telah berulang kali memprediksi akan hadirnya penyebaran virus baru, baik penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia (zoonosis) maupun di luar itu, pemerintah belum mampu mengantisipasinya.

Padahal, Indonesia, menurut satu penelitian yang dimuat Nature pada 2017, merupakan salah satu potensi hotspot penyebaran penyakit menular yang berasal dari sebagian besar satwa liar dan melibatkan interaksi antara populasi satwa liar tersebut, hewan ternak, dan manusia.

Salah satu pendekatan untuk memahami masalah tersebut adalah One Health. Ini sebuah konsep yang menjelaskan keterikatan kesehatan holistik antara manusia-hewan-lingkungan yang bertujuan untuk mengendalikan dan memerangi penyakit, menjamin ketahanan pangan, dan menjaga kualitas lingkungan.

Tata kelola pangan

Meski tren penyebaran COVID-19 telah menurun, pola konsumsi pangan yang bergizi, berimbang, dan beragam masih tetap diperlukan untuk membantu menjaga sistem daya tahan tubuh.

Pemerintah pun telah mengambil tindakan dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat melalui penyediaan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) serta pengendalian penyakit zoonosis.

Sayangnya, dalam tata kelola pangan dalam negeri, Indonesia masih menghadapi permasalahan ketahanan pangan dan importasi komoditas pangan pokok dalam skala besar.

Pada 2021, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor daging sapi sebesar 211,43 ribu ton dengan nilai transaksi mencapai US$785,15 juta (sekita Rp 12,16 triliun). Menilik trennya dalam satu dekade terakhir, tenyata volume impor daging sapi ke Indonesia cenderung meningkat.

Pelonggaran kuota importasi daging sapi tersebut, alih-alih mengendalikan harga dan menjaga kebutuhan pasar domestik, justru memicu penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK).

Keamanan pangan adalah kunci ketahanan pandemi yang akan datang

“Mencegah lebih baik dari pada mengobati”.

Kalimat tersebut terkesan klise, namun masih sangat relevan dalam konteks kesehatan saat ini. Sistem surveilans untuk penyakit zoonosis merupakan salah satu indikator kuat yang harus diperbaiki.

Badan Otoritas Keamanan Pangan di dunia, seperti Badan Pangan dan Obat AS (FDA), Badan Keamanan Pangan Eropa (EFSA), Badan Pengawas Pangan Kanada (CFIA), dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), menyimpulkan bahwa belum ada bukti yang kuat untuk menyatakan makanan adalah sumber atau rute penularan virus corona.

Namun demikian, matriks pangan dapat bertindak sebagai potensi pembawa virus corona melalui kontaminasi lingkungan atau kontaminasi silang.

Selaras dengan hal tersebut, menurut Badan Keamanan Pangan Eropa, makanan atau air yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen, seperti bakteri, virus, dan parasit, merupakan penyebab penyakit zoonosis bawaan makanan (foodborne zoonotic diseases). Contohnya, Campylobacter, Salmonella, Yersinia, E. coli, dan Listeria adalah penyebab penyakit bawaan makanan yang paling umum.

Karena itu, seharusnya penguatan sistem keamanan pangan nasional dijadikan kunci dalam menjaga kesehatan masyarakat dari ancaman penyakit zoonosis bawaan makanan.

Strategi penguatan keamanan pangan melalui One Health

Melalui pendekatan konsep One Health, Indonesia dapat memperkuat arsitektur keamanan pangan nasional melalui lima strategi.

Pertama, memperkuat sistem pengendalian pangan nasional.

Sistem pengendalian pangan nasional memainkan peran penting. Sistem ini harus efektif, efisien, dan berkelanjutan dalam melindungi kesehatan masyarakat.

Pengukuran kinerja dari sistem pengendalian pangan nasional diperlukan untuk mengetahui performa kinerja, mengidentifikasi perbaikan, dan menargetkan investasi yang dibutuhkan. Sehingga, transparansi dan akuntabilitas dari sistem nasional ini dapat dirasakan oleh masyarakat.

Misalnya, pemerintah menetapkan sistem penanganan insiden keamanan pangan dan sistem tanggap darurat di tingkat daerah, provinsi, dan nasional.

Kedua, mengidentifikasi dan menanggapi tantangan keamanan pangan yang dihasilkan dari perubahan global.

Transformasi global pada sistem pangan dapat dipastikan berdampak pada keamanan pangan. Dengan demikian, sistem keamanan pangan harus mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan merespons permasalahan baik yang sedang terjadi maupun yang akan muncul.

Sistem keamanan pangan harus diubah dari sistem reaktif menjadi proaktif dan harus mengadopsi pendekatan One Health dalam mengantisipasi kesehatan manusia-hewan-lingkungan.

Contohnya, otoritas terkait mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak keamanan pangan yang timbul dari meningkatnya ancaman resistensi antimikroba bawaan makanan (foodborne antimicrobial resistance) pada produk pangan impor.

Ketiga, memperbaiki cara pengambilan keputusan manajemen risiko berbasis bukti ilmiah dan penilaian risiko.

Manajemen risiko keamanan pangan perlu didasarkan pada ilmu pengetahuan. Pembuatan, pengumpulan, pemanfaatan, interpretasi, dan berbagi data merupakan dasar dalam membangun sistem keamanan pangan berbasis bukti.

Dalam implementasinya, pemanfaatan ilmu pengetahuan ini perlu kerja sama internasional. Meski Indonesia telah membentuk Indonesian Risk Assessment Center (INARAC), negara ini masih memerlukan database ilmiah informasi keamanan pangan nasional dan menginventarisasi pengalaman analisis risiko dari mitra internasional untuk memperkuat keputusan manajemen risiko.

Keempat, memperkuat keterlibatan pemangku kepentingan dan komunikasi risiko.

Sistem keamanan pangan merupakan tanggung jawab seluruh stakeholder. Sistem keamanan pangan yang lebih inklusif dapat mencakup keterlibatan semua elemen, termasuk pemberdayaan konsumen. Seperti, pemerintah memfasilitasi komunikasi dan menumbuhkan budaya keamanan pangan dengan melibatkan produsen makanan.

Kelima, mempromosikan keamanan pangan sebagai bagian penting dalam perdagangan.

Globalisasi perdagangan pangan dan penyakit bawaan makanan dapat menyebar melintasi teritori suatu wilayah. Sehingga, kondisi ini menyebabkan dampak kesehatan dan ekonomi yang signifikan.

Oleh karena itu, sistem keamanan pangan harus terjangkau oleh negara pengimpor dan pengekspor untuk menciptakan produk pangan yang aman di pasar domestik dan internasional.

Contohnya, otoritas lembaga nasional, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), perlu memperkuat keterlibatan dengan otoritas jaringan internasional dalam menetapkan standar dan pedoman sistem keamanan pangan yang sesuai dengan karakteristik bahaya pada kesehatan masyarakat Indonesia.

Dengan menarik benang merah keterikatan antara sistem kesehatan nasional dan status pandemi yang terjadi saat ini, Indonesia perlu mengarusutamakan transformasi arsitektur keamanan pangan yang berlandaskan pada kesehatan manusia-hewan-lingkungan.

Dengan mengimplementasikan pendekatan One Health melalui sinergi multisectoral ini, strategi keamanan pangan dapat menjadi solusi kesehatan masyarakat Indonesia dalam mengantisipasi pandemi pada masa yang akan datang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now